Kisah Cinta Rani, Nazarudin dan Antasari mencuat kepermukaan dan menjadi bahan perbincangan dalam setiap kesempatan sejak kejadian tewasnya Nazarudin (14 Maret 2009) hingga saat ini, pasca tututan Jaksa atas Atasari (19 Januari 2010). Rani Juliani sebelumnya adalah Caddy di Padang Golf Modern Tangerang yaitu tempat pertemuan antara ketiga tokoh ini. Di mulai dari tempat inilah dalam babak demi babak alur cerita berikutnya membawa tokoh nasional, Antasari Ashar yang sedang menjadi sorotan masyarakat karena prestasinya sebagai ketua KPK, masuk dalam bagian tragedi kematian Nazarudin sebagaimana yang disangkakan Jaksa.
Kisah ini menggelitik saya untuk mengetahui sedikit lebih jauh mengenai kehidupan seorang Caddy golf, khususnya yang wanita, mencari tahu tentang sisi yang berhubungan dengan pekerjaannya, fasilitas, penghasilan, kisah asmara, dan pendapatnya tentang kasus Rani. Karena itu, pagi tadi ditengah-tengah permainan golf saya, saya menyempatkan mewawancarai caddy yang menjadi pemandu saya bermain di salah satu padang golf di Indonesia ini.
Sebutlah dia Kessi (nama samaran), karena ini juga menyangkut hal-hal yang mungkin tidak tepat bila dipublikasikan saya juga tidak menyebutkan nama dan tempat dia bekerja.
Bijogneo: Kessi, kamu sudah berapa lama kerja disini?
Kessi: dua tahun pak..
Bijogneo: Tinggal dimana?
Kessi: Di jalan De#####.
Bijogneo: Lho, kalo pagi dari rumah jam berapa?
Kessi: Jam setengah lima, di sini jam 6 golfer sudah mulai main.
Bijogneo: Emang kamu naik apa dari rumah?
Kessi: Naik angkutan umum lah pak..
Kessi lalu menjelaskan bagaimana dia perlu tiga kali turun naik angkutan. Pertama dengan angkot ke terminal B#### kemudian ganti angkot lain yang kejurusan Sen### Sel#### dari situ ia kemudian naik ojek ke tempat kerjanya. Untuk pulang pergi ke tempat kerjanya ini, ia perlu mengeluarkan ongkos transpor rata-rata sebesar 30,000 rupiah sehari.
Bijogneo: Ijazah terakhir yang disyaratkan bagi caddy baru ada?
Kessi: SMA dan yang sederajat.
Bijogneo: Selain itu ada syarat apa lagi?
Kessi: Sehat yang pasti, tidak kelebihan berat dan belum berkeluarga.
Bijogneo: Setelah diterima langsung menjadi pegawai tetap atau dikontrak?
Kessi: Pak, ini bapak serius wawancaranya?
Bijogneo: Ya iyalah..., tunggu, saya mukul dulu ya..
Dia kemudian menyiapkan driver (wood 1) saya, lalu memberikan sedikit pengarahan mengenai rintangan dan arah "landing ball" yang sebaiknya untuk permainan di hole 12. Saya lalu menggunakan driver, memukul bola, namun karena sinkronisasi dan konsistensi yang buruk, bola yang saya pukul sejauh 200 meter menyimpang kekanan dan masuk ke dalam semak-semak.
Bijogneo: Ok, sampai dimana kita tadi? oh ya kontrak atau pegawai tetap?
Kessi: Kontrak per tiga bulan, dan setiap tiga bulan jika masih memenuhi persyaratan, kontrak bisa diperpanjang lagi.
Bijogneo: Pernah baca kontrak atau tahu nggak isinya?
Kessi: Nggak.
Bijogneo: Dapat asuransi?
Kessi: Nggak.
Dari pertanyaan saya berikutnya, dia kemudian menjelaskan bahwa sebagai Caddy, dalam hitungan turun (memandu golfer) 5 kali seminggu, dalam sebulan mereka bisa menerima penghasilan tetap dari caddy fee 500,000 rupiah, dan penghasilan tidak tetap dari caddy tips bisa mencapai 2 juta rupiah. Penghasilan bersih mereka dalam sebulan setelah dikurangi makan dan transpor akan berkisar Rp 1,340,000 sedikit di atas UMP DKI Rp 900.560 per bulan. Setiap tahunnya mereka akan mendapat empat pasang seragam, THR sekitar 250 ribu rupiah, tetapi tidak uang cuti. Bila pun terjadi gangguan kesehatan, perusahaan hanya menanggung biaya penanganan pertamanya saja, selanjutnya menjadi tanggung jawab caddy sendiri. Penggantian uang transpor sebesar 10 ribu rupiah diberikan oleh perusahaan hanya jika mereka hadir, namun tidak mendapat kesempatan untuk memandu golfer, yang biasanya disebabkan oleh jumlah tamu yang datang tidak banyak.
Di salah satu hole saya berhenti sebentar untuk mengambil gambar anak-anak yang berdagang buah di lapangan ini.. yah cukup kontras juga, diantara lapangan golf yang indah dan berkelas, pedagang buah yang sekedar mendapatkan penghasilan seadanya, Caddy yang turun memandu golfer selama 5 jam dengan penghasilan yang pas-pasan, disamping urusan dagang yang perlu dibicarakan disepanjang permainan ini, merupakan perpaduan yang benar-benar unik.
Bijogneo: Kamu pernah dengar kasusnya Rani?
Kessi: Pernah.
Bijogneo: Selama kamu kerja, ada nggak yang pernah berniat berpacaran dengan kamu atau menikahi kamu, seperti kasus Rani contohnya?
Kessi: Ada.
Bijogneo: Terus kamu mau?
Kessi: Nggak.
Bijogneo: Lho kenapa?
Kessi: Saya nggak suka yang berisiko.
Dia lalu menceritakan kalau pernah mendapat sms yang sopan, tentu saja dari bininya golfer, yang cukup tegas memperingatkan hubungan yang baru saja mau dumulainya. Dia juga menceritakan memang ada diantara caddy yang akhirnya sampai ke pelaminan dengan golfer yang secara rutin bermain disitu.
Kessi: Tapi itu paling hanya satu, dua saja pak.
Bijogneo: Menurut kamu mereka serius dalam membina hubungan itu?
Kessi: Saya nggak tahu, nggak pernah ketemu lagi sih.
Kesempatan untuk menjadi caddy memang terbuka, khususnya bagi putri-putri yang baru lulus SMA. Badan sehat, postur tubuh lumayan, dan mental yang kuat, sudah cukup sebagai persyaratan untuk diterima bekerja. Pada tahap awal biasanya mereka mendapat pelatihan pengenalan lapangan, rintangan serta aturan permainan, untuk itu mereka dipekerjakan terikat pada 3 bulan kontrak dan jika masih memenuhi persyaratan dapat diperpanjang tiga bulan berikutnya dan seterusnya.
Secara fisik mereka memang harus cukup baik, mengingat mereka bekerja diruang terbuka, rata-rata menghabiskan waktu 5 sampai 6 jam ditengah panas terik atau kemungkinan juga hujan jika tidak ada aktivitas kilat atau petir di padang golf itu.
Memperhatikan lingkup kerja caddy, pelayanan dengan ke ramah- tamahnya, dibanding dengan fasilitas dan finansial yang mereka dapatkan saya kategorikan, sangat tidak memadai.
Kasus Rani, hanyalah bentuk penyimpangan dari implementasi kecenderungan sikap mendominasi dari sebagian orang yang merasa memiliki sumber kebutuhan dan merasa mampu mengatur pemberiannya demi imbal balik yang didapat sesuai hasrat pola pikirnya. Mereka yang tergolong mampu, memanfaatkan peluang kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan si golongan yang lebih lemah, dalam konteks ini adalah karena ketidak-tepatan penerapan kebijakan mempekerjakan generasi pekerja lulusan SMA dan yang sederajat dengan sistem penggajiannya.
Masih banyak lagi generasi muda dengan lulusan SMA atau yang sederajat yang membutuhkan perkerjaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2009, jumlah pengangguran terbuka di tanah air mencapai 8,96 juta orang atau sekitar 7,87 persen dari jumlah angkatan kerja sebanyak 113,83 juta orang. Bukanlah jumlah yang kecil, untuk itu pemerintah perlu serius untuk fokus, dengan seluruh jajarannya, memulai dengan energi besar, untuk segera menyiasati kondisi saat ini sehingga 8,96 juta orang ini bisa mendapatkan perkerjaan dan gaji yang layak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H