Hal ini juga terjadi di Australia, dan pertama kalinya kami tiba di Sydney, kami mendapatkan undangan untuk menghadiri rapat terbuka anggota parlemen dari New South Wales. Menariknya, hari di mana kami diundang bertepatan dengan hari wanita sedunia, dan tema utama yang dibahas pada saat itu adalah tentang rendahnya gaji yang dibayarkan kepada wanita di Australia. Para anggota parlemen wanita menyuarakan pandangan mereka tentang ketidakadilan ini dengan percaya diri, karena jumlah mereka sama banyak dengan Pria, sehingga mereka bukanlah kelompok minoritas dalam parlemen Australia. Artinya, awareness negara ini tentang keseimbangan gender, sudahlah matang.
Sangat mengejutkan bahwa ternyata negara semaju dan sedemokratis Australia yang sudah lebih aware tentang keadilan gender pun masih berkutat dengan isu diskriminatif ini. Yang membuat hal ini sangat kontradiktif, laporan dari Australia Financial Review menunjukan bahwa para pemimpin bisnis wanita di Australia lebih produktif dari Pria, yaitu mereka menghasilkan Total Share Holder Return (sebuah indikator untuk menunjukan produktifitas CEO yang dihitung dari berapa keuntungan perusahaan tahun itu dan dibagi dengan jumlah saham). Tetapi mereka dibayar jauh lebih rendah dari CEO Pria.
Indonesia, lebih parah lagi, hanya sekitar 17% per tahun 2014 kursi parlemen yang diduduki oleh wanita. Ditambah bahwa data dr International Business Report menunjukkan bahwa partisipasipasi perempuan di swasta sekalipun sangat rendah, yaitu hanya 22%, dibawah negara-negara ASEAN lain (kecuali Malaysia). Ada yang salah di sini, bisa dua hal, bahwa memang wanita tercipta lebih rendah dari Pria, atau ternyata bahwa sistem yang diciptakan di Indonesia dan di seluruh dunia memang salah dan mendiskreditkan wanita, lebih buruk lagi, wanita Indonesia menerima "status quo" mereka sebagai "seharusnya" seorang wanita.
Pertama-tama, kita harus mulai dari fakta bahwa seseorang tidak memiliki kekuasaan untuk memilih apa gendernya, sehingga salah untuk mendiskreditkan seseorang karena status yang bukan pilihan dia. Misalnya menertawakan orang yang secara genetis lebih gelap kulitnya, merendahkan seseorang atas darimana dia berasal, atau bahkan menghina orientasi seksual seseorang. Ini menunjukan bahwa salah bila kita merendahkan seseorang wanita, karena dia wanita, dan hal ini lucu, karena kita tidak dapat menjawab: apa yang salah dari menjadi seorang wanita?
Wanita harus ada untuk melengkapi Pria, maaf, saya coba ubah sedikit, Pria terlahir untuk melengkapi wanita, jadi bukan sebuah kebetulan kalau kedua gender ada. Keduanya harus saling mengimbangi, karena diciptakan sama rata, dengan kemampuan dan potensi yang sama, dan bisa jadi budaya serta pandangan manusialah yang membuat keduanya menjadi seakan berbeda.
Paling utama dalam hal ini adalah kesamaan kemampuan intelektualitas, yang mendukung seseorang mengerjakan fungsi kerja produktif di masyarakat. Tidak ada bukti saintifik kuat yang menunjukkan bahwa seorang wanita lebih rendah dari pria. Lihat paragraf-paragraf pertama yang saya tulis diatas, yang berisi fakta-fakta bahwa pemimpin-pemimpin bisnis wanita tersebut menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa, dan bahwa data menunjukkan, bahkan, pemimpin bisnis wanita lebih produktif dan efisien dalam kerja mereka.
Kedua, Fisik wanita dan Pria memang berbeda, ya, wanita memiliki Payudara, yang menarik Pria secara seksual (well, tidak semua Pria, ada juga Pria yang menyukai Payudara Pria lain), tetapi Payudara tersebut tidak serta merta membuat seorang Wanita hanya sebatas objek seksual semata dan tidak memiliki kemampuan intelektual yang sama dengan Pria. Faktanya adalah bahwa tidak ada bukti saintifik yang menunjukkan bahwa ukuran Payudara wanita yang besar itu membuat otak mereka lebih kecil, dan karena itu, status mereka lebih rendah dari Pria.
Poin saya membawa payudara dalam argumentasi ini adalah bahwa hal ini adalah objek fantasi seksual semua pria normal, dan asosiasinya selalu negatif ke arah wanita sebagai objek seksual yang dapat dieksploitasi semata.