Bertahun-tahun kisah tersebut berulang. Aktivis baru yang menjadi martir, penyebar kabar yang dikejar, hingga buruh yang diburu, semuanya masih terulang terus-menerus.
Selama aku tertangkap dan dibebaskan, aku sering menemukan sang prajurit tegap yang ditugaskan. Mereka memang keliru dan seringkali hanya bisa meniru.
Terlepas dari itu semua, ada gerombolan yang memang tidak jarang mengambil panggung dalam setiap gerakan. Sebetulnya, bukan kali pertama aku menyaksikan dan merasakan kehadiran mereka.
Dalam nama tahta, kuasa, dan harta, mereka bergerak bagai prajurit keluar barak yang berharap kenaikan pangkat dan hak.
Tetapi tidak pernah sekalipun dalam hidupku aku membayangkan menjabat tangan mereka. Paling tidak aku akan keluar barisan ketika menyadari kehadiran gerombolan yang demikian.
Demi ketentuan perkuliahan, aku terpaksa berjabat dengan korporat bangsat yang bersiasat. Belakangan aku bahkan belum menyadari kebangsatan ini yang tentu tidak masuk perjanjian.
Politik yang bermedia atau media yang berpolitik, aku kesulitan memahami situasi di lingkunganku dalam mencari pengalaman. Hari ke hari kupenuhi dengan kutukan media-media yang berafiliasi dengan kepentingan lain yang lebih besar.
Menjadi penyiar kabar ternyata bukanlah sekadar menyebarkan kebenaran. Ia mempelajari kebenaran itu sendiri untuk diatur dan dijadikan kabar yang bermahar.
Beberapa kali untuk mencoba mengolahnya dengan hina, aku menurunkan standar idealisku dengan menjadi populis trendi. Harapanku tidak banyak, untuk menghasilkan sekadar kabar yang masih memihak meskipun harus memikirkan jumlah peminat sebagai indikator.
Semakin larut, aku justru dipaksa terampil dalam membuat kail. Ini bukan lagi kebenaran, melainkan nelayan yang memburu ikan. Ketika ikan memakan umpan, yang ada di atasnya hanyalah penipuan yang tak memiliki kesamaan dengan gambaran umpan.
Ekonomi, Politik, dan Media memang merupakan tiga pilar yang berkesinambungan. Seperti tiga kali usulan kabarku ditolak pimpinan, ketiganya bukan tanpa sebab.