Misteri Reformasi
Sebenarnya, masih banyak yang menjadi misteri dalam proses reformasi 1998. Meskipun telah ada beberapa buku dan media juga telah menulisnya, tapi tetap tak terungkap. Demikian pula Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 seperti tak berdaya mengungkap aktor intelektual di baliknya.
Rivalitas Prabowo dan Wiranto misalnya, hingga kini tak pernah terungkap jelas. Memang, ada beberapa buku yang menjelaskan soal ini seperti karya Fadli Zon Politik Huru-Hara Mei 1998 (2013) atau buku karya Wiranto Bersaksi di Tengah Badai (2003). Juga ada buku dari pelaku sejarah lain yang menyinggung soal ini seperti buku Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) karya B.J. Habibie, buku Konflik dan Integrasi TNI AD (2004) oleh Kivlan Zen, dan Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) yang ditulis oleh Hendro Subroto. Ada juga buku karya pengamat sejarah Asvi Warman Adam yang berjudul Habibie, Prabowo dan Wiranto Bersaksi.
Tapi karena memang tak pernah digelar pengadilan militer untuk membongkar persoalan ini, maka dianggap selesai "begitu saja". Ini tentu berbeda dengan situasi di tahun 1965 dimana rezim Soeharto menangkapi lawan-lawan politiknya. Ada yang diadili sehingga bisa didengar kesaksiannya, tapi banyak juga yang dibunuh.
Misteri reformasi membentang mulai dari prolog hingga epilog. Apa yang menyebabkan, apa yang memicu, aktor-aktor yang terlibat, tak terungkap jelas.
Satu misteri terbesar bagi saya adalah kerusuhan massal. Temuan TGPF menunjukkan para perusuh itu terorganisir. Tapi, siapa yang mengorganisir? Gelap.
Menjalankan Amanat Reformasi 1998
Kini, sudah dwi windu reformasi berlangsung. Saya sendiri saat itu sebagai unsur pers dalam gerakan mahasiswa cuma berdiri di garis belakang saja. Masih banyak para punggawa yang berteriak lantang memimpin barisan dari depan. Tetapi, ketika rezim berganti, sayangnya banyak di antara teman-teman yang kemudian malah terlena saat masuk ke pusaran kekuasaan. Memang sulit menilai karena ketiadaan parameter, akan tetapi rasanya rakyat bisa merasakan reformasi belum mencapai sasaran.
Saya tahu, secara faktual banyak perubahan terutama di sistem ketatanegaraan kita. Indonesia telah melaksanakan Pemilu demokratis yang langsung, ada desentralisasi dan otonomi daerah, juga pembentukan berbagai lembaga kenegaraan baru seperti KPK dan MK. Akan tetapi rakyat cuma butuh tiga hal yang di masa Orde Baru disebut Trilogi Pembangunan: stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Intinya, rakyat cuma mau hidup tenang, bisa cari uang dengan aman dan membeli barang kebutuhan dengan harga terjangkau.
Maka, tak heran, rasa frustrasi masyarakat dilampiaskan dengan gambar Soeharto yang tengah melambai disertai tulisan bernada mengejek "Piye kabare? Penak jamanku tho?" (bahasa Jawa: Bagaimana kabarnya, lebih enak zamanku toh?). Sebenarnya, itu bukan kerinduan kepada Soeharto atau rezimnya an sich, tapi lebih merupakan kerinduan pada kondisi di zaman itu. Kalau saya ingat-ingat lagi, sebenarnya Soeharto dan Orde Baru memang berhasil memuaskan sebagian besar rakyat. Sayangnya, ia pada akhirnya kurang mampu mengelola konflik. Ada hal-hal yang dibiarkannya hingga membesar. Sebutlah pelanggaran HAM di Aceh, Papua serta Timor-Timur. Pengontrolan kepada demokrasi dan kebebasan berpendapat termasuk pers memang kuat sekali. Inilah antara lain yang kemudian jadi bahan bakar pihak-pihak yang tidak menyukainya.