Di era digital yang serba cepat ini, di mana berita bisa diakses dalam hitungan detik melalui gawai, keberadaan koran cetak semakin tersisih.
Namun, di tengah hiruk-pikuk Stasiun Pasar Minggu, seorang pria tua tetap setia menjajakan lembaran-lembaran kertas berita yang kini makin jarang dilirik orang.
Hari ini, Rabu 29 Januari, saya dan istri memutuskan untuk berbelanja buah-buahan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Dari Rusun Pasar Rumput, kami naik Transjakarta menuju Stasiun Manggarai. Perjalanan berlanjut dengan KRL ke Stasiun Pasar Minggu, yang hanya memakan waktu sekitar 18 menit.
Sesampainya di sana, kami berjalan menuju jembatan penyeberangan yang menghubungkan stasiun dengan pasar.
Saat menaiki tangga jembatan, mata saya tertuju pada seorang pria yang duduk dengan tenang di sudut tangga.
Di sampingnya, tampak setumpuk koran yang tertata rapi. Sosoknya begitu bersahaja, mengenakan baju lusuh dengan wajah yang dihiasi garis-garis kehidupan. Dari penampilannya, saya memperkirakan usianya sekitar 60-an tahun.
Rasa penasaran mendorong saya untuk mendekatinya dan mengajaknya berbincang.
Dari percakapan yang mengalir hangat, saya mengetahui bahwa pria ini telah berjualan koran di stasiun sejak tahun 1980-an, saat kondisi Stasiun Pasar Minggu masih jauh dari baik.
Berpuluh tahun berlalu, berbagai perubahan terjadi, namun ia tetap bertahan di tempat yang sama, menjajakan berita kepada para penumpang yang hilir mudik.
Ia membeli koran dari agen dengan harga Rp 2.500 per eksemplar dan menjualnya seharga Rp 3.000. Keuntungan yang didapatnya sangat kecil, hanya Rp 500 untuk setiap koran yang terjual.
Saya baru menyadari bahwa istri saya ternyata salah satu pelanggannya. Beberapa waktu lalu, ia pernah pulang membawa Warta Kota.
Saat itu, saya berpikir bahwa ia membeli koran untuk dibaca. Namun, hari ini saya tahu alasan sebenarnya: ia membeli koran bukan karena ingin membacanya, tetapi karena kasihan kepada sang penjual.
Ada kehangatan di hati saya mengetahui bahwa istri saya masih peduli pada pedagang kecil seperti bapak ini.
Saat berbincang lebih lanjut, si bapak mengeluhkan bahwa musim hujan seperti sekarang ini membuat dagangannya semakin sepi.
Orang-orang enggan berhenti dan memilih berjalan cepat untuk menghindari hujan. Ditambah lagi, kebiasaan membaca koran cetak semakin memudar, tergantikan oleh berita yang bisa diakses dengan mudah melalui ponsel.
Saya bisa merasakan nada pasrah dalam suaranya, tetapi juga ada keteguhan yang sulit dijelaskan. Saya pun memutuskan untuk membeli koran darinya, meski ternyata yang dijual kepada saya adalah edisi hari Selasa.
Ia berkata bahwa hari ini tidak ada pencetakan karena libur. Meski sedikit kecewa, saya tetap membayarnya dan menerima koran tersebut, bukan karena butuh beritanya, tetapi karena ingin mendukung perjuangannya.
Setelah berpisah dengannya, pikiran saya dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa ia masih bertahan dalam pekerjaan ini? Mengapa ia tidak mencoba pekerjaan lain yang mungkin lebih menguntungkan?
Jawaban yang terlintas di benak saya adalah bahwa ia mungkin tidak memiliki pilihan lain. Dengan usia yang sudah lanjut, pendidikan yang minim, dan keterampilan yang terbatas, mencari pekerjaan baru bukanlah hal yang mudah.
Dunia kerja modern menuntut keterampilan digital dan fisik yang mumpuni, sesuatu yang mungkin tidak dimiliki oleh bapak ini.
Saya juga merenungkan makna ketekunan dan kesetiaan dalam bekerja. Dalam dunia yang serba instan ini, banyak orang mudah berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain demi mencari penghasilan lebih besar.
Namun, pria ini tetap bertahan dalam profesinya meski keuntungannya semakin menipis. Ada nilai yang dapat dipetik dari kisahnya-bahwa kerja keras dan keteguhan hati adalah bagian dari prinsip hidup yang tidak mudah digoyahkan.
Mungkin baginya, berjualan koran bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga bentuk kesetiaan terhadap pekerjaan yang telah dijalani selama puluhan tahun. Ada kebanggaan tersendiri dalam tetap berjuang di tengah perubahan zaman.
Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Stasiun Pasar Minggu. Di berbagai sudut kota, kita masih bisa menemukan penjual koran yang setia menunggu pembeli, meskipun jumlahnya semakin berkurang.
Mereka adalah saksi hidup dari perubahan industri media cetak yang dahulu berjaya dan kini mulai meredup.
Dahulu, koran adalah sumber informasi utama bagi masyarakat. Setiap pagi, orang-orang rela mengantre untuk mendapatkan berita terbaru.
Kini, hanya sedikit yang masih bertahan membaca koran dalam bentuk fisik. Perubahan ini tentu berdampak besar bagi mereka yang menggantungkan hidup dari penjualan koran.
Saya pun jadi berpikir, apakah ada cara bagi kita untuk membantu mereka?
Mungkin dengan membeli koran mereka sesekali, meski kita tahu bahwa kita bisa mendapatkan berita yang sama secara gratis di internet.
Atau mungkin dengan mendukung program-program yang membantu pekerja informal seperti mereka agar memiliki keterampilan baru dan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
Bagaimanapun, mereka adalah bagian dari masyarakat kita yang sering kali terabaikan.
Hari itu, saya meninggalkan Stasiun Pasar Minggu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa haru melihat seorang pria yang tetap bertahan di tengah gempuran perubahan zaman. Ada rasa kagum pada keteguhannya.
Namun, ada juga keprihatinan tentang masa depannya dan orang-orang sepertinya. Sampai kapan mereka bisa bertahan? Dan, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?
Pertemuan singkat dengan si bapak penjual koran mengajarkan saya banyak hal. Bahwa, di balik kehidupan modern yang serba cepat, masih ada orang-orang yang menjalani hidup dengan cara yang sederhana, penuh kesabaran dan keteguhan.
Bahwa, meski dunia terus berubah, ada nilai-nilai yang tetap bertahan: kerja keras, kesetiaan, dan semangat pantang menyerah.
Dan, bahwa di tengah kesibukan kita, sesekali meluangkan waktu untuk memperhatikan mereka yang masih berjuang bisa memberi kita perspektif baru tentang kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI