“Sekarang saya justru pengen tahu KPK mau nanya apa. Orang BPK-nya ngaco gitu kog!” (lihat videonya di sini)
Itu adalah petikan ucapan Ahok mengenai audit BPK ketika hendak menghadapi pemeriksaan KPK. Ucapan Ahok tersebut kontan menuai reaksi dari beberapa tokoh politik negeri ini. Tak kurang dari mendagri Tjahjo Kumolo bereaksi atas ucapan Ahok tersebut. Beliau mengatakan, saya kutip; "Seluruh kepala daerah harusnya saling menghargai, membangun komunikasi yang baik dengan semua lembaga apakah itu kepolisian, kejaksaan atau BPK," Beliau juga sempat menyidir Ahok dengan mengatakan “Mulutmu harimaumu.” (lihat beritanya di sini.)
Politisi PDIP yang lain, Masinton Pasaribu juga mengatakan, saya kutip: “Hasil BPK sebagai auditor negara harus dihormati. Terlepas itu suka atau tidak suka, itu harus dihormati. Tidak selayaknya Ahok menyatakan BPK ngaco,” (beritanya di sini)
Bagaimana tanggapan BPK mengenai pernyataan Ahok tersebut? Ketua BPK Harry Azhar Aziz menegaskan lembaganya selalu bekerja profesional, termasuk dalam audit pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta pada 2014. “Percayalah kami bekerja secara profesional dan sudah dipercaya oleh dunia,” Kata beliau (sumber)
Dalam benak saya muncul pertanyaan. “benarkah dalam hal ini BPK professional?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) profesional berarti bersangkutan dengan profesi yang memerlukan kemampuan khusus untuk menjalankannya. Kalau BPK professional, berarti BPK juga memiliki kemampuan khusus untuk melakukan tugasnya yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.(UU no 15 tahun 2006 pasal 6 ayat 1).
Menurut saya, sikap professional juga ditunjukkan dengan mematuhi kode etik maupun standar operasional profesi yang bersangkutan. Dalam hal BPK, hal tersebut tertuang dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Salah satunya saya kutip :
“Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya” (SKPN BPK hal 24 no 14)
Untuk dapat menunaikan tugasnya tersebut, tentu BPK harus menguasai semua peraturan maupun undang-undang yang berkaitan atau diperlukan dalam menunauikan tugasnya tersebut. Di sinilah pertanyaan mengenai profesionalitas BPK saya pertanyakan.
Dalam audit BPK tentang pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI, BPK menuding telah terjadi pelanggaran dalam pengadaan lahan tersebut oleh pemprov DKI. BPK mendasarkan temuannya tersebut pada Perpres No 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah, yang menyatakan bahwa pengadaan tanah di atas satu hektare tidak boleh melalui penunjukan langsung. Padahal peraturan tersebut sudah direvisi oleh Perpres No 40 tahun 2014, pasal 121, yang menyatakan bahwa pengadaan lahan di bawah lima hektare boleh melalui penunjukan langsung. BPK mungkin saja berdalih bahwa saat terjadi proses pembelian lahan tersebut Perepres yang berlaku adalah Perpres no 71 tahun 2012. Benarkah demikian?
Ahok pertama kali menyatakan niatnya untuk membeli lahan RSSW pada tanggal 12 Mei 2014 (sumber : kompas). Jelas tidak mungkin audit BPK dilakukan sebelum tanggal tersebut. Sementara Perpres No 40 tahun 2014 mulai berlaku tanggal 24 April 2014. Jadi tidak ada alasan BPK masih memakai peraturan yang lama. Kalau mereka masih memakai peraturan yang lama, maka menurut saya hanya ada dua kemungkinan :
Pertama, BPK memang TIDAK TAHU bahwa peraturan tersebut sudah berubah.
Kedua, BPK tahu, tapi SENGAJA menggunakan peraturan lama untuk menjegal Ahok.
Jika kemungkinan pertama yang benar, maka BPK jelas tidak professional. Bagaimana mungkin mereka tidak tahu ada aturan yang baru?
Jika kemungkinan kedua yang benar, BPK juga tidak professional, karena mereka melanggar aturan mereka sendiri (lihat kutipan SKPN BPK di atas)
Apa kata BPK mengenai hal tersebut? Berikut ini adalah pernyataan Raden Yudi Ramdan, Jurubicara BPK yang saya kutip dari wawancara beliau dengan Tempo :
(Bagian bercetak tebal adalah pertanyaan reporter Tempo, dan bagian yang tidak dicetak tebal adalah jawaban Raden Yudi Ramdan)
The audit findings charged the Jakarta government with contravening Presidential Regulation No. 71/2012, which is no longer valid.
When we did the audit, that was the document we found.
Why not apply the new regulation?
Yes, at that time, it was the previous one that was available and became the reference of our auditors' investigation.
(sumber: en.tempo.co)
Berdasarkan jawaban tersebut, BPK menemukan dokumen Perpres No 71 Tahun 2012. Apakah mereka tidak menemukan Perpres No 40 tahun 2014? entahlah… Saya tidak dapat mengambil kesimpulan tersebut dari jawaban Raden Yudi Ramdan. Tidak juga dari jawaban kedua beliau bahwa, Prepres yang pertama yang tersedia. Apakah perpres yang kedua tidak tersedia? Sekali lagi entahlah……
Jadi apakah BPK professional? Menurut (saya berdasarkan jawaban) Raden Yudi Ramdan :
TIDAK…BPK ngaco…!
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H