Kita semua sudah tahu, bahwa Artificial Intelligence mampu mengakses, memproses, dan menganalisis informasi dalam jumlah besar dengan kecepatan tinggi.
Maka dari itu dunia pendidikan mencoba terus bersinergi dengan hal ini untuk tetap bisa memberikan sistem terbaharui di sekolah. Saat ini, popularitas teknologi adaptif dan platform e-learning yang berbasis AI sedang merayap dan menyebar dimana-mana, membuat siswa dapat belajar secara mandiri dan menyesuaikan materi dengan kemampuannya masing-masing.
Ada banyak platform online yang mendukung pendidikan dunia saat ini, seperti halnya Khan Academy yang menyediakan video pembelajaran, latihan, dan materi pendidikan secara gratis, selain itu Google Classroom juga memberikan layanan web gratis dengan fungsi sebagai platform pembelajaran daring untuk guru dan siswa. Sistem yang digunakan platform-platform sejenis lainnya juga dikatakan mampu memberikan sesi pengajaran secara lebih personal, fleksibel, dan responsif terhadap kebutuhan siswa.
Lalu, bagimana dengan nasib para guru disekolah, apakah mereka akan tergantikan oleh AI?
Peran guru tentunya bergeser, namun tidak berarti tergantikan oleh teknologi AI, dan ini sebenarnya bukanlah hal yang buruk. Dulu, guru adalah sumber utama pengetahuan di kelas, dan bertanggung jawab penuh atas pemahaman materi, memberikan informasi dasar, serta membimbing siswa dengan pendekatan yang lebih seragam.
Sekarang, peran guru bukan lagi sebagai sumber informasi utama, melainkan telah bertransformasi menjadi fasilitator atau pembimbing, yang mendampingi sekaligus membantu siswa memahami dan mengembangkan kemampuan unik mereka dalam lingkungan belajar yang semakin kaya akan teknologi serta aksesibilitas informasi. Perlu di ingat, bahwa semua siswa wajib dipastikan memiliki akses yang setara pada teknologi terkait, dan peran guru juga harus tetap dihargai sebagai pemandu yang esensial.Â
Jadi, selama digunakan dengan tepat, hal ini adalah perkembangan positif yang memberi guru kesempatan memperdalam dampaknya di dunia pendidikan.
Kendatipun demikian, ada potensi kelemahan yang perlu diantisipasi, salah satunya jika guru tidak mendapat pelatihan yang memadai dalam memanfaatkan teknologi, mereka mungkin akan kesulitan membantu siswa mencapai keterampilan yang seharusnya didapatkan. Guru yang belum terbiasa dengan metode berbasis AI atau e-learning, pasti akan menemui tantangan saat mendalami peran mereka sebagai pembimbing. Oleh karena itu, Sudah saatnya kemampuan para guru juga harus serta merta turut dikembangkan secara merata untuk mengasah kemampuan berpikir tingkat tinggi para siswa.Â
HOTSÂ (Higher-Order Thinking Skills) yang mencakup kemampuan berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan kreatif, yang dirancang untuk mengukur kemampuan siswa juga harus dikedepankan, bahkan seharusnya menjadi fokus utama dalam peningkatan sistem pendidikan. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan seharusnya sudah memberikan program yang tepat maupun fasilitas yang merata secepatnya.
Lalu, Bagaimana dengan Indonesia, apakah sudah menerapkan program pendidikan termutakhir terkait hal ini?
Di Indonesia, sebenarnya Kemendikbud sudah mengembangkan program pembelajaran berorientasi HOTS sejak Kurikulum tahun 2013 (K-13) lalu, dan telah mengupayakan untuk menerapkan konsep ini ke berbagai jenjang pendidikan di negara kita tercinta. Namun, hasilnya masih belum maksimal.
Dampak dari kurangnya optimalitas itu bisa kita lihat dalam 'Programme for International Student Assessment' (PISA) yang mengukur kemampuan literasi siswa berusia 15 tahun dalam tiga bidang utama, yakni membaca, matematika, dan sains. Program ini diselenggarakan oleh 'Organization for Economic Cooperation and Development' (OECD). Pada 2015 lalu, Indonesia mendapatkan posisi ke-63 dari 71 negara, bahkan Indonesia pernah berada di peringkat ke-72 dari 77 negara pada PISA 2018, kemudian naik ke peringkat 69 dari 80 negara yang terdaftar dalam penilaian PISA 2022.  Hasil ini menunjukkan, rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa-siswa di Indonesia.Â
Dalam kategori tes Berpikir Kreatif, Indonesia tercatat mendapat skor 19 dari 60 poin untuk kemampuan berpikir kreatif. Hal ini tentu lebih rendah dibandingkan dengan skor rata-rata negara lainnya yang mencapai 33 poin. Dan bukan cuma itu, Indonesia juga mengalami penurunan signifikan dalam skor literasi membaca, matematika, dan sains sejak tahun 2018.
Dari hasil perolehan data terbaru Skor PISA 2022 , Indonesia mendapat poin-poin sebagai berikut: Literasi Membaca (359) dari skor rata-rata dunia 476, Matematika (366) dari skor rata-rata dunia 472, dan Sains (383) dari skor rata-rata dunia 485. --- selengkapnya bisa di buktikan melalui OCED.
