Mohon tunggu...
Betty Khairunnisa
Betty Khairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi STID Mohammad Natsir

tertarik menguasai banyak bahasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hubungan Kejatuhan Turki dengan Peran Islam Politik Indonesia

6 Agustus 2024   07:12 Diperbarui: 6 Agustus 2024   07:14 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Turki Utsmani adalah salah satu kekhilafahan Islam yang terbesar setelah beberapa kerajaan Islam sebelumnya runtuh, yaitu Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Saljuk, Ayyubiyah dan Mamluk. Eksistensinya mampu bertahan berabad-abad sebagai kekuatan Islam di Eropa bagian timur dengan baiknya dukungan kepemimpinan dari sang sultan, kekuatan militer yang kuat, cadangan kas bagi negara yang cukup serta stabilnya ekonomi, sosial dan politik di dalamnya. Pendiri kekhilafahan Turki Utsmani adalah bangsa turki dari kabilah Oghuz yang berasal dari daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. 

Dalam jangka waktu kira-kira 3 abad, bangsa ini berpindah-pindah ke Turkistan, Persia dan Irak. Mereka masuk Islam di kisaran abad ke-9 atau ke-10 M ketika menetap di Asia Tengah. Lalu, pada abad ke-13 mereka melarikan diri ke daerah barat karena tekanan dari orang-orang Mongol. Mereka mencari tempat tinggal di daerah pengunungan yang didiami oleh orang-orang Saljuk di dataran tinggi Asia Kecil. Ketika dipimpin Ertugrul, mereka mengabdi pada Sultan Alauddin II yang merupakan raja Saljuk. Mereka memberikan bantuan kepada Sultan Alauddin II dalam berperang melawan Byzantium dan berhasil memenangkan pertempuran, sehingga akhirnya sang sultan memberikan mereka hadiah berupa sebidang tanah di Asia Kecil untuk nantinya  menjadi cikal-bakal berdirinya kerajaan Turki Utsmani.

Setelah Ertugrul meniggal dunia, kepemimpinan di pegang oleh anaknya, yang bernama Utsman. Ustman bin Ertugrul ini merupakan pendiri kekhilafahan Utsmani karena ia sendiri yang memproklamirkan berdirinya kerajaan Islam ini setelah Kerajaan Saljuk hancur diporak-porandakan oleh Byzantium, dengan dirinya sebagai Padisyah Al-Utsman yang berarti Raja Besar keluarga Utsman. Berbagai ekspansi dilakukan dan membuat kerajaan Utsmani ini semakin dilirik oleh musuh-musuh Islam. Masa kejayaan Turki Utsmani terjadi pada masa kepemimpinan sultan Salim I dan dilanjutkan oleh Sultan Sulaiman I dengan kemajuan di berbagai bidang yang mampu menyejahterakan rakyatnya. 

Namun, di masa-masa kepemimpinan sultan-sultan selanjutnya, yaitu di mulai dari Sultan Selim II, Turki Utsmani semakin mengalami kemunduran hingga akhirnya runtuh pada tahun 1927 oleh kelompok nasionalis yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Attaturk. Di bawah kepemimpinannya Turki menjadi negara sekular. Ia membabat habis hukum-hukum Islam dan menggantinya menjadi peraturan sipil Eropa. Kebijakan-kebijakannya sangat membunuh syari'at Islam. Bahkan azan pun tidak diperbolehkan dikumandangkan dengan bahasa arab.

Turki kembali menerapkan nilai-nilai Islam dalam pemerintahannya ialah ketika dipimpin oleh Recep Tayyib Erdogan. Ia meberikan perhatian yang besar terhadap konflik-konflik yang melibatkan negara Islam, salah satunya dalam konflik Palestina-Israel. Hal ini terlihat dari peran aktif Turki sebagai anggota OKI (Organisasi Kerja sama Islam) dengan memberikan desakan agar OKI segera mengakui Yerussalem sebagai Ibukota Palestina. 

Organisasi Kerja sama Islam (OKI) itu sendiri adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh negara-negara Islam yang pada mulanya didorong oleh keprihatinan dari berbagai negara Islam atas banyaknya masalah yang dihadapi umat Muslim, khususnya usai terjadinya pembakaran sebagian masjid suci di Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969. OKI didirikan setelah pemimpin-pemimpin beberapa negara Islam mengadakan Konferensi di Rabat, Maroko pada tanggal 22 -- 25 September 1969 dan menyepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada piagam PBB dan HAM.

