Ia membeli koran dari agen dengan harga Rp 2.500 per eksemplar dan menjualnya seharga Rp 3.000. Keuntungan yang didapatnya sangat kecil, hanya Rp 500 untuk setiap koran yang terjual.
Saya baru menyadari bahwa istri saya ternyata salah satu pelanggannya. Beberapa waktu lalu, ia pernah pulang membawa Warta Kota.
Saat itu, saya berpikir bahwa ia membeli koran untuk dibaca. Namun, hari ini saya tahu alasan sebenarnya: ia membeli koran bukan karena ingin membacanya, tetapi karena kasihan kepada sang penjual.
Ada kehangatan di hati saya mengetahui bahwa istri saya masih peduli pada pedagang kecil seperti bapak ini.
Saat berbincang lebih lanjut, si bapak mengeluhkan bahwa musim hujan seperti sekarang ini membuat dagangannya semakin sepi.
Orang-orang enggan berhenti dan memilih berjalan cepat untuk menghindari hujan. Ditambah lagi, kebiasaan membaca koran cetak semakin memudar, tergantikan oleh berita yang bisa diakses dengan mudah melalui ponsel.
Saya bisa merasakan nada pasrah dalam suaranya, tetapi juga ada keteguhan yang sulit dijelaskan. Saya pun memutuskan untuk membeli koran darinya, meski ternyata yang dijual kepada saya adalah edisi hari Selasa.
Ia berkata bahwa hari ini tidak ada pencetakan karena libur. Meski sedikit kecewa, saya tetap membayarnya dan menerima koran tersebut, bukan karena butuh beritanya, tetapi karena ingin mendukung perjuangannya.
Setelah berpisah dengannya, pikiran saya dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa ia masih bertahan dalam pekerjaan ini? Mengapa ia tidak mencoba pekerjaan lain yang mungkin lebih menguntungkan?
Jawaban yang terlintas di benak saya adalah bahwa ia mungkin tidak memiliki pilihan lain. Dengan usia yang sudah lanjut, pendidikan yang minim, dan keterampilan yang terbatas, mencari pekerjaan baru bukanlah hal yang mudah.
Dunia kerja modern menuntut keterampilan digital dan fisik yang mumpuni, sesuatu yang mungkin tidak dimiliki oleh bapak ini.