Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Nominee Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ada Apa dengan Sistem Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia?

17 April 2024   16:35 Diperbarui: 17 April 2024   16:38 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi calon dokter spesialis depresi. (Sumber gambar: unsplash.com/Jonathan Borba)

Baru-baru ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan skrining kesehatan jiwa terhadap 12.121 mahasiswa yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal.

Hasil survei skrining yang dilakukan pada Maret lalu menunjukkan, 22,4% mahasiswa PPDS mengalami gejala depresi, 0.6% di antaranya mengalami depresi berat, 3,3% terdeteksi ingin melukai diri hingga bunuh diri. Hasil survei skrining ini kemudian menjadi topik trending di Google.

Mengutip laman Kompas.tv, dari 22,4% PPDS yang mengalami gejala depresi, terdapat 381 orang menjalani pendidikan spesialis anak, 350 orang menjalani pendidikan spesialis penyakit dalam, 248 orang menjalani pendidikan anestesiologi, 164 orang menjalani pendidikan neurologi, dan 153 orang menjalani pendidikan obgyn.

Jikalau ditotal, maka jumlah calon dokter spesialis yang mengalami gejala depresi adalah 1.296 orang. PPDS yang mengalami gejala depresi terbanyak berasal dari RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Sardjito Yogyakarta, dan RS Ngoerah Denpasar.

Memang, hasil skrining yang dilakukan oleh Kemenkes belum sampai mengungkap penyebab depresi. Akan tetapi, dengan melihat banyaknya kasus mahasiswa PPDS yang mengalami gejala depresi, maka penting untuk mempertanyakan seperti apa sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia.

Hubungan Sistem Pendidikan Dokter Spesialis dengan Tingkat Depresi pada Mahasiswa

Untuk menjadi dokter spesialis, maka seorang dokter umum mesti sekolah lagi. Sekolahnya berupa coaching dan training di rumah sakit. Di Indonesia, sekolah spesialis itu bernama Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Masa sekolahnya 3-6 tahun; bergantung pada bidang spesialisasi yang dipilih.

Pelaksanaan PPDS di Indonesia ialah lewat universitas. Melalui fakultas kedokteran, universitas melakukan seleksi penerimaan, pendidikan, dan pemberian gelar spesialis. Karena itu, model PPDS di Indonesia dinamakan dengan university-base.

Belum lama ini PPDS mendapat sorotan dari kalangan kesehatan dan pendidikan, karena program itu, dinilai menimbulkan masalah mental pada calon dokter spesialis.

Intan Alita Putri dan Soepardi Soedibyo dalam artikel mereka yang berjudul "Tingkat Depresi Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM dan Faktor-faktor yang Terkait" mengungkap, pendidikan kedokteran, sering kali, membutuhkan kerja keras yang penuh stressor, dan sering dilaporkan sebagai penyebab burnout, ansietas, depresi, dan masalah psikososial pada residen.

Masih dalam artikel yang sama, stres yang dialami meningkat seiring dengan program residensi sebagai akibat meningkatnya tanggung jawab, karena residen diharapkan untuk menjadi klinisi, pendidik, peneliti, dan administrator yang baik di akhir masa pendidikan.

Konsekuensi dari tingginya perasaan stres ini dapat berujung pada depresi, burnout, kemarahan, iritabilitas, ansietas, kurang tidur, kelelahan, hingga penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan.

Langkah-langkah untuk Mengatasi Depresi pada Calon Dokter Spesialis

Depresi yang dialami oleh calon dokter spesialis adalah masalah serius yang perlu segera ditangani, apabila dibiarkan maka akan menimbulkan dampak yang berbahaya.

Terkait depresi yang dialami oleh calon dokter spesialis, Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, Prof Tjandra Yoga Aditama menyatakan perlu segera ditangani. Namun, bagaimana cara penanganannya tidak dijelaskan oleh beliau.

Lantas, bagaimana cara atau langkah untuk mengatasi depresi pada calon dokter spesialis? Berikut ini sejumlah langkah sederhana mengatasi depresi yang dapat dilakukan secara mandiri oleh calon dokter spesialis.

Pertama-tama, kenali gejala depresi. Cara paling mudah untuk mendeteksinya adalah, apabila kamu sudah mulai lelah dengan kuliahmu atau pekerjaanmu dan enggak mau lagi meneruskannya, hal itu bisa menjadi tanda bahwa kamu sedang depresi.

Sehingga, yang dituntut di sini adalah kepekaan kita atas kondisi mental yang kita alami.

Kedua, cobalah bertemu dengan teman-teman sesama calon dokter spesialis. Ketika sedang menjalani koasistensi, biasanya, calon dokter akan mengalami banyak sekali tekanan, entah dari segi tuntutan akademik, pelayanan kepada pasien rumah sakit, bahkan dari pihak supervisor mereka.

Dalam kondisi ini, calon dokter cenderung memilih untuk diam atas berbagai masalah yang dihadapinya. Mereka enggan mengutarakannya kepada supervisornya karena berbagai pertimbangan. Meski begitu, mereka sebenarnya bisa bercerita kepada sesama teman koas mereka, sehingga tidak merasa sendirian.

Ketiga, berolahraga secara rutin. Penelitian menunjukkan bahwa berolahraga secara rutin dapat membantu meredakan gejala stres, bahkan bisa mencegah masalah stres kambuh setelah sembuh.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari kegiatan olahraga, ahli kesehatan menyarankan agar berolahraga minimal 30 menit setiap hari.

Keempat, berjemur di bawah sinar matahari. Para calon dokter spesialis, mungkin, kurang terkena sinar matahari karena pekerjaan mereka lebih banyak dilakukan di dalam ruangan.

Karena itu, usahakanlah untuk keluar rumah pada pagi hari atau siang hari demi mendapatkan asupan sinar matahari yang cukup, setidakanya selama 15 menit per hari. Sinar matahari dapat membantu memperbaiki suasana hati.

Kelima, mangonsumsi makanan yang sehat. Dikutip dari laman Siloamhospitals.com, pasalnya mengonsumsi makanan yang mengandung asam lemak omega-3 seperti ikan salmon, kacang-kacangan, serta asam folat misalnya bayam dan alpukat dapat membantu meringankan depresi.

Disarankan juga untuk mengindari mengonsumi minuman beralkohol karena dapat membuat pikiran tidak fokus, sehingga sulit mengambil keputusan.

Keenam, meminta bantuan ke tenaga profesional. Apabila stres yang kamu alami berat, jangan ragu berkonsultasi ke psikolog atau konselor supaya mendapatkan diagnosis serta penanganan yang tepat.

Nah, itu tadi beberapa tips sederhana untuk mengatasi depresi pada calon dokter spesialis. Semoga bermanfaat.

Sebagai kesimpulan: Gangguan mental seperti depresi bukanlah kondisi yang perlu ditutup-tutupi. Apabila anda (calon dokter spesialis) mengenali gejalanya, segeralah untuk mengambil tindakan.

Jangan menunda terlalu lama sebab dapat menimbulkan bahaya baik bagi kesehatan fisik, mental, bahkan spiritual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun