Menjelang penutupan acara Indaba – kegiatan untuk orang dewasa di Jambore Nasional X Gerakan Pramuka 2016 – diadakan pula inaugurasi berupa penyerahan satu set manik kayu kepada mereka yang berhak. Satu set manik kayu itu terdiri dari kalung manik kayu, setangan leher “tartan” Gilwell, dan pengikat setangan leher berbentuk simpul Turk.
Inaugurasi penggunaan satu set manik kayu kepada para Pembina Pramuka yang berhak itu dilakukan setelah terbitnya Keputusan Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka No. 127 Tahun 2016 tentang tata penggunaan manik kayu dan setangan leher Gilwell. Keputusan itu ditandatangani oleh Ketua Kwarnas yang akrab dipanggil Kak Adhyaksa Dault.
Namun keberadaan manik kayu yang terlihat masih baru, tampaknya mungkin masih membingungkan pula. Terbukti dari banyaknya pertanyaan dan komentar tentang hal itu. Padahal, manik kayu atau yang lebih dikenal dalam Bahasa Inggris dengan “Wood Badge” (WB) bisa dikatakan merupakan bagian tak terpisahkan sebagai penanda seorang Pembina dan Pelatih Pembina Pramuka. Walaupun terdengar baru, WB sebenarnya sudah sempat menjadi tradisi pula di Indonesia, sama seperti di negara lain yang mempunyai organisasi kepanduan.
Gagasan Lord Baden-Powell untuk menjalankan gerakan kepanduan sebagai suatu bentuk pendidikan nonformal melengkapi pendidikan informal di keluarga dan komunitas serta pendidikan formal di sekolah, mempunyai prinsip dasar dan metode pendidikan khas, termasuk dengan sistem pendidikan bagi orang dewasa di dalam kepanduan.
Sistem pendidikan yang dimulai dengan suatu pelatihan atau kursus bagi orang dewasa, sehingga mereka mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk mendidik kaum muda yang bergabung dalam gerakan kepanduan. Salah satunya melalui kursus bagi para Pembina Pramuka yang secara internasional dikenal dengan nama Kursus WB.
Secara lebih terinci, dapat disebutkan bahwa WB adalah program kepemimpinan Pramuka dan terkait dengan penghargaan untuk orang dewasa (Pembina Pramuka) di seluruh dunia. Kursus WB bertujuan untuk menjadikan Pembina Pramuka yang lebih baik dengan mendidik keterampilan kepemimpinan yang mendalam, dan dengan menciptakan keterikatan dan komitmen pada gerakan kepanduan.
Kursus-kursus yang diselenggarakan merupakan kombinasi antara pendidikan di dalam ruangan dan kegiatan di alam terbuka, yang diikuti dengan “tiket” WB, yang juga dikenal sebagai fase mengimplementasikan pengetahuan kursus dalam bentuk proyek. Melalui pengerjaan “tiket” WB, peserta menaruh pengalamannya yang telah bertambah dalam bentuk praktis untuk mencapai tujuan membantu pengembangan gerakan kepanduan, khususnya dalam pembinaan peserta didik masing-masing. Dalam Gerakan Pramuka, tiket yang merupakan implementasi dari rencana tindak lanjut (action plan) itu, sekarang dikenal dengan nama Narakarya dan Naratama.
Kursus WB pertama diadakan di Gilwell Park pada September 1919, dengan narasumbernya adalah Baden-Powell sendiri dan sejumlah pemimpin awal kepanduan di Inggris. Sejak saat itu, kursus WB telah berkembang ke seluruh dunia. Di Indonesia, kursus Wood Badge juga telah dilaksanakan tak berapa lama setelah masuknya gerakan kepanduan ke negeri ini pada 1912. Bahkan di Bandung, Jawa Barat, didirikan Gilwell Park, meniru nama Gilwell Park di Inggris yang dijadikan tempat kursus WB oleh Baden-Powell. Setiap peserta yang telah menyelesaikan kursus, termasuk berhasil melaksanakan “tiket” berupa implementasi hasil kursus, akan mendapatkan kalung dengan dua butir manik kayu, setangan leher “tartan” Gilwell, dan pengikat setangan leher berbentuk simpul Turk.
Dalam perkembangannya, seorang yang telah memperoleh dua butir manik kayu, dapat meneruskan pendidikan untuk mencapai tiga butir manik kayu bagi seorang Asisten Pelatih Pembina (Assistant Leader Trainer) dan empat butir manik kayu bagi seorang Pelatih Pembina (Leader Trainer).
Namun tradisi yang juga kemudian digunakan di Indonesia, sempat redup. Pada awal 1960-an, Indonesia berada pada situasi “anti-Barat” dan hal itu berdampak pada gerakan kepanduan yang ada. Organisasi-organisasi kepanduan yang ada dilebur menjadi satu, yang hampir saja diarahkan menjadi semacam organisasi Pionir di negara-negara Eropa Timur yang “berbau” komunis dan sosialis. Untunglah, karena kesigapan sejumlah tokoh Pandu, maka organisasi yang dinamakan Gerakan Pramuka tetap berada di jalur kepanduan sebagaimana dirintis Baden-Powell.
Namun tekanan tetap ada, antara lain melalui Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yang antara lain isinya “supaya kepanduan dibebaskan dari sisa-sisa Baden Powellisme”. Selain menyatakan tidak aktif bergabung dalam World Organization of the Scout Movement (WOSM), bentuk-bentuk yang mengarah kepada Baden-Powell juga dihapuskan. Mulai dari peringatan Hari Baden-Powell pada 22 Februari sampai penggunaan manik kayu, setangan leher “tartan” Gilwell, dan pengikat setangan leher berbentuk simpul Turk.
Belakangan, untuk menjadi penanda bagi para Pembina Pramuka di lingkungan Gerakan Pramuka, didesain dan dibuatlah selendang Mahir dengan motif batik dan pita mahir untuk dipasang di seragam para Pembina Pramuka yang telah lulus Kursus Pembina Pramuka Mahir Lanjutan (KML). Pita mahirnya berbeda-beda, warna hijau untuk Pembina Pramuka Siaga (peserta didik yang berusia 7-10 tahun), warna merah untuk Pembina Pramuka Penggalang (11-15 tahun), dan warna kuning untuk Pembina Pramuka Penegak dan Pandega (peserta didik yang berusia 16-20 tahun dan 21-25 tahun).
Kini, zaman telah berubah. Gerakan Pramuka tercatat mempunyai anggota lebih dari 20 juta orang dan merupakan organisasi nasional kepanduan terbesar di dunia. Bahkan setengah dari 40 juta Pandu di seluruh dunia berada di Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir ini, Gerakan Pramuka juga telah melaksanakan program pendidikan orang dewasa sebagaimana diarahkan oleh WOSM dalam WOSM Adult in Scouting Policy. Tentu dengan mengikuti pula WB Framework yang merupakan bagian penting dari kebijakan WOSM itu.
Jadi penggunaan kembali satu set manik kayu untuk para Pembina Pramuka yang minimal telah menyelesaikan jenjang KML, bukan berarti sikap kebarat-baratan, atau dianggap mau kelihatan go international, atau bahkan tidak nasionalis. Gerakan Pramuka tidak perlu go internasional, karena memang sudah merupakan bagian dari persaudaraan universal sedunia di bawah naungan WOSM. Lalu, bukan berarti pula kebarat-baratan. Bagaimana pun juga, Gerakan Pramuka sebagaimana organisasi nasional kepanduan di negara lain memang berasal dari ide seorang perwira tentara kerajaan Inggris, Lord Baden-Powell.
Ada juga seorang tokoh Gerakan Pramuka yang bernama Idik Sulaeman. Beliau adalah salah satu penggagas dan pendiri Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), kelompok petugas pengibar bendera yang selalu bertugas setiap peringatan 17 Agustus di Istana Negara. Tokoh pendidik ini juga mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk pengembangan Gerakan Pramuka.
Baik Sri Sultan Hamengku Buwono IX maupun Idik Sulaeman, bersama sejumlah tokoh Gerakan Pramuka tetap mengenakan kalung manik kayu mereka walaupun berseragam Pramuka. Padahal jiwa nasionalisme dan patriotisme mereka kepada Republik Indonesia tak perlu diragukan lagi.
Acara Indaba
Bisa jadi karena manik kayu atau keseluruhan WB Framework dianggap “baru” di Indonesia, maka masih timbul banyak pertanyaan, bahkan komentar-komentar di media sosial. Dari dianggap kebarat-baratan, tidak nasionalis, sampai karena penyerahan satu set manik kayu kepada mereka yang berhak diadakan di acara Indaba, maka ada pula yang menganggap ini adalah manik kayu Indaba, dan bahkan seluruh peserta acara Indaba pasti dapat manik kayu.
