Simak penjelasannya berikut ini.
Pinjol Berpotensi Menimbulkan Masalah Baru
Hemat saya, arahan Muhadjir (Menko PMK) di atas terkait penggunaan pinjol oleh mahasiswa untuk membayar UKT kurang tepat.
Mestinya, beliau memikirkan juga dampak yang ditimbulkan pinjol bagi mahasiswa di masa depan, bukan hanya dampak jangka pendeknya.
Sebagai informasi saja, membayar UKT menggunakan pinjol dikenai bunga dan denda keterlambatan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari pinjaman perbankan.
Sekalipun pembayarannya dilakukan setelah lulus kuliah, hal tersebut tetap menimbulkan risiko besar bagi mahasiswa.
Pun kalau mereka lulus, belum tentu langsung mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal ini mengacu pada fakta bahwa ada banyak pengangguran usia muda di Indonesia.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan teknologi (Kemdikbduristek), seperti dikutip dari laman DETIK.com, menyatakan ada sebanyak 13,33 persen lulusan perguruan tinggi masih berstatus pengangguran pada tahun 2022.
Bayangkan situasinya, jika mereka belum mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah, tapi mereka wajib mengangsur utang kepada pinjol, bukankah ini berat?
Jika mereka gagal mengangsur kepada pinjol, bukankah hal itu akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan kredit modal kerja untuk usaha, kredit kepemilikan rumah, dll?
Situasi seperti ini bisa berpotensi menurunkan produktivitas dan menyebabkan tekanan mental di kalangan mahasiswa.
Pemerintah Perlu Mencari Solusi Lain
Hemat saya, daripada menyarankan mahasiswa menggunakan pinjol untuk membayar UKT, lebih baik pemerintah mencari cara lain untuk membantu mahasiswa yang kesulitan ekonomi agar bisa berkuliah tanpa punya beban utang di masa depan.