Dampak dari kurangnya optimalitas itu bisa kita lihat dalam 'Programme for International Student Assessment' (PISA) yang mengukur kemampuan literasi siswa berusia 15 tahun dalam tiga bidang utama, yakni membaca, matematika, dan sains. Program ini diselenggarakan oleh 'Organization for Economic Cooperation and Development' (OECD). Pada 2015 lalu, Indonesia mendapatkan posisi ke-63 dari 71 negara, bahkan Indonesia pernah berada di peringkat ke-72 dari 77 negara pada PISA 2018, kemudian naik ke peringkat 69 dari 80 negara yang terdaftar dalam penilaian PISA 2022.  Hasil ini menunjukkan, rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa-siswa di Indonesia.Â
Dalam kategori tes Berpikir Kreatif, Indonesia tercatat mendapat skor 19 dari 60 poin untuk kemampuan berpikir kreatif. Hal ini tentu lebih rendah dibandingkan dengan skor rata-rata negara lainnya yang mencapai 33 poin. Dan bukan cuma itu, Indonesia juga mengalami penurunan signifikan dalam skor literasi membaca, matematika, dan sains sejak tahun 2018.
Dari hasil perolehan data terbaru Skor PISA 2022 , Indonesia mendapat poin-poin sebagai berikut: Literasi Membaca (359) dari skor rata-rata dunia 476, Matematika (366) dari skor rata-rata dunia 472, dan Sains (383) dari skor rata-rata dunia 485. --- selengkapnya bisa di buktikan melalui OCED.
Meskipun skor-skor tersebut menunjukkan adanya penurunan sejak tahun 2018, hal tersebut bisa di asumsikan akibat dari dampak pandemi COVID-19 yang membuat banyak Pendidikan dunia juga mengalami penurunan. Namun, apapun alasannya, Secara global skor rata-rata PISA siswa Indonesia tertinggal cukup signifikan dibandingkan standar negara-negara OECD. Rata-rata ini menunjukkan tantangan dalam pendidikan dasar terutama pada keterampilan numerasi dan literasi yang penting bagi persaingan global dan pengembangan kemampuan analitis siswa.Â
Intinya, dari sini masih banyak yang perlu dibenahi. Khususnya, pada keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Implementasi program HOTS di Indonesia terlalu banyak kendala, terutama dari segi keterbatasan pelatihan guru, fasilitas yang belum merata, dan sistem pengajaran yang masih fokus pada metode rote learning (pembelajaran menghafal fakta-fakta tertentu di luar kepala). Dengan kata lain, siswa kurang di gembleng untuk berpikir lebih kritis maupun kreatif . Â
Disamping itu masih banyak guru yang belum terbiasa dengan metode HOTS, dan sulit bagi mereka untuk mengubah pendekatan hafalan. Lagipula, di beberapa daerah masih terpantau minimnya sarana dan prasarana yang menyulitkan penerapan metode HOST secara optimal. Ditambah lagi resistensi terhadap perubahan juga turut menjadi dilema, baik dari guru yang nyaman dengan metode lama maupun dari siswa dan orang tua yang merasa metode HOTS "membingungkan."
Apakah hal ini menandakan gagalnya sistem pendidikan Indonesia?
Terlalu kompleks untuk menjustifikasi kegagalan sistem pendidikan kita. Akan tetapi, sementara ini bisa dikatakan memang ada banyak kelemahan yang dialami dunia pendidikan di Indonesia. Meskipun begitu, beberapa sekolah di Indonesia juga ada yang berhasil menerapkan metode HOTS dengan baik, dan menunjukkan bahwa dengan dukungan pelatihan serta infrastruktur yang memadai, mereka dapat menjalankan K-13 dengan cukup efektif. Bisa di lihat melalui pelaporan penilaian HOTS berikut ini :
Contohnya, SD Muhammadiyah 05 Batu, Kota Batu, Jawa Timur. Sekolah ini telah mengimplementasikan pendekatan HOTS dengan cukup baik, mereka mengimplementasikan konsep ini sebagai bagian dari pembelajaran tematik yang selaras dengan Kurikulum 2013. Selain itu, SD Al Azhar Syifa Budi di Cibinong, Bogor, juga dikenal telah mengadaptasi model pembelajaran berbasis HOTS dalam kelas-kelas mereka, ini membuktikan bahwa masih ada probabilitas bagi pendidikan di Indonesia untuk terus berkembang ke arah yang lebih baik.Â
Terbukti, bahwa melalui pelatihan yang intensif, para guru di sekolah tersebut berhasil memanfaatkan pendekatan HOTS untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif para siswa. Semoga kedepannya metode ini bisa dengan efektif memperkuat pendidikan di Indonesia, karena pendekatan HOTS dianggap sebagai langkah berharga untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan kompleks di dunia modern.Â
Lalu apa hubungannya semua ini dengan Taksonomi Bloom? dan apa konklusinya? apakah sistem ini masih relevan di tahun 2025 nanti?