Padahal tidak demikian kenyataannya. Penyerahan manik kayu kepada yang berhak dapat dilakukan di mana saja, tidak perlu di acara Indaba. Kali ini diadakan di acara Indaba, hanya sebagai inaugurasi awal, sekaligus memanfaatkan momen di mana para tokoh Pramuka dari seluruh Indonesia berkumpul bersama pada kegiatan Jambore Nasional X Gerakan Pramuka (Jamnas X).
Jamnas sendiri adalah kegiatan berupa perkemahan besar untuk Pramuka Penggalang. Acara lima tahunan kali ini diadakan di Bumi Perkemahan Pramuka Wiladatika Cibubur, Jakarta Timur, 14 sampai dengan 21 Agustus 2016. Para Pramuka Penggalang dari seluruh Indonesia dan sejumlah negara tetangga, didampingi Pembina Pendamping. Di samping itu ada juga Pimpinan Kontingen (Pinkon), baik Pinkon Kwartir Daerah (Kwartir Gerakan Pramuka di daerah tingkat I atau provinsi) maupun Pinkon Kwartir Cabang (Kwartir Gerakan Pramuka di daerah tingkat II atau kotamadya dan kabupaten).
Bila para Pembina Pendamping memang langsung mendampingi para pesertanya, maka Pinkon biasanya mempunyai waktu luang yang lebih banyak. Itulah sebabnya diadakan pula kegiatan untuk orang dewasa. Ini juga yang dipertanyakan oleh sebagian orang. Mulai dari mempertanyakan kurikulum sampai mempertanyakan metoda belajarnya.
Padahal acara Indaba bukan kursus, jadi tentu tidak ada kurikulum. Ini adalah kegiatan untuk mengisi waktu orang dewasa di arena Jamnas X yang tidak sibuk terlibat dalam kepanitiaan atau mendampingi peserta didik. Kegiatannya mulai dari ceramah, latihan praktis, dan tentu saja diiringi permainan dan nyanyian a la Pramuka.
Peserta acara Indaba di Cibubur beberapa waktu lalu itu juga tidak serta-merta mendapatkan satu set manik kayu. Baik acara inaugurasi manik kayu maupun Gilwell Reunion, diadakan hanya untuk mereka yang paling sedikit telah lulus KML. Gilwell Reunion, merujuk pada nama Gilwell Park di Inggris, adalah pertemuan yang dari, oleh, dan untuk Pembina Pramuka Mahir yang minimal telah lulus KML. Jadi sekali lagi, peserta acara Indaba di Cibubur, belum tentu ikut inaugurasi dan ikut Gilwell Reunion.
Hanya mereka yang telah memenuhi syarat, dapat ikut serta. Untuk itu, sejak jauh hari, panitia acara Indaba telah membuat pengumuman, termasuk di media sosial, agar yang ingin ikut Gilwell Reunion maupun inaugurasi manik kayu, mendaftarkan diri lengkap dengan salinan ijazah-ijazah kursus yang pernah diterimanya.
Dari sini timbul pula pertanyaan lain, kenapa namanya Indaba? Bukankah di Indonesia sudah ada Karang Pamitran? Apakah acara Indaba ini untuk mengganti Karang Pamitran? Tentu saja tidak demikian kenyataannya. Acara Indaba bukanlah untuk mengganti Karang Pamitran yang di tingkat nasional – Karang Pamitran Nasional (KPN) – diadakan setiap lima tahun sekali. Bila mengingat KPN sebelumnya digelar 2013, maka KPN berikutnya bakal tetap ada pada 2018.
Karang Pamitran adalah pertemuan besar para Pembina Pramuka dalam bentuk perkemahan, dan perkemahan itu hanya diisi oleh para peserta dan panitia yang umumnya adalah Pembina Pramuka itu sendiri. Bukan seperti sekarang, di mana Jamnas X pesertanya adalah Pramuka Penggalang, sedangkan acara Indaba pesertanya adalah Pembina Pramuka.
Agaknya itulah yang menyebabkan acara Indaba di Cibubur walau diikuti oleh Pembina Pramuka dari berbagai daerah di Indonesia tidak dinamakan KPN. Panitia tampaknya menyadari bahwa KPN seharusnya lebih baik dalam segala hal dibandingkan acara Indaba yang hanya merupakan acara sampingan Jamnas. Itu sebabnya, tidak digunakan nama KPN, justru untuk menjaga “kebesaran” nama acara KPN itu sendiri. Paling tidak itu tafsiran saya sendiri, mengingat peserta acara Indaba tidak sebanding dengan peserta KPN sebagaimana biasa dilakukan, terutama dari segi jumlah dan mata acaranya.
Foto-foto: Indonesia Scout Journalist (ISJ) Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H