Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dwi Windu Reformasi

21 Mei 2014   11:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:17 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah 16 tahun lalu reformasi berlangsung. Tepat pada tanggal ini, di tahun 1998 presiden terlama dalam sejarah Indonesia memutuskan berhenti. Dalam hal ini, banyak pihak menengarainya sebagai klimaks dari perjuangan aktivis pro-demokrasi dari berbagai elemen termasuk gerakan mahasiswa. Akan tetapi, bagi saya yang di tahun 1998 merupakan salah satu pimpinan gerakan mahasiswa di Universitas Indonesia, saya malah cenderung memaknainya sebaliknya. Kejadian itu adalah antiklimaks.

Kenapa bisa begitu?

Pertama-tama, karena mundurnya Soeharto yang begitu cepat mengejutkan kami. Saya kira, tak ada satu pun pimpinan gerakan mahasiswa dari semua faksi yang "mengharapkan" Soeharto akan lengser keprabon secepat itu. Dalam rapat-rapat termasuk dengan "tangan tak terlihat", kami bersiap untuk terus-menerus melakukan demonstrasi massa selama dua tahun tanpa henti. Hal ini didasari pertimbangan sangat logis, bahwa Soeharto sebenarnya masih amat sangat kuat. Saya akan teruskan analisanya mengenai ini kemudian.

Kedua, justru pasca Soeharto mundur, gerakan pro-demokrasi terpecah-belah. Mereka yang pro-konstitusi dan pro pada figur Habibie yang dianggap mewakili kelompok Islam moderat berhadapan dengan pihak yang menginginkan reformasi total menyerupai revolusi. Gerakan reformasi kehilangan musuh terbesarnya, dan gagal menciptakan musuh bersama baru.

Ketiga, 21 Mei 1998 menjadi antiklimaks karena justru reformasi kemudian direbut oleh para "pahlawan kesiangan". Silahkan buka dokumentasi sejarah media massa saat itu. Ada tokoh nasional yang dengan entengnya mengatakan "sedang menyiram bunga" saat ditanya wartawan ada di mana saat terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998. Tapi kemudian dia digadang-gadang dan menjadi media darling, dinobatkan sebagai iconperlawanan rezim. Ada lagi yang memang sepanjang reformasi sudah ikut berjuang, tapi pasca lengsernya Soeharto malah jadi "calo politik". Malah ada yang jelas-jelas menjadi pimpinan militer di saat terjadinya reformasi dan kini malah mentas ke panggung tertinggi politik nasional.

Memori 1998

Saya akan menyinggung sepintas saja mengenai hal ini. Karena saya sedang menulis buku soal ini. Mengenai persiapan gerakan pro-demokrasi untuk bertahan selama dua tahun guna melawan rezim Soeharto didasari atas beberapa "matematika politik berikut".

Pertama, Soeharto baru saja memenangkan Pemilu 1997 dengan perolehan suara terbesar sepanjang sejarah. Dan untuk ketujuh kalinya pula DPR-RI secara aklamasi memintanya kembali menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Kedua, Golkar yang memiliki tiga jalur yaitu ABRI,Birokrasi dan Golkar begitu kuat mengurat-mengakar dalam struktur masyarakat Indonesia. Ketua DPR-RI sekaligus MPR-RI adalah H. Harmoko, seorang loyalis Soeharto yang tiga periode menjabat sebagai Menteri Penerangan. Keempat, ABRI solid. Menko Hankam/Panglima ABRI adalah Jenderal TNI Wiranto, mantan ajudan Soeharto yang kesetiaannya pada sang Jenderal Besar tak diragukan. Sementara dua Kotama (Komando Utama) terhebat ABRI yaitu Kopassus dan Kostrad dikuasai oleh Letjen TNI Prabowo Subianto, yang juga adalah mantu sang presiden sendiri. Pengamanan ibukota dipegang oleh Mayjen TNI Safrie Sjamsoeddin sebagai Pangdam Jaya. Dia adalah sahabat karib Prabowo. Kelima, Orde Baru memiliki uang yang bisa dibilang tak terbatas untuk mendanai berbagai hal, termasuk memelihara organisasi paramiliter yang diletakkan di bawah payung onderbouw Golkar.

Pendeknya, Soeharto seperti dikelilingi benteng tak tertembus. Karena itu, para pimpinan gerakan mahasiswa pun bersiap untuk pengorbanan terburuk. Kami saat itu membayangkan skenario Tragedi Tiananmen 1989 di Republik Rakyat China akan terjadi di Indonesia. Saya kira itulah juga yang menyebabkan Amien Rais selaku Ketua Majelis Amanat Rakyat Indonesia membatalkan apel akbar di Monumen Nasional pada 20 Mei 1998.

Misteri Reformasi

Sebenarnya, masih banyak yang menjadi misteri dalam proses reformasi 1998. Meskipun telah ada beberapa buku dan media juga telah menulisnya, tapi tetap tak terungkap. Demikian pula Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 seperti tak berdaya mengungkap aktor intelektual di baliknya.

Rivalitas Prabowo dan Wiranto misalnya, hingga kini tak pernah terungkap jelas. Memang, ada beberapa buku yang menjelaskan soal ini seperti karya Fadli Zon Politik Huru-Hara Mei 1998 (2013) atau buku karya Wiranto Bersaksi di Tengah Badai (2003). Juga ada buku dari pelaku sejarah lain yang menyinggung soal ini seperti buku Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) karya B.J. Habibie, buku Konflik dan Integrasi TNI AD (2004) oleh Kivlan Zen, dan Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) yang ditulis oleh Hendro Subroto. Ada juga buku karya pengamat sejarah Asvi Warman Adam yang berjudul Habibie, Prabowo dan Wiranto Bersaksi.

Tapi karena memang tak pernah digelar pengadilan militer untuk membongkar persoalan ini, maka dianggap selesai "begitu saja". Ini tentu berbeda dengan situasi di tahun 1965 dimana rezim Soeharto menangkapi lawan-lawan politiknya. Ada yang diadili sehingga bisa didengar kesaksiannya, tapi banyak juga yang dibunuh.

Misteri reformasi membentang mulai dari prolog hingga epilog. Apa yang menyebabkan, apa yang memicu, aktor-aktor yang terlibat, tak terungkap jelas.

Satu misteri terbesar bagi saya adalah kerusuhan massal. Temuan TGPF menunjukkan para perusuh itu terorganisir. Tapi, siapa yang mengorganisir? Gelap.

Menjalankan Amanat Reformasi 1998

Kini, sudah dwi windu reformasi berlangsung. Saya sendiri saat itu sebagai unsur pers dalam gerakan mahasiswa cuma berdiri di garis belakang saja. Masih banyak para punggawa yang berteriak lantang memimpin barisan dari depan. Tetapi, ketika rezim berganti, sayangnya banyak di antara teman-teman yang kemudian malah terlena saat masuk ke pusaran kekuasaan. Memang sulit menilai karena ketiadaan parameter, akan tetapi rasanya rakyat bisa merasakan reformasi belum mencapai sasaran.

Saya tahu, secara faktual banyak perubahan terutama di sistem ketatanegaraan kita. Indonesia telah melaksanakan Pemilu demokratis yang langsung, ada desentralisasi dan otonomi daerah, juga pembentukan berbagai lembaga kenegaraan baru seperti KPK dan MK. Akan tetapi rakyat cuma butuh tiga hal yang di masa Orde Baru disebut Trilogi Pembangunan: stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Intinya, rakyat cuma mau hidup tenang, bisa cari uang dengan aman dan membeli barang kebutuhan dengan harga terjangkau.

Maka, tak heran, rasa frustrasi masyarakat dilampiaskan dengan gambar Soeharto yang tengah melambai disertai tulisan bernada mengejek "Piye kabare? Penak jamanku tho?" (bahasa Jawa: Bagaimana kabarnya, lebih enak zamanku toh?).  Sebenarnya, itu bukan kerinduan kepada Soeharto atau rezimnya an sich, tapi lebih merupakan kerinduan pada kondisi di zaman itu. Kalau saya ingat-ingat lagi, sebenarnya Soeharto dan Orde Baru memang berhasil memuaskan sebagian besar rakyat. Sayangnya, ia pada akhirnya kurang mampu mengelola konflik. Ada hal-hal yang dibiarkannya hingga membesar. Sebutlah pelanggaran HAM di Aceh, Papua serta Timor-Timur. Pengontrolan kepada demokrasi dan kebebasan berpendapat termasuk pers memang kuat sekali. Inilah antara lain yang kemudian jadi bahan bakar pihak-pihak yang tidak menyukainya.

Bagi saya secara pribadi, dahulu semasa mahasiswa memang saya menganggap Soeharto semacam "demit alas" yang juahat buanget. Tapi seiring kedewasaan, saya mencoba proporsional dan berlaku adil. Tidak semua yang ada di dirinya dan dilakukannya adalah jelek. Banyak hal baik yang diwariskannya bagi negeri ini.

Justru ini tantangan bagi kita semua. Apakah kita mampu menjadikan Indonesia menjadi lebih baik daripada orang yang dahulu kita kecam sebagai diktator itu?

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Penulis pada saat Reformasi 1998 adalah salah satu dari 8 orang Presidium Pimpinan Kesatuan Aksi-Keluarga Besar Universitas Indonesia (KA-KBUI) sekaligus sebagai Pemimpin Redaksi harian BERGERAK! (media aksi resmi mahasiswa Universitas Indonesia, satu-satunya pers era reformasi yang terbit harian).

Foto: kompas, ranrat.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun