Lagu ini menemani masa kecilku dari Radio Klasik Papi. Jejak lirik nya terlalu jelas dikepala meski kala itu tak paham makna dibaliknya. Lantunan merdu saxophone yang mengiringinya pun mampu menembus kenangan lalu.
Kecintaanku pada sastra –tepatnya sifat melankolisku- tetiba mengantarku untuk menyelami makna lagu ini.
Seperti judulnya, “Aku ingin pulang” mengkisahkan keinginan sang penyair untuk kembali pulang setelah lelah berpetualang panjang. Namun kemudian penyair ragu akankah ia bisa dan boleh pulang? Sementara kunci pintu pernah dipatahkannya.
Pada bait pertama, penyair mengisahkan
Ke mana pun aku pergi
Bayang-bayangmu mengejar
Bersembunyi di mana pun
Selalu engkau temukan
Aku merasa letih
Dan ingin sendiri
Kutanya pada siapa
Tak ada yang menjawab
Sebab semua peristiwa
Hanya di rongga dada
Pergulatan yang panjang
Dalam kesunyian
Sang ‘Aku’ disini mengaku letih selalu ditemukan oleh suatu bayang-bayang yang mengejarnya meski ia mencoba bersembunyi.
Jika mengacu pada lirik berikutnya, makna bayang-bayang disini sepertinya wujud ‘rasa bersalah’ Sang Aku atas kelakuannya.
Sang Aku mencoba mencari jawaban, tapi tak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Sebab bahkan, seluruh kisahnya, semua peristiwa yang dialaminya, hanya tersimpan di dalam hatinya. Tak ada yang mengetahui. Sang Aku membatin seorang diri. Sunyi. Bertempur dengan perasaan kebingungan di dalam hatinya atas kisahnya. “Aku harus bagaimana? Aku harus kemana?”
Aku mencari jawaban di laut
Kuseret langkah menyusuri pantai
Aku merasa mendengar suara
Menutupi jalan
Menghentikan petualangan
Tak dapat jawaban dari manusia, Sang Aku pun mencari jawaban atas kekalutan hatinya di laut. Dengan menyeret langkah, Sang Aku merenung, mencari petunjuk. Hingga kemudian Sang Aku seolah mendapat sebuah ilham, untuk berhenti dari petualangannya.
Petualangan disini sepertinya menceritakan suatu perjalanan, pencarian Sang Aku untuk kehidupan yang diharap lebih baik, lebih menyenangkan. Namun ternyata itu semua tidak mudah. Banyak peristiwa yang justru mengantarkannya untuk melakukan hal yang tidak semestinya.
Sang penyair melanjutkan kisah,
Ke mana pun aku pergi
Selalu kubawa-bawa
Perasaan yang bersalah
Datang menghantuiku
Masih mungkinkah pintumu kubuka
Dengan kunci yang pernah kupatahkan?
Lihatlah, aku terkapar dan luka
Dengarkanlah jeritan dari dalam jiwa
Aku ingin Pulang
Sang aku selalu merasa tidak tenang karena dihantui oleh perasaan bersalahnya. Karenanya Sang Aku ingin kembali, ingin pulang.
Namun keraguan mengganggu hatinya, akankah ‘rumah’ yang ditujunya mau menerima dan membukakan pintu? Sebab kunci yang pernah dipercayakan padanya telah patah.
Saya termenung cukup lama meresapi bait terakhir ini, nyawa dari lagu ini sebenarnya berada disini.
Kemana sebenarnya sang aku ingin pulang? Apa maksud pintu dan kunci disini?
Kenapa jiwanya sampai menjerit ingin pulang?
Pertama, dan selalu yang paling menarik, ini adalah kisah tentang cinta. Sang Aku yang gagal dalam petualangan pencarian cinta ‘baru’nya, telah menyesal. Ia ingin kembali ke kekasih hatinya meski ia terus bertanya-tanya akankah sang kekasih masih mau menerimanya? Sementara ia telah mengkhianati ‘kepercayaan’ sang kekasih, mematahkan ‘kunci’ suatu hubungan.
Sementara makna lainnya, bukan yang pertama, namun yang utama, adalah tentang Tauhid. Sang Aku ingin kembali pada Tuhannya setelah merasa salah langkah dalam perjalanan hidupnya. Ia ingin pulang, kembali ke jalan yang benar. Namun Sang Aku ragu, mungkinkah masih ada ‘pintu’ maaf untuknya yang telah banyak berbuat salah? Adakah ampunan baginya yang telah meninggalkan jalaln yang benar hingga ‘mematahkan kunci kedamaian hidup’ nya sendiri?
Sang aku menjerit dalam jiwanya, dibalik lukanya,
Aku harus pulang
Aku ingin pulang
Aku harus pulang
Aku harus pulang
Pada akhirnya, hasil tafakur saya mengatakan, ini adalah tentang Tauhid Uluhiyah. Keinginan ‘pulang’ dan rasa bersalah bertempur dihatinya. Namun ia yakin, satu-satunya solusi dari kagalauan hati, hanyalah ilahi. Sebab itulah Sang Aku harus pulang.
Sebab tiada daya dan upaya selain pertolongan dari Allah.
Hanya Allah.
Satu-satunya tempat kembali, satu-satunya tempat berserah diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H