“Sebelum aku sampaikan pendapat aku, aku mau kasih tahu dulu kawan-kawan ini. Kalian disindir habis oleh kawan kita saudara Beryl itu. Dia bilang dia seperti anak sd berhadapan dengan professor kalau bicara hukum sama kita, itu bukan merendah. Itu menyindir, kalau tidak bisa dibilang menghina. Itu artinya, gak perlu orang pintar ngomong sama kita. Cukup anak SD saja. Bah…! Malu kali aku ni. Tapi apa mau dikata, memang begitu nampaknya…
Aku setuju dengan pernyataan kawan Beryl tadi. Itu sudah jelas terlihat, gak perlu lagi auditor negara tetangga suruh lihat. Kitapun sudah bisa menilai kalau data yang diberikan dalam audit BPK itu tidak sesuai fakta. Jadi kalau menurut aku, sebaiknya BPK juga perlu diperiksa sama KPK, karena kalau BPK benar, berarti Ahok salah. Begitupun sebaliknya, kalau Ahok benar, berarti BPK salah. Lantas kalau kau tanya : “Di mana motif jahatnya” ahh… gampanglah itu. Sudah jelas audit itu ada hubungannya dengan kawan kita si Efdinal, yang mau jualan tanah itu… ya toh? Belum lagi Pak Harry yang tersangkut panama papers. Bapak kan sebagai KETUA Pemeriksa Keuangan, mestinya tahu betul cara menghindari pemeriksaan… ya toh? Ha..ha..ha.. pening aku, pening bah…!”
“Pemirsa, demikianlah ILC kita hari ini….”
(Mendadak ada suara yang menyela)
“Bang Karni… tunggu dulu Bang Karni… Soal potong kuping itu ada batas waktunya ya, satu minggu. Kalau dalam dua hari Ahok menuntut ke pengadilan, baru aku potong kuping. Kalau tidak, sudah tidak berlaku lagi. Tapi kalaupun saya gak potong kuping, sanksinya hanya sanksi sosial saja kan?”
(Kalian tebaklah suara siapa itu ( )
*) Cerita ini adalah karangan penulis semata. Semua dialog yang terjadi adalah dialog imajiner. Kalau ada kesamaan tokoh dan peristiwa, memang disengaja, sebagai bentuk protes penulis terhadap Karni Ilyas dan ILC-nya yang sudah jauh dari berimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H