dondong opo salak
duku cilik cilik
ngandhong opo mbecak
mlaku thimik thimik
adi ndherek ibu
tindhak menyang pasar
ora pareng rewel
ora pareng nakal
mengko ibu mesti
mundhut oleh-oleh
kacang karo roti
adi diparingi
Dipandu sineas terkemuka Indonesia, Garin Nugroho, penyanyi Endah Sri Murwani yang lebih dikenal dengan nama panggung Endah Laras dan kelompok musik yang menyertainya, mengajak bernyanyi lirik lagu Dondong Opo Salak. Ajakan yang disambut antusias semua undangan dan Kompasianer yang hadir pada pembukaan “Festival Pasar Rakyat – Merayakan Harmoni Kehidupan” di Aula Serbaguna Bentara Budaya, Komplek Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta, 21 Desember 2016.
Sambil memainkan ukulelenya, dengan lincah Endah memandu undangan dan Kompasianer yang hadir untuk ikut bernyanyi harmoni lagu riang yang dipopulerkan oleh Kris Biantoro pada awal 1960-an itu. Lagu yang dikenal sebagai lagu tradisional anak-anak Jawa itu, ternyata juga cocok dengan perhelatan “Festival Pasar Rakyat” yang digelar oleh Kompasiana bersama Yayasan Danamon Peduli, suatu acara untuk mengangkat kembali harkat pasar rakyat.
Upaya mengangkat kembali harkat pasar rakyat sebagai “jantung” kehidupan ekonomi kerakyatan Indonesia, ditegaskan baik oleh Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, maupun Ketua Dewan Pembina Yayasan Danamon Pedui, Bayu Krisnamurthi. Hal yang sama kemudian dijelaskan oleh Garin Nugroho dengan mengambil contoh dari lirik lagu Dondong Opo Salak. Lagu yang menceritakan seorang anak diajak ibunya ke pasar, memilih buah kedondong atau buah salak atau buah duku yang kecil. Lalu perginya naik andong atau becak. Kalau di pasar si anak tidak rewel dan tidak nakal, maka ibunya akan memberi oleh-oleh, kacang dan roti.
Mau pilih buah kedondong yang kulit luarnya mulus, namun ketika dikupas ternyata buahnya berserat dan berakar, dan rasanya ada yang asam, tetapi ada juga yang agak manis. Bisa juga memilih buah salak yang kulit luarnya bersisik dan kadang ada bagian yang agak tajam bisa menusuk pada jari, tetapi buahnya mulus, meski sama seperti kedondong, ada yang asam, sepat, tetapi juga ada yang manis.
Pilihan lain adalah buah duku. Buahnya memang kecil, tetapi kulit luarnya halus, dan isinya pun halus. Meski pun ada yang asam, banyak pula yang manis. Tetapi juga harus hati-hati, karena sebagian duku ada bijinya yang karena kecil, sulit terlihat ketika memakannya. Pilihannya, makan dengan bijinya, atau cukup mengambil daging buahnya saja.
Begitulah kita belajar tentang kehidupan. Ada orang yang sekilas terlihat wajah dan tubuhnya baik, tetapi perilakunya kurang baik. Sebaliknya ada yang berwajah “seram”, namun hatinya baik dan romantis. Ada yang kecil, ada yang besar. Berbagai perilaku, terkadang tak dapat ditentukan dengan hanya melihat luarnya saja. Bak pepatah dalam Bahasa Inggris, “don’t judge the book by its cover”.
Naik Andong atau Becak
Lalu pilihan berikutnya, ketika ke pasar mau naik andong yang menggunakan tenaga kuda, atau naik beca yang dikayuh oleh seorang manusia. Mau yang lebih cepat, atau yang lebih santai tetapi dapat melihat pemandangan sekitar dengan lebih jelas. Tetapi apa pun itu, baik andong maupun becak, jelas jalannya kalah dengan kendaraan bermotor. Jadilah, mlaku thimik-thimik, bukan sekadar jalan pelan-pelan, seperti kata pepatah “biar lambat asal selamat”, tetapi untuk mencapai sesuatu hasil yang baik, terkadang memang tak bisa cepat-cepat, harus pelan-pelan, harus melalui proses agar matang. Seperti juga buah yang dipilih, apakah itu kedondong, salak, atau duku, tentu yang dipilih yang sudah matang, apalagi kalau bisa “matang atau masak pohon”, artinya benar-benar matang di pohon, bukan dipetik lalu dipendam sampai matang.
Setiba di pasar, seperti pesan ibu, kita tidak boleh rewel dan nakal. Begitu pula dalam kehidupan ini, yang bisa kita ibaratkan sebagai “pasar”, ada yang menjual, ada yang membeli, ada yang melihat-lihat, ada petugas keamanan, ada petugas parkir, dan siapa tahu ada pula preman pasar. Nah, janganlah sedikit-sedikit kita rewel. Cepat mengeluh ketika menghadapi masalah.
Sebaliknya, jangan pula kita nakal. Walaupun tidak disebutkan dalam lagu itu, nakal termasuk contoh ketika berdagang dengan alat ukur yang tidak benar. Orang beli satu kilogram beras, ternyata di rumah ditimbang lagi hanya 0,9 kilogram. Orang beli kain dua meter, setelah di rumah diukur ternyata hanya 1,9 meter.
Bukan hanya pedagang. Pembeli pun tidak boleh nakal, harus jujur. Makan di warung, ambil tahu dua potong, bilang hanya makan sepotong tahu. Di pasar yang menjual buah satuan bukan berdasarkan berat, ambil jeruk enam bilang hanya ambil lima jeruk.
Apa akibatnya kalau rewel dan nakal? Tentu ibu tak akan memberi oleh-oleh berupa kacang dan roti. Dalam kehidupan sebenarnya, kalau kita sering rewel dan nakal (baca juga: korupsi), tentu cepat atau lambat ada hukuman juga.
Apa pun itu, lewat “Festival Pasar Rakyat” kerja sama Kompasiana dan Yayasan Danamon Peduli, kita diingatkan kembali lewat lagu Dondong Opo Salak bahwa pasar (rakyat) memang tempat kita belajar segala hal terkait kehidupan kita. Sungguh sesuai dengan tema festival tersebut yang mengajak kita semua untuk “merayakan harmoni kehidupan”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H