Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manik Kayu yang Masih “Baru” dan (Mungkin) Membingungkan

30 Agustus 2016   21:34 Diperbarui: 1 September 2016   08:12 2331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para penerima satu set manik kayu di acara Indaba. (Foto: ISJ)

Menjelang penutupan acara Indaba – kegiatan untuk orang dewasa di Jambore Nasional X Gerakan Pramuka 2016 – diadakan pula inaugurasi berupa penyerahan satu set manik kayu kepada mereka yang berhak. Satu set manik kayu itu terdiri dari kalung manik kayu, setangan leher “tartan” Gilwell, dan pengikat setangan leher berbentuk simpul Turk.

Inaugurasi penggunaan satu set manik kayu kepada para Pembina Pramuka yang berhak itu dilakukan setelah terbitnya Keputusan Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka No. 127 Tahun 2016 tentang tata penggunaan manik kayu dan setangan leher Gilwell. Keputusan itu ditandatangani oleh Ketua Kwarnas yang akrab dipanggil Kak Adhyaksa Dault.

Namun keberadaan manik kayu yang terlihat masih baru, tampaknya mungkin masih membingungkan pula. Terbukti dari banyaknya pertanyaan dan komentar tentang hal itu. Padahal, manik kayu atau yang lebih dikenal dalam Bahasa Inggris dengan “Wood Badge” (WB) bisa dikatakan merupakan bagian tak terpisahkan sebagai penanda seorang Pembina dan Pelatih Pembina Pramuka. Walaupun terdengar baru, WB sebenarnya sudah sempat menjadi tradisi pula di Indonesia, sama seperti di negara lain yang mempunyai organisasi kepanduan.

Di antara penerima manik kayu, termasuk Kak Joko Mursitho, mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Gerakan Pramuka tingkat Nasional (paling kiri). (Foto: ISJ)
Di antara penerima manik kayu, termasuk Kak Joko Mursitho, mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Gerakan Pramuka tingkat Nasional (paling kiri). (Foto: ISJ)
Ya, Gerakan Pramuka, organisasi nasional kepanduan di Indonesia, sebagaimana juga organisasi nasional kepanduan di negara lainnya, memang  lahir dan berkembang dengan merujuk kepada gerakan kepanduan yang digagas oleh Robert Stephenson Smyth Baden-Powell atau Lord Baden-Powell yang kelak dijuluki Bapak Kepanduan Sedunia.

Gagasan Lord Baden-Powell untuk menjalankan gerakan kepanduan sebagai suatu bentuk pendidikan nonformal melengkapi pendidikan informal di keluarga dan komunitas serta pendidikan formal di sekolah, mempunyai prinsip dasar dan metode pendidikan khas, termasuk  dengan sistem pendidikan bagi orang dewasa di dalam kepanduan.

Sistem pendidikan yang dimulai dengan suatu pelatihan atau kursus bagi orang dewasa, sehingga mereka mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk mendidik kaum muda yang bergabung dalam gerakan kepanduan. Salah satunya melalui kursus bagi para Pembina Pramuka yang secara internasional dikenal dengan nama Kursus WB.

Secara lebih terinci, dapat disebutkan bahwa WB adalah program kepemimpinan Pramuka dan terkait dengan penghargaan untuk orang dewasa (Pembina Pramuka) di seluruh dunia. Kursus WB bertujuan untuk menjadikan Pembina Pramuka yang lebih baik dengan mendidik keterampilan kepemimpinan yang mendalam, dan dengan menciptakan keterikatan dan komitmen pada gerakan kepanduan.

Kursus-kursus yang diselenggarakan merupakan kombinasi antara pendidikan di dalam ruangan dan kegiatan di alam terbuka, yang diikuti dengan “tiket” WB, yang juga dikenal sebagai  fase mengimplementasikan pengetahuan kursus dalam bentuk proyek. Melalui pengerjaan “tiket” WB, peserta menaruh pengalamannya yang telah bertambah dalam bentuk praktis untuk mencapai tujuan membantu pengembangan gerakan kepanduan, khususnya dalam pembinaan peserta didik masing-masing. Dalam Gerakan Pramuka, tiket yang merupakan implementasi dari rencana tindak lanjut (action plan) itu, sekarang dikenal dengan nama Narakarya dan Naratama.

Kursus WB pertama diadakan di Gilwell Park pada September 1919, dengan narasumbernya adalah Baden-Powell sendiri dan sejumlah pemimpin awal kepanduan di Inggris. Sejak saat itu, kursus WB telah berkembang ke seluruh dunia. Di Indonesia, kursus Wood Badge juga telah dilaksanakan tak berapa lama setelah masuknya gerakan kepanduan ke negeri ini pada 1912. Bahkan di Bandung, Jawa Barat, didirikan Gilwell Park, meniru nama Gilwell Park di Inggris yang dijadikan tempat kursus WB oleh Baden-Powell. Setiap peserta yang telah menyelesaikan kursus, termasuk  berhasil melaksanakan “tiket” berupa implementasi hasil kursus, akan mendapatkan kalung dengan dua butir manik kayu, setangan leher “tartan” Gilwell, dan pengikat setangan leher  berbentuk  simpul Turk.

Dalam perkembangannya, seorang yang telah memperoleh dua butir manik kayu, dapat meneruskan pendidikan untuk mencapai tiga butir manik kayu bagi seorang Asisten Pelatih Pembina (Assistant Leader Trainer) dan empat butir manik kayu bagi seorang Pelatih Pembina (Leader Trainer).

Kak Andi Fachry Makassau, Wakil Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Gerakan Pramuka tingkat Nasional menerima pengalungan manik kayu. (Foto: ISJ)
Kak Andi Fachry Makassau, Wakil Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Gerakan Pramuka tingkat Nasional menerima pengalungan manik kayu. (Foto: ISJ)
Sempat Redup

Namun tradisi yang juga kemudian digunakan di Indonesia, sempat redup. Pada awal 1960-an, Indonesia berada pada situasi “anti-Barat” dan hal itu berdampak pada gerakan kepanduan yang ada. Organisasi-organisasi kepanduan yang ada dilebur menjadi satu, yang hampir saja diarahkan menjadi semacam organisasi Pionir di negara-negara Eropa Timur yang “berbau” komunis dan sosialis. Untunglah, karena kesigapan sejumlah tokoh Pandu, maka organisasi yang dinamakan Gerakan Pramuka tetap berada di jalur kepanduan sebagaimana dirintis Baden-Powell.

Namun tekanan tetap ada, antara lain melalui Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yang antara lain isinya “supaya kepanduan dibebaskan dari sisa-sisa Baden Powellisme”. Selain menyatakan tidak aktif bergabung dalam World Organization of the Scout Movement (WOSM), bentuk-bentuk yang mengarah kepada Baden-Powell juga dihapuskan. Mulai dari peringatan Hari Baden-Powell pada 22 Februari sampai penggunaan manik kayu, setangan leher “tartan” Gilwell, dan pengikat setangan leher  berbentuk simpul Turk.

Belakangan, untuk menjadi penanda bagi para Pembina Pramuka di lingkungan Gerakan Pramuka, didesain dan dibuatlah selendang Mahir dengan motif batik dan pita mahir untuk dipasang di seragam para Pembina Pramuka yang telah lulus Kursus Pembina Pramuka Mahir Lanjutan (KML). Pita mahirnya berbeda-beda, warna hijau untuk Pembina Pramuka Siaga (peserta didik yang berusia 7-10 tahun), warna merah untuk Pembina Pramuka Penggalang (11-15 tahun), dan warna kuning untuk Pembina Pramuka Penegak dan Pandega (peserta didik yang berusia 16-20 tahun dan 21-25 tahun).

Kini, zaman telah berubah. Gerakan Pramuka tercatat mempunyai anggota lebih dari 20 juta orang dan merupakan organisasi nasional kepanduan terbesar di dunia. Bahkan setengah dari 40 juta Pandu di seluruh dunia berada di Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir ini, Gerakan Pramuka juga telah melaksanakan program pendidikan orang dewasa sebagaimana diarahkan oleh WOSM dalam WOSM Adult in Scouting Policy. Tentu dengan mengikuti pula WB Framework yang merupakan bagian penting dari kebijakan WOSM itu.

Jadi penggunaan kembali satu set manik kayu untuk para Pembina Pramuka yang minimal telah menyelesaikan jenjang KML, bukan berarti sikap kebarat-baratan, atau dianggap mau kelihatan go international, atau bahkan tidak nasionalis. Gerakan Pramuka tidak perlu go internasional, karena memang sudah merupakan bagian dari persaudaraan universal sedunia di bawah naungan WOSM. Lalu, bukan berarti pula kebarat-baratan. Bagaimana pun juga, Gerakan Pramuka sebagaimana organisasi nasional kepanduan di negara lain memang berasal dari ide seorang perwira tentara kerajaan Inggris, Lord Baden-Powell.

Para penerima manik kayu di antaranya Kak Paulus Tjakrawan (paling kiri), Kak Joko Mursitho, Prof. Jana Anggadiredja, Kak Andi Fachry Makassau, dan Kak Editha Rahaded. (Foto: ISJ)
Para penerima manik kayu di antaranya Kak Paulus Tjakrawan (paling kiri), Kak Joko Mursitho, Prof. Jana Anggadiredja, Kak Andi Fachry Makassau, dan Kak Editha Rahaded. (Foto: ISJ)
Lalu dengan tuduhan tidak nasionalis? Bagaimana mungkin kita bisa meragukan nasionalisme dan patriotisme Bapak Pramuka Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang merupakan pertama-tama menyatakan kesetiaan seluruh daerah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kepada Republik Indonesia, begitu Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Adalah beliau jugalah yang merupakan salah satu penggagas Serangan Oemoem 1 Maret 1949, yang menyebabkan dunia tahu bahwa Republik Indonesia masih dan tetap ada selama-lamanya.

Ada juga seorang tokoh Gerakan Pramuka yang bernama Idik Sulaeman. Beliau adalah salah satu penggagas dan pendiri Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), kelompok petugas pengibar bendera yang selalu bertugas setiap peringatan 17 Agustus di Istana Negara. Tokoh pendidik ini juga mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk pengembangan Gerakan Pramuka.

Baik Sri Sultan Hamengku Buwono IX maupun Idik Sulaeman, bersama sejumlah tokoh Gerakan Pramuka tetap mengenakan kalung manik kayu mereka walaupun berseragam Pramuka. Padahal jiwa nasionalisme dan patriotisme mereka kepada Republik Indonesia tak perlu diragukan lagi.

Acara Indaba

Bisa jadi karena manik kayu atau keseluruhan WB Framework dianggap “baru” di Indonesia, maka masih timbul banyak pertanyaan, bahkan komentar-komentar di media sosial. Dari dianggap kebarat-baratan, tidak nasionalis, sampai karena penyerahan satu set manik kayu kepada mereka yang berhak diadakan di acara Indaba, maka ada pula yang menganggap ini adalah manik kayu Indaba, dan bahkan seluruh peserta  acara Indaba pasti dapat manik kayu.

Padahal tidak demikian kenyataannya. Penyerahan manik kayu kepada yang berhak dapat dilakukan di mana saja, tidak perlu di acara Indaba. Kali ini diadakan di acara Indaba, hanya sebagai inaugurasi awal, sekaligus memanfaatkan momen di mana para tokoh Pramuka dari seluruh Indonesia berkumpul bersama pada kegiatan Jambore Nasional X Gerakan Pramuka (Jamnas X).

Jamnas sendiri adalah kegiatan berupa perkemahan besar untuk Pramuka Penggalang. Acara lima tahunan kali ini diadakan di Bumi Perkemahan Pramuka Wiladatika Cibubur, Jakarta Timur, 14 sampai dengan 21 Agustus 2016. Para Pramuka Penggalang dari seluruh Indonesia dan sejumlah negara tetangga, didampingi Pembina Pendamping. Di samping itu ada juga Pimpinan Kontingen (Pinkon), baik Pinkon Kwartir Daerah (Kwartir Gerakan Pramuka di daerah tingkat I atau provinsi) maupun Pinkon Kwartir Cabang (Kwartir Gerakan Pramuka di daerah tingkat II atau kotamadya dan kabupaten).

Bila para Pembina Pendamping memang langsung mendampingi para pesertanya, maka Pinkon biasanya mempunyai waktu luang yang lebih banyak. Itulah sebabnya diadakan pula kegiatan untuk orang dewasa. Ini juga yang dipertanyakan oleh sebagian orang. Mulai dari mempertanyakan kurikulum sampai mempertanyakan metoda belajarnya.

Padahal acara Indaba bukan kursus, jadi tentu tidak ada kurikulum. Ini adalah kegiatan untuk mengisi waktu orang dewasa di arena Jamnas X yang tidak sibuk terlibat dalam kepanitiaan atau mendampingi peserta didik. Kegiatannya mulai dari ceramah, latihan praktis, dan tentu saja diiringi permainan dan nyanyian a la Pramuka.

Peserta acara Indaba di Cibubur beberapa waktu lalu itu juga tidak serta-merta mendapatkan satu set manik kayu. Baik acara inaugurasi manik kayu maupun Gilwell Reunion, diadakan hanya untuk mereka yang paling sedikit telah lulus KML. Gilwell Reunion, merujuk pada nama Gilwell Park di Inggris, adalah pertemuan yang dari, oleh, dan untuk Pembina Pramuka Mahir yang minimal telah lulus KML. Jadi sekali lagi, peserta acara Indaba di Cibubur, belum tentu ikut inaugurasi dan ikut Gilwell Reunion.

Hanya mereka yang telah memenuhi syarat, dapat ikut serta. Untuk itu, sejak jauh hari, panitia acara Indaba telah membuat pengumuman, termasuk di media sosial, agar yang ingin ikut Gilwell Reunion maupun inaugurasi manik kayu, mendaftarkan diri lengkap dengan salinan ijazah-ijazah kursus yang pernah diterimanya.

Hormat sikap sempurna. (Foto: ISJ)
Hormat sikap sempurna. (Foto: ISJ)
Berbeda dengan peserta acara Indaba. Sebagaimana di negara lain, acara Indaba terbuka untuk semua Pembina Pramuka, termasuk Asisten Pembina Pramuka yang dulu dinamakan Pembantu Pembina Pramuka. Mereka mungkin masih merupakan seorang Pramuka Penegak atau Pandega tetapi bisa jadi telah menyelesaikan Kursus Pembina Pramuka Mahir Dasar dan Narakarya I, jadi kehadiran mereka – kalau pun ada – dalam acara Indaba adalah dalam status sebagai Asisten Pembina Pramuka.  Bukan dalam kapasitas sebagai Pramuka Penegak atau Pandega.

Dari sini timbul pula pertanyaan lain, kenapa namanya Indaba? Bukankah di Indonesia sudah ada Karang Pamitran? Apakah acara Indaba ini untuk mengganti Karang Pamitran? Tentu saja tidak demikian kenyataannya. Acara Indaba bukanlah untuk mengganti Karang Pamitran yang di tingkat nasional – Karang Pamitran Nasional (KPN) – diadakan setiap lima tahun sekali. Bila mengingat KPN sebelumnya digelar 2013, maka KPN berikutnya bakal tetap ada pada 2018.

Karang Pamitran adalah pertemuan besar para Pembina Pramuka dalam bentuk perkemahan, dan perkemahan itu hanya diisi oleh para peserta dan panitia yang umumnya adalah Pembina Pramuka itu sendiri. Bukan seperti sekarang, di mana Jamnas X pesertanya adalah Pramuka Penggalang, sedangkan acara Indaba pesertanya adalah Pembina Pramuka.

Agaknya itulah yang menyebabkan acara Indaba di Cibubur  walau diikuti oleh Pembina Pramuka dari berbagai daerah di Indonesia tidak dinamakan KPN. Panitia tampaknya menyadari bahwa KPN seharusnya lebih baik dalam segala hal dibandingkan acara Indaba yang hanya merupakan acara sampingan Jamnas. Itu sebabnya, tidak digunakan nama KPN, justru untuk menjaga “kebesaran” nama acara KPN itu sendiri. Paling tidak itu tafsiran saya sendiri, mengingat peserta acara Indaba tidak sebanding dengan peserta KPN sebagaimana biasa dilakukan, terutama dari segi jumlah dan mata acaranya.

Foto bersama selesai acara Inaugurasi Manik Kayu. (Foto: ISJ)
Foto bersama selesai acara Inaugurasi Manik Kayu. (Foto: ISJ)
Lalu kenapa dinamakan Indaba? Indaba adalah istilah dari bahasa Zulu, salah satu suku di Afrika, untuk menamakan sebuah pertemuan penting para pemimpin suku. Istilah itu kemudian diadopsi oleh gerakan kepanduan sedunia, untuk menamakan pertemuan dalam bentuk perkemahan untuk orang dewasa dalam gerakan kepanduan. Di tingkat dunia Indaba telah beberapa kali diadakan, dan salah satu yang paling terkenal adalah Indaba yang diselenggarakan bersamaan Jambore Kepanduan Sedunia di Inggris pada 1957. Hampir “senada” dengan acara Indaba di Cibubur yang diselenggarakan bersamaan jambore juga, yaitu Jambore Nasional X Gerakan Pramuka. Jambore yang berakhir dengan sukses, keren, gembira, dan asyik.

Foto-foto: Indonesia Scout Journalist (ISJ) Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun