Siapa dari Anda yang pernah melintasi depan Stasiun Gambir ke arah Istana terutama pada sore hari?
Persis di depan pintu masuk Monas, Anda akan disuguhkan dengan pemandangan Delman yang berbaris rapi menunggu penumpang.
Sore ini, saya melintasi kawasan Monas, dan segera menyadari satu hal: Tidak ada penumpang untuk Delman, sehingga pemilik Delman pun mulai pulang.
Transportasi tradisional Delman, yang masih dapat dijumpai di beberapa sudut Jakarta, menjadi simbol sejarah sekaligus bagian dari kehidupan masyarakat.
Namun, keberadaan Delman di tengah kota yang semakin modern, sering kali, memicu perdebatan, terutama menyangkut kesejahteraan kuda, relevansi dalam sistem transportasi saat ini, dan nasib para pemilik Delman, jika transportasi ini dihapuskan.
Tulisam ini, akan mengulas masalah tersebut dalam tiga aspek penting: kesejahteraan hewan, relevansi Delman di era modern, dan solusi bagi pemilik Delman jika pelarangan diberlakukan.
Kesejahteraan Hewan
Kesejahteraan hewan menjadi isu utama dalam diskusi tentang pengoperasian Delman di Jakarta.
Dengan suhu jalanan yang, sering kali, melampaui 30 derajat Celsius dan tingkat polusi udara yang tinggi, kondisi ini tidak ideal untuk kuda yang bekerja menarik beban berat sepanjang hari.
Dalam beberapa kasus, kuda ditemukan sekarat akibat kelelahan dan dehidrasi, yang menimbulkan pertanyaan etis: Apakah kita pantas mempertahankan Delman, jika itu berarti menyiksa hewan?