Tidak bisa dipungkiri bahwa air merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di planet bernama bumi ini.
Tidak hanya manusia yang membutuhkan air untuk tetap hidup, tetapi hewan dan tumbuh-tumbuhan juga memerlukan air untuk tetap hidup. Dengan kata lain, tidak ada air makhluk hidup akan mati.
Dikutip dari laman bpbd.bogorkab.go.id, bumi sebagai tempat hidup manusia menyediakan sekitar 97,5% air dan sisanya adalah lahan bagi tempat tinggal. Dari angka 97,5% itu, hanya sekitar 2,5% jumlah air yang memiliki kualitas untuk dikonsumsi oleh manusia.
Itu artinya jumlah ketersediaan air bersih yang dikonsumsi manusia sangatlah terbatas. Faktor lain yang menyebabkan ketersediaan air bersih terbatas adalah adanya pembangunan gedung-gedung besar di perkotaan.
Mall, apartemen, rumah sakit, dan gedung perkantoran tentunya membutuhkan air dalam jumlah yang besar, sementara ketersediaan air bersih semakin menipis.
Sebagian masyarakat perkotaan menggunakan air PAM dan air tanah untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti memasak, mencuci, membersihkan badan, dan menyiram tanaman.
Sementara untuk kebutuhan minum, kebanyakan masyarakat kota menggunakan air kemasan dan air galon. Di tempat kami tinggal saat ini, kami menggunakan air tanah untuk memasak, mandi dan mencuci pakaian, sedangkan air galon untuk kebutuhan minum.
Apakah air kemasan dan air galon terjamin kualitasnya? Belum tentu! Belum lagi penggunaan botol plastik yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan.
Kompasianer Ris Sukarma menjelaskan bahwa plastik adalah bahan polimer sintetik yang tidak dapat terurai (non-biodegradable). Botol plastik membutuhkan sekitar 50 hingga 80 tahun agar dapat terurai secara alami.
Itupun plastik bukan terurai menjadi tanah, tetapi berubah bentuk menjadi lebih kecil yang kita kenal dengan istilah "mikroplastik." Jadi, mari mengurangi penggunaan plastik ya, guys.
Musim kemarau yang berkepanjangan tahun ini yang berdampak pada krisis air bersih di sejumlah daerah mengingatkan saya pada pengalaman orang tua saya dahulu dalam mengatasi krisis air bersih di musim kemarau.
1. Menanam Pohon
Ayah (alm.) saya adalah seorang pastor/pendeta. Meskipun demikian, saya lebih mengenalnya sebagai petani dan nelayan. Mengapa? Karena aktivitas kesehariannya lebih banyak dihabiskan di hutan dan di laut.
Ketika sedang musim gelombang, dia akan memilih ke hutan. Kami sering diajaknya ke hutan untuk berkebun. Mulai dari menanam sayur-sayuran, kacang-kacangan, hingga menanam pohon.
Pohon yang ditanam seperti pohon cengkeh, pala, durian, mangga, rambutan, dan pete. Sekarang, pohon-pohon ditanam itu sudah besar dan mengeluarkan buahnya.
Beberapa sumber yang saya baca mengungkapkan bahwa cara paling efektif untuk mengatasi krisis air bersih adalah dengan menanam pohon. Pohon membantu tanah untuk melakukan penyerapan air, sehingga dapat menyimpan persediaan air bersih dalam jumlah yang banyak.
Ayah saya telah memberikan teladan kepada kami untuk menanam pohon, karena ternyata pohon bisa menyimpan air bersih untuk keberlangsungan hidup.
Saya paling jengkel melihat orang-orang yang menyakiti pohon dengan memaku bener pada batang pohon. Paku akan meninggalkan bekas luka pada batang pohon, sehingga bisa mengakibatkan kematian pohon perlahan-lahan.
Plis, jangan paku benar lagi pada batang pohonnya ya, cukup diikat pake tali saja. Kalau gak kuat ya, dipaku di tembok rumamu saja. Lagi pula, tembok yang bolong bisa disemen ulang.
2. Menampung Air Hujan
Ketika musim hujan tiba, ayah dan ibu saya akan sibuk menampung air hujan di wadah-wadah yang telah dipersiapkan sebelumnya. seperti ciregen dan tong air.
Selama musim hujan, kami memastikan seluruh wadah telah terisi penuh. Ketika memasuki musim kemarau, air hujan yang sudah berhasil ditampung digunakan untuk keperluan menyiram tanaman di kebun.
Kadang-kadang, orang tua kami menggunakan air hujan untuk keperluan minum. Tentunya, dengan dimasak terlebih dahulu.
Menampung air hujan adalah cara efektif lainnya untuk mengatasi krisis air bersih. Apakah anda sudah coba melakukannya?
3. Menggali Parigi
Nah, yang terakhir ini pekerjaan yang cukup berat. Menggali sumur (dalam dialek Ambon parigi) tidak bisa dilakukan sendirian, harus melibatkan sujumlah orang.
Kami punya parigi kecil dengan kedalaman sekitar 10-15 meter di halaman rumah. Airnya sangat jernih. Kadang-kadang, tetangga kami datang untuk menimba air di parigi yang kami gali.
Hampir tiap rumah di desa Saparua, Maluku Tengah mempunyai parigi masing-masing. Hal itu menolong masyarakat desa terhindar dari krisis air bersih pada musim kemarau panjang.
Kalau di kota-kota besar, penggalian sumur tradisional mungkin kurang efektif ya, karena memerlukan lahan. Lebih efektif kalau membuat sumur bor menggunakan pipa, tentu saja dengan memperhatikan ketentuan atau aturan dari Pemerintah setempat.
Sebagai penutup, saya menghimbau kepada masyarakat Indonesia, terutama yang berada di daerah-daerah yang mengalami kekeringan untuk melakukan penanaman pohon, menampung air hujan pada saat musim hujan, dan membuat sumur bor (kalau diperlukan).
Dengan melakukannya, bisa mencegah terjadinya krisis air bersih pada musim kemarau di masa depan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H