Pembentukan OKI antara lain bertujuan untuk mengeratkan solidaritas antar anggota, mengoordinasikan kerja sama antar-negara anggota, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan rakyat Palestina. OKI beranggotakan 57 negara Islam atau mayoritas Muslim di kawasan Asia dan Afrika. Sebagai organisasi internasional yang awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, khususnya pada masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerja sama di berbagai bidang, yaitu politik, sosial, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan antar negara-negara Muslim. 

Adanya organisasi OKI yang mampu menyatukan negara-negara Islam untuk saling bekerja sama demi kemajuan dan perdamaian dunia ini semestinya bisa menjadi batu loncatan bagi negara-negara Islam untuk bisa kembali bangkit menjemput kejayaannya. Dari adanya organisasi tersebut pada dasarnya sudah bisa memberikan gambaran tentang persatuan dan persaudaraan di antara umat Islam itu akan mampu mebuat mereka bisa maju. Hanya saja, sepertinya belum banyak negara-negara Islam yang mau menyadari hal tersebut dilihat dari belum banyaknya umat-umat Islam di penjuru dunia ini yang mau bergabung dalam barisan yang sama dalam rangka kebangkitan Islam di dunia ini.

Berbicara tentang kebangkitan, maka kita harus melihat terlebih dahulu apa saja penyebab kemunduran umat Islam saat ini agar bisa mencari titik temu atas solusi yang kita harapkan dalam rangka kebangkitan Islam itu sendiri. Kita bisa mulai menilik kembali kepada Kekhilafahan Turki Utsmani karena ia merupakan kerajaan Islam besar terakhir sebelum dominasi Islam benar-benar kehilangan eksistensinya di mata dunia. Bagaimana Kekhilafahan Ustmani yang sudah sangat besar kala itu mampu hancur tentu saja banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Dalam hal ini, kejatuhan Turki Utsmani disebabkan oleh pengaruh internal maupun eksternal dalam pemerintahannya. 

Dari intenal tubuh kekhalifahan Utsmani dapat terlihat dari gaya hidup sang sultan yang lebih mementingkan kesenangan pribadinya daripada memimpin negara. Lalu dari segi eksternal, adanya pertempuran-pertempuran yang menyebabkan Turki harus kehilangan beberapa wilayah kekuasaannya dan puncaknya adalah ketika Turki ikut terjun dalam perang dunia 1 pada Desember 1914 dalam kubu Jerman-Austria yang saat itu mengalami kekalahan. itulah masa akhir Turki Utsmani sebagai suatu Kekhilafahan sebelum akhirnya berubah menjadi Republik Turki.

Kejatuhan Kekhalifahan Turki Utsmani yang secara resmi berakhir pada tahun 1922 dengan pembubaran Kekhalifahan dan berdirinya Republik Turki pada tahun 1923 secara signifikan berdampak secara positif maupun negatif. Dampak positif yang ditimbulkan ialah bahwa pemerintah Republik Turki melakukan reformasi besar dalam sistem pendidikan, termasuk pengenalan huruf Latin sebagai alfabet resmi sehingga dapat membantu dalam meningkatkan tingkat melek huruf di Turki. Lalu ada juga kemajuan yang signifikan dalam hak-hak perempuan, yaitu hak suara dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan sosial. Di samping itu, kejatuhan Kekhalifahan Turki Utsmani dan pembentukan Republik Turki menandai kebangkitan identitas nasional Turki yang mampu membantu mengokohkan  identitas kebangsaan yang lebih kuat bagi masyarakat Turki.

Namun disamping dampak positif itu, tentu saja ada juga dampak negatif yang ditimbulkan dari kejatuhan Turki utsmani ini. Masa perpindahan dari Kekhalifahan Utsmani ke Republik Turki diwarnai dengan ketidakstabilan politik, termasuk konflik internal dan perang kemerdekaan. Selama periode ini, ada banyak kekacauan dan kekerasan yang mempengaruhi masyarakat. Beberapa kelompok etnis dan agama, seperti Yunani dan Armenia mengalami pengusiran dan kekerasan yang meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat. 

Dengan kejatuhan Kekhalifahan Turki Utsmani, wilayah yang pernah menjadi bagian dari kekhalifahan tersebut terbagi menjadi beberapa negara baru, termasuk negara-negara yang menjadi mandatori Inggris, Prancis dan negara-negara lain di Timur Tengah. Ini menyebabkan perubahan geopolitik yang signifikan dan konflik berkepanjangan di kawasan tersebut. Ekonomi kekhalifahan yang sudah melemah akibat perang dunia pertama dan keruntuhan politik menjadi semakin tertekan selama transisi menuju republik yang kemudian memerlukan waktu untuk pemulihan dan stabilisasi.

Kejatuhan Keklilafahan Utsmani dan pembentukan Republik Turki oleh Mustafa Kemal Ataturk menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan model reformasi modernis yang menarik perhatian perhatian banyak kalangan di dunia Islam, termasuk Indonesia. Gerakan nasionalis di Indonesia terinspirasi oleh semangat perlawanan dan perubahan yang terjadi di Turki. Perubahan yang diterapkan oleh Ataturk, sekalipun itu sekuler, mampu memberikan inspirasi bagi sebagian pemikir dan aktivis Islam di Indonesia untuk memikirkan kembali peran Islam dalam politik dan masyarakat. Beberapa kelompok berusaha memadukan nilai-nilai Islam dengan ide-ide modern dan nasionalisme. Pengaruh Turki Utsmani juga terlihat dalam kemunculan beberapa organisasi Islam di Indonesia yang mencoba untuk menyeimbangkan antara modernisasi dan tradisi. Contohnya seperti organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang meskipun telah ada sebelumnya, namun kedua organisasi ini semakin menegaskan peran mereka dalam konteks nasionalis dan modernis setelah kejatuhan Turki Utsmani. Organisasi-organisasi ini dalam menghadapi perubahan geopolitik dan sosial mulai menyesuaikan arah politik mereka, yaitu dengan dorongan untuk memperkuat posisi Islam dalam politik lokal dan nasional tanpa meniru secara langsung model Turki Utsmani.

Kejatuhan Turki Utsmani dan penerapan sekularisme di Turki menimbulkan perdebatan di kalangan pemikir dan politisi Muslim di Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama. Beberapa kelompok menganggap sekularisme sebagai ancaman terhadap nilai-nilai Islam, sementara yang lain melihatnya sebagai langkah menuju modernisasi dan kemajuan. Dalam konteks ini, muncul perdebatan antara mereka yang mendukung pemisahan agama dari urusan negara dan mereka yang mendorong penerapan hukum Islam dalam sistem politik. Ini mencerminkan dinamika pemikiran politik Islam yang terus berkembang di Indonesia. Kejatuhan Turki Utsmani memotivasi banyak gerakan anti-kolonial di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Aktivis dan pemimpin nasionalis Indonesia melihat momentum ini sebagai dorongan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari kekuasaan kolonial Belanda. 

Konteks global dan lokal dalam periode tersebut memperkuat semangat nasionalisme di Indonesia. Pengaruh dari Turki Utsmani dan perubahan politik di Timur Tengah memperkaya perspektif para pemimpin Indonesia dalam merumuskan strategi politik untuk kemerdekaan.  Meski ada resistensi terhadap sekularisme, ide-ide modernisasi yang datang dari pengalaman Turki Utsmani mempengaruhi berbagai aspek sosial dan budaya di Indonesia. Reformasi dalam pendidikan, hukum dan sosial mendapat perhatian yang lebih besar seiring dengan pergeseran menuju masyarakat yang lebih modern. Pembaharuan di Turki menginspirasi diskusi tentang reformasi sosial di Indonesia, termasuk isu-isu seperti pendidikan dan kemajuan sosial yang sering kali dihubungkan dengan interpretasi modern dari nilai-nilai Islam.

Berbicara tentang kemajuan suatu negeri, maka makna maju disini harus kita pahami dengan benar terlebih dahulu. Apakah makna maju disini berarti kemajuan secara materi atau hal lainnya. Jika kita melihat cara pandang Barat, tentu saja yang mereka pahami dengan kemajuan adalah tentang materi, yaitu dilihat dari perkembangan teknologi mereka, padahal secara akhlak, negara itu sebenarnya hancur karena paham kebebasan yang mereka anut. Dalam Islam tidak demikian. Islam memandang kemajuan peradaban suatu bangsa adalah ketika ia dipenuhi dengan ilmu pengetahuan dan akhlak. Karena ketika keimanan memenuhi jiwa manusia-manusia di suatu negeri maka adab akan terbentuk dan menjadikan mereka mencintai ilmu dan berjiwa pengorbanan. 

Mereka tidak akan berani melakukan perkara-perkara yang merugikan negaranya, karena dengan adab yang mereka miliki, tujuan mereka membangun suatu negeri adalah karena suatu kewajiban. Maka, tidak akan ada orang-orang dzalim yang malah merusak suatu negeri. Dengan dua hal inilah Islam bisa bangkit kembali untuk menebarkan cahaya Islam di berbagai penjuru dunia. Maka, reposisi peran dan posisi umat Islam dalam ranah politik penting untuk diperhatikan bagi seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Karena dengan masuk ke ranah politik Islam akan lebih mudah untuk melebarkan eksistensinya. Dengan besarnya pengaruh Islam politik di suatu pemerintahan maka akan lebih banyak celah untuk pemikiran dan nilai-nilai Islam dapat diterapkan.

Peran Islam politik di Indonesia dapat dihambat oleh beberapa faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis, budaya dan agama dengan tingkat yang sangat tinggi. Perbedaan ini seringkali memunculkan tantangan dalam menerapkan agenda politik berbasis Islam secara menyeluruh, karena kebijakan yang terlalu menekankan aspek-aspek agama tertentu bisa menyebabkan ketidakpuasan di kalangan kelompok-kelompok non-Muslim dan minoritas. Di berbagai daerah di Indonesia, kepentingan lokal dan tradisi budaya sering kali berbeda dengan pandangan politik Islam nasional. Perbedaan ini dapat menimbulkan ketegangan dan memperumit penerapan kebijakan berbasis Islam secara universal.

 Meskipun Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim, konstitusi dan sistem hukum Indonesia secara resmi bersifat sekuler. Sekularisme ini mengatur bahwa negara tidak memihak agama tertentu dalam urusan pemerintahan. Hal ini dapat membatasi ruang gerak bagi politik Islam untuk diterapkan dalam kebijakan publik. Di Indonesia, terdapat berbagai ideologi politik yang bersaing, seperti nasionalisme sekuler, sosialisme dan liberalisme. Persaingan ini sering kali membuat partai-partai politik berbasis Islam harus berkompromi untuk bisa berkoalisi dengan partai lain yang dapat mengurangi kekuatan dan pengaruh agenda politik Islam.

Di kalangan umat Islam di Indonesia sendiri terdapat berbagai aliran dan pandangan yang berbeda. Konflik antara kelompok-kelompok ini, seperti antara kalangan konservatif dan moderat tentu juga dapat menghambat kesepakatan dan kemajuan dalam agenda politik Islam. Belum lagi dengan kasus-kasus radikalisasi dan terorisme yang mengatasnamakan Islam yang seringkali menyebabkan citra negatif terhadap politik Islam di Indonesia. Hal ini dapat membuat masyarakat umum dan pemerintah lebih berhati-hati dalam mendukung atau menerapkan kebijakan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam.

Keterbatasan dalam pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia di bidang politik Islam juga dapat menghambat kemampuan partai-partai politik berbasis Islam untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang efektif. Banyak partai politik berbasis Islam mengalami kesulitan dalam hal pendanaan dan dukungan logistik. Kekurangan sumber daya ini dapat membatasi kemampuan mereka untuk beroperasi secara efektif dan mempengaruhi pemilih. Sistem demokrasi di Indonesia memungkinkan berbagai partai politik untuk bersaing. Dalam proses pemilihan umum, partai politik berbasis Islam harus bersaing dengan partai-partai lain yang mungkin memiliki agenda politik yang berbeda. Hal ini bisa mengakibatkan politik Islam menjadi minoritas dalam sistem pemerintahan. Untuk mencapai kekuasaan, partai-partai politik di Indonesia sering kali perlu membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Proses ini seringkali memerlukan kompromi yang dapat mengurangi kekuatan agenda politik Islam.

Media dan opini publik sering kali memberikan perhatian lebih pada aspek negatif dari politik Islam, seperti radikalisasi atau ekstremisme. Persepsi negatif ini dapat menghambat penerimaan politik Islam di kalangan masyarakat umum. Jika masyarakat merasa bahwa agenda politik Islam tidak sesuai dengan kebutuhan atau keinginan mereka, dukungan publik terhadap politik Islam dapat berkurang, yang pada gilirannya menghambat implementasi kebijakan berbasis Islam. Regulasi dan undang-undang yang ada mungkin tidak mendukung atau membatasi penerapan kebijakan politik berbasis Islam. Ini termasuk batasan-batasan dalam konstitusi atau hukum yang tidak memungkinkan penerapan hukum syariah secara menyeluruh. Mengatasi faktor-faktor penghambat ini memerlukan strategi yang bijaksana, dialog yang konstruktif dan pendekatan yang inklusif. Penerapan prinsip-prinsip Islam dalam politik harus mempertimbangkan keragaman sosial dan politik yang ada, serta mencari cara untuk menyelaraskan kepentingan umum dengan nilai-nilai Islam tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.

Untuk menganalisis peran dan posisi Islam politik di Indonesia, pendekatan politik tradisional, behavioral, dan post-behavioral dapat memberikan wawasan yang berbeda dan mendalam. Pendekatan politik tradisional berfokus pada struktur, institusi, dan ideologi yang ada dalam sistem politik. Dalam konteks Islam politik di Indonesia, pendekatan ini melihat peran dan posisi Islam politik melalui lensa sejarah, hukum dan struktur kekuasaan. Politik Islam di Indonesia memiliki akar sejarah yang dalam, mulai dari masa perjuangan kemerdekaan hingga periode pasca-kemerdekaan. Partai-partai politik berbasis Islam seperti Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara. Setelah kemerdekaan, berbagai peraturan dan konstitusi, seperti Piagam Jakarta dan Undang-Undang Dasar 1945 mencerminkan perdebatan tentang peran Islam dalam negara. Konstitusi Indonesia mengakui keberadaan agama, tetapi tetap mengedepankan prinsip negara sekuler. Penerapan hukum syariah terbatas pada aspek-aspek tertentu seperti hukum keluarga di beberapa daerah. Pendekatan tradisional menilai bagaimana struktur hukum dan konstitusi mempengaruhi posisi dan peran Islam politik dalam kerangka negara. Partai-partai politik berbasis Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), beroperasi dalam kerangka politik yang ditentukan oleh undang-undang dan regulasi yang ada. Mereka berusaha mempengaruhi kebijakan publik dan legislatif sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam batas-batas yang ditetapkan oleh sistem politik sekuler Indonesia.

Pendekatan behavioral menekankan pada perilaku individu dan kelompok dalam konteks politik. Dalam analisis Islam politik di Indonesia, pendekatan ini memfokuskan pada bagaimana individu dan kelompok berperilaku dalam konteks politik Islam, serta bagaimana mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem politik. Pemilih Muslim di Indonesia menunjukkan preferensi yang bervariasi terhadap partai-partai berbasis Islam. Perilaku pemilih dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti identitas agama, pandangan sosial-ekonomi dan sikap terhadap kebijakan publik. Perubahan dalam preferensi pemilih dapat mempengaruhi kekuatan politik partai-partai Islam. Gerakan politik berbasis Islam, seperti ormas Islam dan partai politik aktif dalam mobilisasi massa dan partisipasi politik. Mereka mengorganisir kampanye, demonstrasi dan acara sosial untuk mempengaruhi opini publik dan kebijakan pemerintah. Analisis perilaku ini membantu memahami bagaimana politik Islam berinteraksi dengan masyarakat dan sistem politik. Dalam partai-partai politik berbasis Islam, terdapat dinamika internal seperti konflik antara faksi moderat dan konservatif, serta pengaruh pemimpin dan aktivis. Perilaku internal ini mempengaruhi strategi politik dan kebijakan yang diusung oleh partai-partai tersebut.

Pendekatan post-behavioral menekankan pada perubahan dan reformasi dalam teori dan praktik politik. Pendekatan ini mempertimbangkan bagaimana pergeseran sosial dan politik mempengaruhi posisi dan peran politik Islam di Indonesia. Dalam era reformasi, politik Islam di Indonesia mengalami perubahan signifikan. Reformasi politik membuka ruang bagi partai-partai berbasis Islam untuk beroperasi secara lebih bebas, tetapi juga menuntut mereka untuk beradaptasi dengan perkembangan politik yang lebih demokratis dan pluralistik. Perubahan ini termasuk peningkatan keterlibatan dalam proses politik dan penyesuaian strategi politik untuk mengatasi tantangan modern. Globalisasi mempengaruhi cara politik Islam di Indonesia beroperasi. Terpengaruh oleh ide-ide internasional dan praktik politik global, partai-partai berbasis Islam harus beradaptasi dengan tren global seperti hak asasi manusia, demokrasi dan ekonomi pasar. Analisis Post-behavioral melihat bagaimana partai-partai ini menanggapi tantangan global dan apa dampaknya terhadap posisi mereka di dalam negeri. Partai-partai politik berbasis Islam semakin berinteraksi dengan masyarakat sipil dan sektor swasta dalam upaya untuk mempengaruhi kebijakan publik dan mendapatkan dukungan. Pendekatan post-behavioral mengeksplorasi bagaimana politik Islam beradaptasi dengan perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi serta bagaimana hal ini mempengaruhi posisinya dalam politik nasional.

Trend kebangkitan Islam politik di Indonesia mencerminkan dinamika sosial, politik dan ekonomi yang berkembang sejak awal abad ke-21. Peningkatan partisipasi politik partai Islam merupakan satu hal yang bisa diusahakan oleh pihak terkait. Dalam beberapa dekade terakhir, partai-partai berbasis Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) telah mengalami peningkatan dalam hal dukungan dan keterlibatan politik. PKS misalnya, menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam pemilihan umum dan mengembangkan pengaruh yang lebih besar dalam politik nasional. Partai-partai Islam sering membentuk koalisi dengan partai-partai non-Islam untuk memperoleh kekuasaan dan mempengaruhi kebijakan. Kolaborasi ini memungkinkan mereka untuk memainkan peran yang lebih besar dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan.

Hal lainnya yang bisa dilakukan adalah peningkatan pengaruh Ormas Islam. Organisasi Massa Islam (Ormas) seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memainkan peran penting dalam politik dan sosial di Indonesia. NU, dengan basis massa yang luas dan Muhammadiyah, dengan fokus pada pendidikan dan pembaharuan memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik dan kebijakan. Ormas-ormas ini sering terlibat dalam kegiatan sosial dan politik serta memberikan dukungan atau kritik terhadap kebijakan pemerintah. Mereka berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah serta mempromosikan agenda-agenda Islam dalam konteks sosial dan politik.

Munculnya gerakan Islam populis dan konservatif juga menjadi hal yang mewarnai ranah Islam politik di Indonesia. Gerakan Islam populis yang menekankan pada aspek-aspek identitas Islam dalam politik sering menggunakan retorika agama untuk menarik dukungan massa dan mengkritik pemerintah yang dianggap tidak memenuhi tuntutan agama. Disamping itu, ada pula peningkatan dalam pengaruh kelompok-kelompok konservatif yang mendorong penerapan hukum syariah dan nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik. Kelompok ini seringkali memiliki agenda untuk mengubah kebijakan pemerintah agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip Islam konservatif.

Media sosial juga memainkan peran penting dalam kebangkitan politik Islam di Indonesia. Platform-platform seperti Twitter, Facebook, Tik Tok dan Instagram digunakan untuk kampanye politik, penyebaran pesan dan mobilisasi massa. Aktivis dan politisi Islam memanfaatkan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan mempengaruhi opini publik. Digitalisasi memungkinkan gerakan-gerakan Islam untuk beroperasi lebih efisien dan mengorganisir kegiatan dengan cepat. Ini juga mempermudah akses ke informasi dan mobilisasi dukungan untuk agenda-agenda politik berbasis Islam.

Kritik terhadap pemerintah dan respon terhadap globalisasi menjadi hal yang penting untuk dilakukan dengan cara yang tepat. Beberapa gerakan politik Islam mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kritik ini sering berfokus pada isu-isu seperti korupsi, ketidakadilan sosial dan penerapan hukum yang dianggap bertentangan dengan prinsip Islam. Globalisasi dan pengaruh internasional juga mempengaruhi kebangkitan Islam politik. Gerakan-gerakan Islam di Indonesia sering merespons tren global dengan mengadaptasi pesan dan strategi mereka untuk memenuhi tuntutan lokal dan internasional.

Dalam rangka mempertahankan eksistensi Islam, meski belum bisa maksimal dalam lingkup nasional, namun penerapan syariah di tingkat lokal tetap harus dipertahankan. Beberapa daerah di Indonesia seperti Aceh, telah menerapkan hukum syariah dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan syariah di tingkat lokal ini mencerminkan keinginan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam sistem hukum dan sosial. Penerapan syariah lokal juga mempengaruhi kebijakan dan praktik di daerah-daerah lain serta memberikan contoh bagi gerakan politik Islam untuk mendorong penerapan serupa di tingkat nasional.

Kesadaran sosial di kalangan komunitas Muslim meningkat dengan banyak kelompok yang terlibat dalam aktivitas sosial dan politik untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Ini termasuk keterlibatan dalam isu-isu seperti keadilan sosial, hak asasi manusia dan pengentasan kemiskinan. Aktivisme Islam semakin menonjol dalam berbagai isu politik dan sosial. Aktivis Islam terlibat dalam kampanye, demonstrasi dan inisiatif sosial untuk mempengaruhi kebijakan dan meningkatkan kesadaran tentang isu-isu penting.

Kejatuhan Kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924 memiliki dampak yang signifikan terhadap dunia Islam, termasuk Indonesia. Kejadian ini menandai berakhirnya pemerintahan Islam terpusat yang diakui secara luas di kalangan Muslim dan membawa implikasi bagi politik Islam di berbagai negara. Beberapa saran dan rekomendasi untuk memahami dampak ini terhadap peran dan posisi Islam politik di Indonesia ialah dengan melakukan studi mendalam tentang sejarah Islam, dimana hal ini sangat penting bagi masyarakat dan akademisi untuk memahami sejarah kekhalifahan, termasuk peran dan pengaruh Turki Utsmani, agar dapat menilai dampaknya terhadap dinamika politik Islam di Indonesia.

Selain itu, memahami situasi sosial dan politik Indonesia pada awal abad ke-20, termasuk gerakan nasionalisme dan pengaruh kolonialisme yang memainkan peran penting dalam membentuk politik Islam juga harus benar-benar diperhatikan dengan baik. Setelah kejatuhan Kekhalifahan, muncul kebutuhan untuk menafsirkan kembali nilai-nilai Islam dalam konteks negara dan bangsa. Maka, penting dilakukan hal tersebut termasuk merumuskan konsep-konsep seperti demokrasi, hak asasi manusia dan pluralisme dalam perspektif Islam.

Di Indonesia, organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah berperan penting dalam mengartikulasikan Islam sebagai bagian dari identitas nasional. Mereka juga menjadi wadah bagi ekspresi politik Islam dalam kerangka negara modern. Di era yang sudah sangat maju ini, tentu meningkatkan kualitas pendidikan Islam penting untuk dilakukan dalam rangka memperkuat pemahaman dan kesadaran umat tentang posisi Islam dalam negara modern. Ini juga melibatkan pengajaran tentang sejarah politik Islam dan kontribusi ulama serta organisasi Islam dalam pembangunan bangsa.

   Mengembangkan dialog antaragama dan antarbudaya untuk memperkuat toleransi dan kebersamaan di tengah masyarakat yang plural harus dilakukan dengan maksimal. Begitu pula dengan aktivitas untuk mendorong pengembangan partai politik berbasis Islam yang memiliki platform yang jelas dan dapat berkontribusi positif dalam politik nasional juga harus diperhatikan. Partai-partai ini harus mampu menyeimbangkan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebangsaan.

   Peran ulama dan cendekiawan dalam memberikan panduan moral dan etis dalam politik, serta sebagai mediator dalam konflik yang mungkin timbul harus diperkuat. Islam politik di Indonesia perlu beradaptasi dengan tantangan globalisasi, termasuk pengaruh budaya global dan isu-isu kontemporer seperti teknologi dan lingkungan. Maka peran ulama dan cendekiawan sangat diperlukan dalam menghadapi keadaan yang ada.

Referensi:

Ishaqro, AH dan Nurcahyo,A. 2013. Pengaruh Partai Golkar terhadap Dinamika Kehidupan Politik di Kabupaten Madiun Tahun 1999-2009. Agastya:Jurnal Sejarah dan Pembelajarannya. Vol 3, No 2 (2013)

Muvid, Muhamad Basyrul. "Sejarah Kerajaan Turki Utsmani dan Kemajuannya Bagi Dunia Islam." Ta'dib : Jurnal Penidikan Islam dan Isu-isu Sosial, Vol.20 No.2 (Juli-Desember 2022)

https://kemlu.go.id/portal/id/read/129/halaman_list_lainnya/organisasi-kerja-sama-islam-oki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun