Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saatnya Warga Menulis dan Unjuk Kualitas, Atasi "Remang-remang" Dunia Blogger

7 November 2016   22:28 Diperbarui: 9 November 2016   23:26 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto yang remang-remang dari acara Kompasiana Nangkring, menimbulkan ide untuk menulis

“Saatnya Warga Menulis”, itulah tema Kompasiana Nangkring pada Kompas Gramedia (KG) Festival di Pekan Raya Indonesia (PRI), Minggu, 6 November 2016. Bahasan ini jugalah yang membuat saya tergerak mengikutinya, dan akhirnya sekaligus berkesempatan pula menyaksikan PRI di hari terakhir penyelenggaraan pekan raya itu.

Bersama 48 peserta lainnya – sesuai yang tertera pada daftar yang bisa dilihat di sini: kompasiana.com– saya hadir di acara yang digelar di salah satu pusat konvensi termodern di negeri ini, Indonesia Convention Exhibition (ICE) di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang. Bermodalkan informasi yang diterima, saya naik commuter line menuju Stasiun Rawa Buntu, dan kemudian melanjutkan dengan shuttle bus gratis ke arena ICE.

Setelah mendaftar dan menyaksikan sajian musik yang antara lain menampilkan beberapa lagu Iwan Fals, seperti “Bento” dan “Yang Terlupakan”, dimulailah acara yang menampilkan tiga narasumber.

Mereka adalah Yayat – sering menulis namanya dengan Ya Yat – yang baru saja terpilih sebagai Kompasianer of the Year 2016, lalu Asisten Manajer Kompasiana, Iskandar Zulkarnaen yang akrab dipanggil Isze (baca: Isje), serta penulis yang juga pernah “berputar-putar” menjadi pewarta dan pemimpin di beberapa media milik KG, Maman Suherman. Akrab dipanggil Kang Maman, walaupun ternyata dia orang Makassar.

Ketiga narasumber tersebut menyampaikan pandangan masing-masing. Mulai dari aktivitas menulis, menjadi blogger, dan keberadaan Kompasiana yang menampung tulisan para blogger. “Setidaknya ada 800 tulisan masuk tiap harinya,” ungkap Isje, menerangkan jumlah tulisan yang dikirim ke Kompasiana oleh para Kompasianer – sebutan bagi para anggota Kompasiana – tiap harinya. Sedangkan jumlah pembaca Kompasiana, dijelaskan lagi oleh Isje, mencapai sekitar 60 juta orang.

Yayat, perempuan penggemar berat Valentino Rossi, si rider dengan nomor punggung 46 itu, menceritakan kisahnya menjadi penulis. Bagaimana kecintaannya pada Rossi dan dunia MotoGP, membuatnya tekun menulis segala hal yang berkaitan lomba otomotif itu. Meski diakui Yayat, dia tidak begitu mengerti soal mesin kendaraan, tapi memang benar, MotoGP lebih dari sekadar soal kekuatan mesin motor saja. Seperti juga pertandingan-pertandingan olahraga di masakini, MotoGP telah menjadi hiburan dan gaya hidup yang besar, bahkan bisa dikatakan salah satu ikon budaya pop masakini.

Yayat juga bercerita, bahwa sebagai blogger, selain menulis tentang MotoGP, dia juga menulis pula topik-topik lainnya. Sampai akhirnya, dia pun diundang untuk meliput pagelaran mode di Malaysia. “Kami bergabung dengan wartawan dari berbagai negara. Padahal kami bukan wartawan media, kami hanya blogger. Dan untuk blogger, hanya kami berempat (atau berlima, maafkan suara Mbak Yayat kurang terdengar) dari Indonesia yang diundang resmi panitia penyelenggara,” kisahnya.

Terkait soal blogger itu juga, Kang Maman dan Isje menimpali pula bahwa dari nge-blog yaitu rajin menulis, dapat mendatangkan uang. Selain blogger, semua yang aktif di media sosial dapat menghasilkan uang dari kegiatannya itu. Dicontohkan Kang Maman, mereka yang mempunyai akun Twitter dengan follower sekian ratus ribu atau sekian juta orang, akan dengan mudah dikontrak perusahaan atau instansi tertentu, untuk men-twit pesan sponsornya.

Bicara soal blogger juga, baik Kang Maman dan Isje menjelaskan, bahwa keberadaan Google AdSense misalnya, bisa dimanfaatkan oleh blogger yang tulisannya banyak dibaca orang. Tak sedikit perusahaan yang tertarik untuk memasang iklan AdSense pada blog-blog yang banyak dibaca orang. Bila orang membaca tulisan pada suatu blog, dan dia meng-klik iklan yang ada, maka blogger bersangkutan akan mendapatkan komisi dari Google.

Seorang teman pernah bercerita kepada saya, bahwa blog yang dikelolanya mendapatkan sekitar US$ 10.- tiap harinya dari Google AdSense itu. Berarti sebulan ada US$ 300.- atau sekitar Rp 3,9 juta, tambahan dari mengelola blog-nya. Lumayan untuk menambah uang saku, di samping penghasilan resmi sesuai profesinya. Teman lain bahkan bilang angkanya bisa mencapai US$ 30.- perhari dan seterusnya.

Di luar itu, Kang Maman menceritakan pula karena keterampilannya menulis, suatu ketika dia pernah diminta seorang konglomerat menulis artikel. Hasilnya, artikel sepanjang 10 halaman itu dihargai Rp 50 juta. Jumlah yang sangat luar biasa, walau mungkin bagi sang konglomerat tak seberapa.

Jadi, tampaknya menjadi blogger merupakan hal yang menyenangkan, dan setiap warga bisa menjadi seorang blogger. Termasuk menjadi blogger yang memasukkan tulisan-tulisannya di Kompasiana. Itulah yang menjadi tema acara kali ini, mengajak warga untuk menulis, “Saatnya Warga Menulis”.

Tapi pada kenyataannya, ada saja kendala menjadiblogger. Pertama, kendala untuk bisa terus menulis. Kelemahan yang banyak dilakukan para blogger – dan itu juga saya alami sendiri – akan mudah memulai membuat blog, tetapi mengisinya secara tetap tentu dan meng-update-nya itulah yang menjadi persoalan. Saya mungkin sudah membuat lebih dari lima blog pribadi, tetapi umumnya hanya bertahan di bulan-bulan awal. Setelah itu, cenderung terbiarkan begitu saja.

Namun, untung ada Kompasiana. Di sini kita bisa menulis sesuai kehendak hati. Kalau pun beberapa hari atau beberapa minggu tidak menulis, Kompasiana tetap penuh tulisan, diisi oleh penulis-penulis lainnya. Berbeda dengan blog pribadi, begitu kita “ngambek” menulis, maka blog itu akan terlihat bagaikan “mati segan, hidup tak mau”.

Tetapi untuk mengatasi hilangnya semangat menulis, mungkin saran Yayat patut ditiru. Menulislah sesuai dengan passion-mu. Kalau passion-mu di dunia otomotif, menulislah tentang itu. Jangan seperti yang dikatakan Kang Maman, “Kalau saya untuk soal nyanyi-menyanyi, tak mau memaksakan diri menulis, apalagi menjadi juri. Buang angin saja saya fals, apalagi menyanyi”.

Cara lain mungkin juga bisa ditiru dari Kang Maman. Dia selalu menyiapkan notepad-nya. Setiap waktu, begitu ada inspirasi, dia langsung menulis. Meski hanya 1-2 baris saja, namun itu telah menjadi langkah awal. Yang penting, seperti katanya, catatan-catatan itu kemudian harus dibaca ulang dan diteruskan menjadi tulisan.

Selain kendala untuk terus menulis, ada lagi masalah lain. Ini yang kedua, masalah “Para blogger masih sering di-anaktiri-kan kalau datang meliput suatu peristiwa. Berbeda dengan wartawan umumnya,” keluh seorang peserta acara itu.

Padahal, seperti saya kemukakan juga di acara tersebut, sebenarnya saat ini sudah banyak perusahaan yang mulai senang mengundang blogger dibandingkan wartawan. Kalau wartawan diundang dalam suatu jumpa pers, paling banyak yang ditulis satu atau dua alinea saja. Itu pun untung kalau tidak ditolak penyunting, yang akibatnya tak jadi dimuat. Sementara, kalau blogger diundang, hampir pasti semua akan menulis. Tulisannya pun cukup panjang, bahkan bisa-bisa ada blogger yang menghasilkan lebih dari satu tulisan.

Mengenai masalah ini, Kang Maman dan Isje mengingatkan, bahwa mungkin banyak perusahaan yang masih trauma dengan kehadiran para wartawan “bodreks”, sebutan untuk orang-orang yang mengaku dan bergaya seperti wartawan datang ke suatu acara, hanya untuk “mengejar” goodie bag atau bahkan “amplop” yang disiapkan panitia penyelenggara.

Untuk itu, usulan membentuk komunitas blogger yang lebih “berwibawa”, disambut baik. Tentu diperlukan pula kode etik blogger yang harus ditaati semua anggota komunitas blogger. Bahkan kalau perlu, seperti juga kehadiran Dewan Pers, dibentuk pula Dewan Blogger.

Ketika akan menyusun tulisan ini, saya teringat bahwa pada acara di PRI itu, saya mencoba memotret menggunakan telepon genggam saya. Hasilnya ternyata kurang baik, terlihat remang-remang. Tetapi justru itulah yang menimbulkan ide bagi saya, menulis tentang remang-remangnya dunia para blogger.

Contoh pertama sudah dikemukakan, soal blogger yang dianggap menyerupai wartawan “bodreks”. Tapi ada lagi beberapa hal “remang-remang” yang perlu diluruskan. Misalnya, karena blogger bukan wartawan, maka isi tulisannya cenderung – bahkan bisa dibilang semua seperti juga tulisan ini – mencampuradukkan antara fakta dan opini sang blogger itu sendiri. Akibatnya, pembaca terkadang – atau memang begitu – sering bingung apakah tulisan ini berisi fakta, opini, atau sekadar imajinasi saja.

“Remang-remang” lainnya adalah soal cek dan ricek. Bagi wartawan hal ini penting sekali, melakukan cek dan ricek terhadap suatu peristiwa atau kondisi. Betulkah seperti itu, benarkah itu yang diucapkan, seperti itukah gerakan dari sang pelaku, dan sebagainya. Sementara bagi blogger, mungkin karena menganggap saya menulis di blog sendiri atau untuk kepuasan sendiri, akhirnya “asal kutip” yang kebenaran faktanya masih diragukan. Bahkan yang lebih mengerikan, kalau yang dikutip ternyata adalah hoax atau kebohongan belaka, namun dipersepsikan seolah-olah itu adalah fakta.

Hal lain yang juga sering menjadi “remang-remang”, karena para blogger merasa bukan wartawan, maka dia tak perlu memperkenalkan diri sebagai wartawan saat bertemu dengan seseorang yang kemudian dijadikan narasumbernya.

Padahal kalau orang itu tahu akan dijadikan narasumber sebagai bahan tulisan, mungkin dia akan lebih berhati-hati dalam memberikan pendapat, lebih akurat dalam memberikan data, dan memilih menggunakan kalimat yang mudah dimengerti. Sebaliknya, karena dia tak tahu bahwa sang blogger akan menulis dengan menganggap dia sebagai narasumbernya, maka karena dianggap sekadar orang atau teman bertemu, pembicaraan pun jadi ngalor-ngidul, pendapat dan data pun sering tak akurat. Begitu ditulis, hasilnya mengagetkan banyak orang, dan bisa jadi menimbulkan pro dan kontra yang hebat.

Masih banyak lagi “remang-remang” lain di dunia blogger, yang mungkin akan sangat panjang bila dikupas satu-persatu. Untuk itu, selain perlu adanya kode etik blogger, dengan atau tanpa komunitas pun, para blogger harus terus meningkatkan kemampuannya. Selain saatnya warga menulis, saatnya pula untuk unjuk kualitas. Suatu hal yang bisa diperoleh dengan berbagai cara, mulai dari terus belajar, banyak membaca, membandingkan tulisan satu dengan lainnya, dan tak salah bertanya atau berdiskusi tentang cara dan teknik menulis yang berkualitas.

Melalui cara-cara tersebut, ketika warga telah menulis dan unjuk kualitas, itulah satu hal penting yang mengatasi “remang-remang”nya dunia para blogger. Jadi, ayo menulis dan ayo unjuk kualitas tulisan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun