Pagi itu, KM Nggapulu berangkat dari Pelabuhan Anging Mamiri, Makassar, tepat pukul 06.00 WITA.
Perjalanan berlangsung lancar, dan kapal akhirnya tiba di Pelabuhan Murhum, Bau Bau, Sulawesi Tenggara, sekitar pukul 08.00.
Berdasarkan jadwal, kapal akan kembali diberangkatkan ke tujuan berikutnya, Namlea, pada pukul 00.00 WIT.
Ini berarti kami punya waktu sekitar tiga jam untuk bersandar di pelabuhan.
Begitu kapal sandar dengan sempurna, saya segera turun untuk mengantar teman-teman baru saya ke pintu masuk pelabuhan.
Kami berpisah di sana dengan sedikit rasa haru, mengingat perjalanan bersama di kapal selama beberapa waktu terakhir.
Setelah itu, saya sebenarnya berencana membeli ikan asap untuk bekal makan di kapal.
Namun, rencana ini tertunda ketika teman-teman dari Maluku mengajak saya ngopi di alun-alun Kota Bau Bau.
Rasanya sulit menolak ajakan ini, apalagi suasana di pelabuhan sudah mulai terasa hangat dan ramai.
Kami berjumlah tujuh orang. Sebelum menuju alun-alun, kami sempat mencari ATM BNI terdekat untuk menarik uang tunai.
Sayangnya, semua ATM yang kami temui sedang mengalami gangguan. Akhirnya, kami memutuskan langsung menuju alun-alun dan mencari kafe di sekitar sana.
Alun-alun Kota Bau Bau cukup kecil, jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, tapi suasananya begitu hidup.
Di sepanjang area, berjejer mini kafe, tempat bermain anak-anak, hingga warung makan sederhana.
Hal yang menarik perhatian saya adalah lokasi alun-alun yang berada tepat di pinggir pantai, menghadap ke laut lepas.
Meski malam hari membuat pemandangan laut kurang jelas, suasana angin laut yang sejuk dan suara ombak dari kejauhan membuat tempat ini terasa istimewa.
Kami menemukan sebuah warung kopi sederhana di pinggir alun-alun.
Saya memesan secangkir kopi kapal api, yang dihargai Rp10.000 per cangkir. Teman-teman saya juga memesan hal yang sama.
Duduk di sana sambil menikmati angin laut benar-benar memberi suasana santai yang sulit ditemukan di tengah kesibukan kota.
Dari kejauhan, kapal-kapal barang tampak berlalu-lalang, memberikan kesan dinamis yang kontras dengan ketenangan malam.
Di tengah perbincangan ringan, saya sempat izin ke toilet umum yang terletak tak jauh dari situ.
Biayanya Rp5.000 per kunjungan---harga yang cukup masuk akal untuk fasilitas umum di tempat wisata.
Setelah itu, saya kembali ke meja, dan kami melanjutkan obrolan hingga hampir tiba waktunya untuk kembali ke pelabuhan.
Tak terasa waktu sudah mendekati keberangkatan kapal. Kami segera berkemas dan menuju pelabuhan agar tidak tertinggal KM Nggapulu.
Jalanan yang sebelumnya ramai kini mulai sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas.
Sesampainya di pelabuhan, saya tidak lupa membeli ikan asap seharga Rp10.000.
Rasanya ini akan menjadi penyelamat rasa bosan, mengingat makanan di kapal cenderung monoton, terutama ayam.
Saat kembali ke atas kapal, saya sempat berhenti sejenak di dermaga untuk menikmati pemandangan KM Nggapulu yang megah sandar di pelabuhan.
Rasanya bangga bisa menjadi bagian dari perjalanan ini, melihat betapa kokohnya kapal yang membawa kami melintasi lautan.
Kami masuk ke dalam kapal sekitar satu jam sebelum keberangkatan.
Sesampainya di kamar, saya langsung menyerahkan ikan asap yang baru saja dibeli kepada istri.
Kami segera menyantapnya bersama. Segarnya ikan asap dengan aroma khas benar-benar menjadi sajian sederhana yang memuaskan.
Namun, momen santai ini tak berlangsung lama. Seorang ABK kapal mendatangi saya untuk memberikan informasi tentang ibadah Minggu yang akan diadakan keesokan harinya.
Ia menyerahkan secarik kertas berisi tata ibadah oikumene di KM Nggapulu.
Saya teringat, saat kapal berangkat dari Tanjung Priok Jakarta, saya sempat menawarkan diri untuk menjadi pembawa firman dalam ibadah Minggu.Ternyata, malam ini saya baru mendapat konfirmasi.
Segera saya beranjak mempersiapkan materi khotbah untuk ibadah Minggu. Tema yang saya pilih adalah "Memelihara Ciptaan Allah di Tahun Baru," dengan teks utama dari Kejadian 1:22.
Tema ini sengaja saya pilih karena saya ingin mengingatkan jemaat tentang pentingnya menjaga alam yang telah Allah ciptakan.
Malam itu, sambil menyiapkan materi, saya sempat merenung sejenak.
Betapa perjalanan ini bukan hanya soal berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga tentang menemukan momen untuk berbagi, belajar, dan melayani.
Doakan agar ibadah saya berjalan lancar, ya! Cerita lengkap pengalaman saya di ibadah KM Nggapulu akan saya bagikan di lain waktu. Jadi, nantikan kisah lanjutannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H