Mohon tunggu...
Billy Gracia Mambrasar
Billy Gracia Mambrasar Mohon Tunggu... -

Billy Mambrasar is a Papuan, working as an engineer, graduated from the Faculty of Mining and Petroleum Engineering , ITB, and continued his Masters Degree in Project Management (MBA) from the Australian National University, with Australia Awards Scholarship. He has a deep interest, observing Social and Political condition of Indonesia generally, and Papua specifically. He currently works full time designing, completing, and project managing a Multi Billion USD project, in Indonesia, as a project engineer. However, during his off days, he spent them advising the Ministry of Education and Cultural of Indonesia, in a special unit called: Desk Papua. He also is a CEO of a nonprofit Organization called: Kitong Bisa, which provides education services (consulting) for other education nonprofits. Billy's writing focuses on the area of Political and Social Issues in Indonesia, and also their interface with Business, Industry and Technology, especially education and human development in Papua, Eastern Indonesia, and the whole Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Payudara dan Keseksian, Sebab Wanita Dibayar (Lebih) Rendah?

31 Oktober 2016   12:22 Diperbarui: 31 Oktober 2016   13:09 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari Kiri Ke Kana: Alia, Finance Advisor untuk Pertamina; Fitri, Chief Marketing Officer untuk Telkom-Telstra, dan Maya, Environmental lead untuk BHP Billiton Indonesia (mining company)

Dari Kiri Ke Kana: Alia, Finance Advisor untuk Pertamina; Fitri, Chief Marketing Officer untuk Telkom-Telstra, dan Maya, Environmental lead untuk BHP Billiton Indonesia (mining company)
Dari Kiri Ke Kana: Alia, Finance Advisor untuk Pertamina; Fitri, Chief Marketing Officer untuk Telkom-Telstra, dan Maya, Environmental lead untuk BHP Billiton Indonesia (mining company)
Perspective bahwa perempuan lebih "rendah" dari laki-laki membuat mereka dibayar lebih murah. Tantangan yang dihadapi seorang pemimpin bisnis wanita bukan hanya sekadar tekanan psikologis diatas, tetapi juga perlakuan yang tidak sejajar dalam hal pembayaran. Survey dari World Economic Forum menunjukan bahwa secara global, wanita rata-rata di bayar lebih rendah dari pria, dan pada umumnya di negara-negara Timur Tengah, mereka bukan hanya dibayar rendah, tapi juga diperlakukan dengan buruk. Pakistan, Syria dan Yemen adalah 3 negara yang terendah dalam pemeringkatan tersebut.

Hal ini juga terjadi di Australia, dan pertama kalinya kami tiba di Sydney, kami mendapatkan undangan untuk menghadiri rapat terbuka anggota parlemen dari New South Wales. Menariknya, hari di mana kami diundang bertepatan dengan hari wanita sedunia, dan tema utama yang dibahas pada saat itu adalah tentang rendahnya gaji yang dibayarkan kepada wanita di Australia. Para anggota parlemen wanita menyuarakan pandangan mereka tentang ketidakadilan ini dengan percaya diri, karena jumlah mereka sama banyak dengan Pria, sehingga mereka bukanlah kelompok minoritas dalam parlemen Australia. Artinya, awareness negara ini tentang keseimbangan gender, sudahlah matang.

Di dalam gedung DPR (Parlemen) New South Wales melihat debat terkait kebijakan perbedaan jender
Di dalam gedung DPR (Parlemen) New South Wales melihat debat terkait kebijakan perbedaan jender
Hal itu bisa juga terlihat dari setiap pagi, ketika saya bangun dan bersiap berangkat kerja, iklan di radio yang diputar adalah setingan diskusi 4 orang anak kecil australia, yang berasal dari gender yang berbeda, yang kebingungan mengapa ayah dan ibu mereka dibayar berbeda, pada level kemampuan yang sama. Isu perbedaan gaji ini menjadi isu publik di Australia saat ini.

Sangat mengejutkan bahwa ternyata negara semaju dan sedemokratis Australia yang sudah lebih aware tentang keadilan gender pun masih berkutat dengan isu diskriminatif ini. Yang membuat hal ini sangat kontradiktif, laporan dari Australia Financial Review menunjukan bahwa para pemimpin bisnis wanita di Australia lebih produktif dari Pria, yaitu mereka menghasilkan Total Share Holder Return (sebuah indikator untuk menunjukan produktifitas CEO yang dihitung dari berapa keuntungan perusahaan tahun itu dan dibagi dengan jumlah saham). Tetapi mereka dibayar jauh lebih rendah dari CEO Pria.

Indonesia, lebih parah lagi, hanya sekitar 17% per tahun 2014 kursi parlemen yang diduduki oleh wanita. Ditambah bahwa data dr International Business Report menunjukkan bahwa partisipasipasi perempuan di swasta sekalipun sangat rendah, yaitu hanya 22%, dibawah negara-negara ASEAN lain (kecuali Malaysia). Ada yang salah di sini, bisa dua hal, bahwa memang wanita tercipta lebih rendah dari Pria, atau ternyata bahwa sistem yang diciptakan di Indonesia dan di seluruh dunia memang salah dan mendiskreditkan wanita, lebih buruk lagi, wanita Indonesia menerima "status quo" mereka sebagai "seharusnya" seorang wanita.

Setelah sidang parlemen perserta kemudian bertukar kartu bisnis dengan Sang Gubernur
Setelah sidang parlemen perserta kemudian bertukar kartu bisnis dengan Sang Gubernur
Ukuran Payudara tidak ada hubungannya dengan ukuran otak!

Pertama-tama, kita harus mulai dari fakta bahwa seseorang tidak memiliki kekuasaan untuk memilih apa gendernya, sehingga salah untuk mendiskreditkan seseorang karena status yang bukan pilihan dia. Misalnya menertawakan orang yang secara genetis lebih gelap kulitnya, merendahkan seseorang atas darimana dia berasal, atau bahkan menghina orientasi seksual seseorang. Ini menunjukan bahwa salah bila kita merendahkan seseorang wanita, karena dia wanita, dan hal ini lucu, karena kita tidak dapat menjawab: apa yang salah dari menjadi seorang wanita?

Wanita harus ada untuk melengkapi Pria, maaf, saya coba ubah sedikit, Pria terlahir untuk melengkapi wanita, jadi bukan sebuah kebetulan kalau kedua gender ada. Keduanya harus saling mengimbangi, karena diciptakan sama rata, dengan kemampuan dan potensi yang sama, dan bisa jadi budaya serta pandangan manusialah yang membuat keduanya menjadi seakan berbeda.

Paling utama dalam hal ini adalah kesamaan kemampuan intelektualitas, yang mendukung seseorang mengerjakan fungsi kerja produktif di masyarakat. Tidak ada bukti saintifik kuat yang menunjukkan bahwa seorang wanita lebih rendah dari pria. Lihat paragraf-paragraf pertama yang saya tulis diatas, yang berisi fakta-fakta bahwa pemimpin-pemimpin bisnis wanita tersebut menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa, dan bahwa data menunjukkan, bahkan, pemimpin bisnis wanita lebih produktif dan efisien dalam kerja mereka.

Kedua, Fisik wanita dan Pria memang berbeda, ya, wanita memiliki Payudara, yang menarik Pria secara seksual (well, tidak semua Pria, ada juga Pria yang menyukai Payudara Pria lain), tetapi Payudara tersebut tidak serta merta membuat seorang Wanita hanya sebatas objek seksual semata dan tidak memiliki kemampuan intelektual yang sama dengan Pria. Faktanya adalah bahwa tidak ada bukti saintifik yang menunjukkan bahwa ukuran Payudara wanita yang besar itu membuat otak mereka lebih kecil, dan karena itu, status mereka lebih rendah dari Pria.

Poin saya membawa payudara dalam argumentasi ini adalah bahwa hal ini adalah objek fantasi seksual semua pria normal, dan asosiasinya selalu negatif ke arah wanita sebagai objek seksual yang dapat dieksploitasi semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun