Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Narablog

Senang traveling dan senang menulis topik seputar Sustainable Development Goals (SDGs).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Tinggi untuk Semua, Lalu Kenapa Tunarungu Dicurigai?

22 Juni 2024   00:45 Diperbarui: 22 Juni 2024   01:22 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang tunarungu membantu  memasangkan ABD kepada temannya | Sumber: Dok. bbc.com

"halo guys gw mau klarifikasi tentang masalah ordal pake alat ditelinga. Kemarin pas UTBK ada yg ngomongin gw, ngeliatin gw karna gw pake alat bantu dengat ya di telinga dan takutnya mereka ngira kalo gw penjoki UTBK padahal gw Tuna Rungu..." tulis @naunathz di akun Xnya Minggu (16/6/2024).

Kalimat di atas merupakan cuitan dari Naufal Athallah (18 tahun) yang dibagikan di akun media sosial X (dulu Twitter) pribadinya.

Menurut laporan BBC.com, Naufal adalah penyandang disibilitas Tuli (tunarungu) sejak usia 3 tahun dan menggunakan alat bantu dengar (ABD) pada usia 4 tahun.

ABD merupakan alat penyelamat hidup bagi Naufal. Dengan ABD, ia bisa mendengar, bisa ngobrol tanpa bahasa isyarat, dan memahami keadaan.

Sayangnya, ketika ia mengikuti ujian tulis berbasis computer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) di Universitas Indonesia, panitia seleksi penyelenggara tidak mengizinkan Naufal menggunakan ABD.

Ia terpaksa melepas alat yang selama ini menjadi penyelamat hidupnya. Akibatnya, siswa kelas 12 SMK di Tangerang Selatan itu, kehilangan konsentrasi saat ujian.

Kini, Naufal belum menggapai cita-citanya untuk dapat masuk dalam kampus idamannya. Walaupun kecewa, ia terus berusaha untuk menggapai mimpinya.

Kurangnya Pemahaman Masyarakat tentang Akomodasi Tunarungu

Kasus Naufal yang gagal mengikuti UTBK di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu memperlihatkan kepada publik bahwa masih minimnya pemahaman masyarakat perihal akomadasi (kebutuhan) bagi tunarungu.

Perlu diketahui bahwa tidak semua pengindap tunarungu (Tuli) berkomunikasi dengan cara yang sama.

Beberapa penyandang tunarungu hanya dapat berkomunikasi secara lisan, beberapa dengan bahasa syarat, beberapa juga dapat melakukan keduanya, dan beberapa tidak bisa berkomunikasi sama sekali, sehingga memerlukan alat bantu khusus.

Cara berkomunikasi dengan penyandang Tuli pun, biasanya menggunakan bahasa isyarat. Para penyandang tunarungu bisa belajar bahasa isyarat di komunitas, sekolah, atau terapi wicara untuk memudahkan mereka berkomunikasi dengan efektif.

Karena itu, Komisi Nasional (Komnas) Disabilitas dan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) perlu melakukan edukasi/sosialisasi ke masyarakat tentang akomadasi menyeluruh bagi tunarungu.

Sistem Pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri Perlu Diperbaiki

Di Indonesia, akses ke pendidikan tinggi tidak hanya bagi mereka yang tanpa disabilitas, tapi juga bagi mereka yang mengalami disabilitas.

Artinya, semua orang dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial, budaya, hingga yang memiliki keterbatasan fisik berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

Hal Ini sesuai dengan SDGs poin ke-4: menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.

Kasus Naufal memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi negeri di Indonesia belum sepenuhnya peduli dan ramah terhadap penyadang disabilitas.

Padahal, sudah ada Peraturan Mendikbud Ristek No. 48 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Formal, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.

Selain itu, juga sudah ada Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, yang melindungi penyandang disabilitas. Artinya, hak kaum disabilitas untuk memperoleh pendidikan yang layak dijamin oleh Undang-Undang.

Lalu, mengapa penyelenggara pendidikan tinggi mencurigai, bahkan melarang calon mahasiswa yang merupakan penyandang tunarungu untuk menggunakan ABD?

Lagi-lagi, ini masalah minimnya pengetahuan akan kebutuhan khusus penyandang Tuli yang sangat membutuhkan ABD. Karena itu, Pemerintah perlu mengedukasi penyelenggara pendidikan.

Perguruan tinggi negeri perlu memperbaiki sistem pendaftaran SNBT. Tidak boleh ada opsi hanya untuk tunanetra dan tunadaksa saja, melainkan juga untuk tunarungu. Bahkan, termasuk pendidikan tinggi swasta.

Perguruan tinggi negeri milik pemerintah sudah semestinya berlaku peduli dan ramah kepada semua calon mahasiswa, tidak peduli ia berasal dari latar belakang apa.

Sebagai kesimpulan: pendidikan yang layak adalah hak semua orang, tidak terkecuali penyandang disabilitas. Meskipun sudah ada Undang-Undang yang melindungi hak kaum disabilitas, implementasi mengenai Undang-Undang tersebut perlu ditingkatkan lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun