Mohon tunggu...
lovelivelaugh
lovelivelaugh Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

Di seberang sana, aku merasa segala hal bersifat rasional dan logis. Di sini, stagnansi dihancurkan atau setidaknya dielaborasi menjadi lebih puitis dan romantis.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Idealisme Semu

18 Januari 2025   02:07 Diperbarui: 18 Januari 2025   02:07 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengalur dalam perjalanan politis, mencoba untuk membuka mataku terhadap dunia. Sejak SMP, aku menyingkap segala ajaran atau pemahaman yang terkesan memaksa, doktrin, dan menyempitkan ruang imajinasiku.

Aku pernah menulis pandanganku mengenai G30S saat masih duduk di bangku SMP. Mencoba untuk mengontradiksi kawan-kawan sebaya yang tampak normie bagiku.

Contohnya, mereka berlagak menjadi fasis atau nazi karena ideologi tersebut yang menjadi lawan ideologi komunis atau bahkan hanya karena mereka menghabisi Yahudi.

Aku terus menjelajahi bagian dunia lain yang gelap dan terabaikan, tidak terjamah kurikulum sekolah atau terjamah dengan cara yang salah.

Meski aku menyadari tidak dapat menjalani garis hidupku sepenuhnya dengan pengetahuan tersebut, tetapi setidaknya aku memiliki bekal dan wawasan akan kehidupan.

Memasuki bangku SMA, aku merasa beruntung ditemukan dengan guru-guru muda yang meninggalkan pikiran-pikiran golongan tua yang memenjarakan isi kepala.

Mereka paham betul bahwa pengetahuan bukanlah kejahatan, dan memberikan hal tersebut pada murid-murid mereka ini adalah sebuah amal yang diperlukan.

Membeberkan kebenaran pahit saja tidak akan membuat seseorang melupakan rekayasa manis yang telah lama mereka tinggali. Melainkan sebuah tolak ukur atau pembanding yang tidak mutlak.

Kasus-kasus pelanggaran HAM semacam pembunuhan, penculikkan, korporat keparat, dan sebagainya telah menjadi makanan bagiku atau siapapun yang merelakan telinganya terbuka bersama dengan pikiran dan hatinya.

Kisah tersebut tampak klise dalam lembar sejarah, tetapi pembuktiannya mudah saja dengan membandingkan apa yang terjadi di masa saat ini.

Aktor-aktor yang berperan, terlibat, dan turut andil masih memiliki kendali di negeri ini. Tidak lain dan tidak bukan segala kisah serupa belakangan ini merupakan perbuatan mereka atau setidaknya adalah akibat daripadanya.

Bertahun-tahun kisah tersebut berulang. Aktivis baru yang menjadi martir, penyebar kabar yang dikejar, hingga buruh yang diburu, semuanya masih terulang terus-menerus.

Selama aku tertangkap dan dibebaskan, aku sering menemukan sang prajurit tegap yang ditugaskan. Mereka memang keliru dan seringkali hanya bisa meniru.

Terlepas dari itu semua, ada gerombolan yang memang tidak jarang mengambil panggung dalam setiap gerakan. Sebetulnya, bukan kali pertama aku menyaksikan dan merasakan kehadiran mereka.

Dalam nama tahta, kuasa, dan harta, mereka bergerak bagai prajurit keluar barak yang berharap kenaikan pangkat dan hak.

Tetapi tidak pernah sekalipun dalam hidupku aku membayangkan menjabat tangan mereka. Paling tidak aku akan keluar barisan ketika menyadari kehadiran gerombolan yang demikian.

Demi ketentuan perkuliahan, aku terpaksa berjabat dengan korporat bangsat yang bersiasat. Belakangan aku bahkan belum menyadari kebangsatan ini yang tentu tidak masuk perjanjian.

Politik yang bermedia atau media yang berpolitik, aku kesulitan memahami situasi di lingkunganku dalam mencari pengalaman. Hari ke hari kupenuhi dengan kutukan media-media yang berafiliasi dengan kepentingan lain yang lebih besar.

Menjadi penyiar kabar ternyata bukanlah sekadar menyebarkan kebenaran. Ia mempelajari kebenaran itu sendiri untuk diatur dan dijadikan kabar yang bermahar.

Beberapa kali untuk mencoba mengolahnya dengan hina, aku menurunkan standar idealisku dengan menjadi populis trendi. Harapanku tidak banyak, untuk menghasilkan sekadar kabar yang masih memihak meskipun harus memikirkan jumlah peminat sebagai indikator.

Semakin larut, aku justru dipaksa terampil dalam membuat kail. Ini bukan lagi kebenaran, melainkan nelayan yang memburu ikan. Ketika ikan memakan umpan, yang ada di atasnya hanyalah penipuan yang tak memiliki kesamaan dengan gambaran umpan.

Ekonomi, Politik, dan Media memang merupakan tiga pilar yang berkesinambungan. Seperti tiga kali usulan kabarku ditolak pimpinan, ketiganya bukan tanpa sebab.

Bukan karena jumlah peminat, bukan karena bentuk struktur pemilihan kalimat, dan bukan karena verifikasi kelolosan hukum yang ketat.

Belakangan aku mengetahui, beberapa kabar memang telah memiliki mahar untuk tidak disebar. Para pejabat yang seringkali kongkalikong dengan perangkat lainnya ternyata telah merambat menghasilkan cukong korporat media.

Menariknya, salah satu tulisanku mengenai pejabat kemenhub yang diperintahkan menteri  untuk melakukan suatu hal tidak langsung dihapus draftnya. 

Selagi negosiasi berlangsung, transfer dilakukan, kontrak berlaku, pimpinan menunggu bom waktu untuk tulisan tersebut dapat dielaborasi dan diterbitkan.

Setengah tak percaya, aku hanya mencoba merefleksikan diriku kembali pada saat aku duduk di bangku SMP. Sebuah perbedaan signifikan aku hadapi dalam mengurai garis peradaban. 

Mungkin salah, mungkin benar, atau mungkin tidak keduanya.  Dengan mengesampingkan kehidupanku yang jauh dari moral, aku hanya dapat memastikan bahwa perubahan telah menghantam kehidupan ntah sejak kapan.

Meskipun demikian, besar harapanku akan terusnya perubahan diiringi kebaikan. Karena harapan merupakan lawan dari kekacauan pikiran, ia menghasilkan imajinasi yang membuat jiwa ku, jiwa mu, dan jiwa kita semua tetap hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun