Jadi, tampaknya menjadi blogger merupakan hal yang menyenangkan, dan setiap warga bisa menjadi seorang blogger. Termasuk menjadi blogger yang memasukkan tulisan-tulisannya di Kompasiana. Itulah yang menjadi tema acara kali ini, mengajak warga untuk menulis, “Saatnya Warga Menulis”.
Tapi pada kenyataannya, ada saja kendala menjadiblogger. Pertama, kendala untuk bisa terus menulis. Kelemahan yang banyak dilakukan para blogger – dan itu juga saya alami sendiri – akan mudah memulai membuat blog, tetapi mengisinya secara tetap tentu dan meng-update-nya itulah yang menjadi persoalan. Saya mungkin sudah membuat lebih dari lima blog pribadi, tetapi umumnya hanya bertahan di bulan-bulan awal. Setelah itu, cenderung terbiarkan begitu saja.
Namun, untung ada Kompasiana. Di sini kita bisa menulis sesuai kehendak hati. Kalau pun beberapa hari atau beberapa minggu tidak menulis, Kompasiana tetap penuh tulisan, diisi oleh penulis-penulis lainnya. Berbeda dengan blog pribadi, begitu kita “ngambek” menulis, maka blog itu akan terlihat bagaikan “mati segan, hidup tak mau”.
Tetapi untuk mengatasi hilangnya semangat menulis, mungkin saran Yayat patut ditiru. Menulislah sesuai dengan passion-mu. Kalau passion-mu di dunia otomotif, menulislah tentang itu. Jangan seperti yang dikatakan Kang Maman, “Kalau saya untuk soal nyanyi-menyanyi, tak mau memaksakan diri menulis, apalagi menjadi juri. Buang angin saja saya fals, apalagi menyanyi”.
Cara lain mungkin juga bisa ditiru dari Kang Maman. Dia selalu menyiapkan notepad-nya. Setiap waktu, begitu ada inspirasi, dia langsung menulis. Meski hanya 1-2 baris saja, namun itu telah menjadi langkah awal. Yang penting, seperti katanya, catatan-catatan itu kemudian harus dibaca ulang dan diteruskan menjadi tulisan.
Selain kendala untuk terus menulis, ada lagi masalah lain. Ini yang kedua, masalah “Para blogger masih sering di-anaktiri-kan kalau datang meliput suatu peristiwa. Berbeda dengan wartawan umumnya,” keluh seorang peserta acara itu.
Padahal, seperti saya kemukakan juga di acara tersebut, sebenarnya saat ini sudah banyak perusahaan yang mulai senang mengundang blogger dibandingkan wartawan. Kalau wartawan diundang dalam suatu jumpa pers, paling banyak yang ditulis satu atau dua alinea saja. Itu pun untung kalau tidak ditolak penyunting, yang akibatnya tak jadi dimuat. Sementara, kalau blogger diundang, hampir pasti semua akan menulis. Tulisannya pun cukup panjang, bahkan bisa-bisa ada blogger yang menghasilkan lebih dari satu tulisan.
Mengenai masalah ini, Kang Maman dan Isje mengingatkan, bahwa mungkin banyak perusahaan yang masih trauma dengan kehadiran para wartawan “bodreks”, sebutan untuk orang-orang yang mengaku dan bergaya seperti wartawan datang ke suatu acara, hanya untuk “mengejar” goodie bag atau bahkan “amplop” yang disiapkan panitia penyelenggara.
Untuk itu, usulan membentuk komunitas blogger yang lebih “berwibawa”, disambut baik. Tentu diperlukan pula kode etik blogger yang harus ditaati semua anggota komunitas blogger. Bahkan kalau perlu, seperti juga kehadiran Dewan Pers, dibentuk pula Dewan Blogger.
Ketika akan menyusun tulisan ini, saya teringat bahwa pada acara di PRI itu, saya mencoba memotret menggunakan telepon genggam saya. Hasilnya ternyata kurang baik, terlihat remang-remang. Tetapi justru itulah yang menimbulkan ide bagi saya, menulis tentang remang-remangnya dunia para blogger.
Contoh pertama sudah dikemukakan, soal blogger yang dianggap menyerupai wartawan “bodreks”. Tapi ada lagi beberapa hal “remang-remang” yang perlu diluruskan. Misalnya, karena blogger bukan wartawan, maka isi tulisannya cenderung – bahkan bisa dibilang semua seperti juga tulisan ini – mencampuradukkan antara fakta dan opini sang blogger itu sendiri. Akibatnya, pembaca terkadang – atau memang begitu – sering bingung apakah tulisan ini berisi fakta, opini, atau sekadar imajinasi saja.