Esok harinya Wahyu sudah meluncur lagi ke desa Telogobening. Ia membuat janji bertemu dengan Titis di dekat perbukitan.
" Mas Wahyu, aku sudah menunggumu sejak tadi di sini" kata Titis dengan penuh kerinduan. Ia berdiri di bawah pohon Waru.
Mereka berpelukan. Tanpa suara. Daun - daun Waru yang kering satu persatu berguguran di atas kepala mereka. Angin bertiup cukup kencang.
" Titis, aku ...aku tidak bisa melupakan kamu...." Wahyu berbisik nyaris tak terdengar.
" Tidak Wahyu, aku mohon kembalilah pada Winda, ia menunggumu. Ingat Wahyu kita satu darah" sambil berkata Titis meneteskan airmata. Hancur hatinya saat mengucapkan kalimat itu. Entah mengapa ia seperti kehilangan. Ia tidak ingin jauh dari Wahyu. Ia jatuh cinta pada saudara kembarnya itu sejak pertama mereka bertemu.
Hujan rintik -rintik menghiasi perbukitan itu, mereka seolah enggan beranjak dari bawah pohon Waru. Entah siapa yang memulai. Wahyu dan Titis bagaikan sepasang kekasih yang sedang mabuk cinta. Mereka saling berciuman dan berpelukan.
" Wahyuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!!!!!!, apa yang kalian lakukan astaga ampuni hamba ya Allah, dosa apa hambamu ini!!" Pakde Sastro berteriak sambil melempar keranjang rumput dan sabitnya. Wajahnya merah membara. Ia sangat marah dan segera menarik Titis menjauh dari Wahyu.
" Titiiiiiiiiiiiis.............tunggu aku! " teriak Wahyu. Percuma saja ia mengejar Pakde Sastro yang sedang kalap sambil mengacungkan sabitnya.
Dengan hati hancur ia pulang ke rumahnya.
Tiba di halaman rumah, tampak sepeda onthel milik Winda diparkir di samping pohon Mangga.
Dilihatnya Winda sedang membantu ibunya menumbuk beras ketan. Sementara ibunya sibuk membungkus gula aren dengan daun pisang kering.