Meskipun skor-skor tersebut menunjukkan adanya penurunan sejak tahun 2018, hal tersebut bisa di asumsikan akibat dari dampak pandemi COVID-19 yang membuat banyak Pendidikan dunia juga mengalami penurunan. Namun, apapun alasannya, Secara global skor rata-rata PISA siswa Indonesia tertinggal cukup signifikan dibandingkan standar negara-negara OECD. Rata-rata ini menunjukkan tantangan dalam pendidikan dasar terutama pada keterampilan numerasi dan literasi yang penting bagi persaingan global dan pengembangan kemampuan analitis siswa.Â
Intinya, dari sini masih banyak yang perlu dibenahi. Khususnya, pada keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Implementasi program HOTS di Indonesia terlalu banyak kendala, terutama dari segi keterbatasan pelatihan guru, fasilitas yang belum merata, dan sistem pengajaran yang masih fokus pada metode rote learning (pembelajaran menghafal fakta-fakta tertentu di luar kepala). Dengan kata lain, siswa kurang di gembleng untuk berpikir lebih kritis maupun kreatif . Â
Disamping itu masih banyak guru yang belum terbiasa dengan metode HOTS, dan sulit bagi mereka untuk mengubah pendekatan hafalan. Lagipula, di beberapa daerah masih terpantau minimnya sarana dan prasarana yang menyulitkan penerapan metode HOST secara optimal. Ditambah lagi resistensi terhadap perubahan juga turut menjadi dilema, baik dari guru yang nyaman dengan metode lama maupun dari siswa dan orang tua yang merasa metode HOTS "membingungkan."
Apakah hal ini menandakan gagalnya sistem pendidikan Indonesia?
Terlalu kompleks untuk menjustifikasi kegagalan sistem pendidikan kita. Akan tetapi, sementara ini bisa dikatakan memang ada banyak kelemahan yang dialami dunia pendidikan di Indonesia. Meskipun begitu, beberapa sekolah di Indonesia juga ada yang berhasil menerapkan metode HOTS dengan baik, dan menunjukkan bahwa dengan dukungan pelatihan serta infrastruktur yang memadai, mereka dapat menjalankan K-13 dengan cukup efektif. Bisa di lihat melalui pelaporan penilaian HOTS berikut ini :
Contohnya, SD Muhammadiyah 05 Batu, Kota Batu, Jawa Timur. Sekolah ini telah mengimplementasikan pendekatan HOTS dengan cukup baik, mereka mengimplementasikan konsep ini sebagai bagian dari pembelajaran tematik yang selaras dengan Kurikulum 2013. Selain itu, SD Al Azhar Syifa Budi di Cibinong, Bogor, juga dikenal telah mengadaptasi model pembelajaran berbasis HOTS dalam kelas-kelas mereka, ini membuktikan bahwa masih ada probabilitas bagi pendidikan di Indonesia untuk terus berkembang ke arah yang lebih baik.Â
Terbukti, bahwa melalui pelatihan yang intensif, para guru di sekolah tersebut berhasil memanfaatkan pendekatan HOTS untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif para siswa. Semoga kedepannya metode ini bisa dengan efektif memperkuat pendidikan di Indonesia, karena pendekatan HOTS dianggap sebagai langkah berharga untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan kompleks di dunia modern.Â
Lalu apa hubungannya semua ini dengan Taksonomi Bloom? dan apa konklusinya? apakah sistem ini masih relevan di tahun 2025 nanti?
Taksonomi Bloom dan Higher-Order Thinking Skills saling berkaitan erat, karena keduanya berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Jadi, kesimpulannya adalah sistem tersebut masih akan tetap relevan di era modern seperti saat ini, terutama dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan yang telah disebutkan tadi.
Bisa kita pahami bersama, bahwa Taksonomi Bloom adalah sebuah sistem yang digunakan untuk mengklasifikasikan tujuan pembelajaran berdasarkan tingkatan kognitif. Dalam konsep yang terkandung didalamnya memiliki aspek-aspek penting, yaitu :
Mengingat (Remembering) --- Memahami (Understanding) --- Menerapkan (Applying) --- Menganalisis (Analyzing) --- Mengevaluasi (Evaluating) --- Mencipta (Creating). Tingkatan-tingkatan ini menunjukkan urutan kemampuan berpikir dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks.
Tingkat kognitif akan menekan siswa untuk menguasai dan mampu melakukan analisis, sintesis, serta evaluasi dengan lebih efektif dan kreatif. Sistem ini adalah struktur yang menggambarkan keseluruhan spektrum keterampilan kognitif. Sedangkan HOTS merujuk pada keterampilan berpikir tingkat tinggi. Garis besarnya, HOTS adalah aplikasi dari level-level tertinggi dalam Taksonomi Bloom (yaitu analisis, evaluasi, dan mencipta).
Jadi, meskipun teknologi memudahkan akses informasi, peran guru dalam memfasilitasi tiga hal barusan masih tetap menjadi hal krusial.
Terutama dengan penyesuaian implementasi, teknologi justru dapat memperkuat penerapan Taksonomi Bloom di ruang kelas supaya menjadi lebih dinamis. Dengan demikian, Taksonomi Bloom tetap akan menjadi pedoman dalam merancang tujuan pembelajaran yang mencakup keterampilan HOTS. Karena sistem maupun metode ini dapat mendorong siswa untuk tidak hanya mengingat dan memahami informasi, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan informasi baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI