Bangsa Indonesia dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830) atau
dalam literatur asing disebut Perang Jawa (Java war). Dalam perang ini, Kiai Modjo sangat berjasa karena beliau menyambut seruan Pangeran Diponegoro untuk membantu dan menggerakkan para pengikutnya untuk berperang melawan Kolonial Belanda. Kiai Modjo selain sebagai seorang ulama dan penasihat spiritual Pangeran Diponegoro, juga berperan sebagai seorang panglima perang (Babcock, 1981: 5).
Berdirinya kampong Jawa Tondano Berawal dari ditangkapnya Kyai Modjo yang merupakan Penasehat Agama sekaligus Panglima perang dari Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830), pada 1828. kemudian dibawa ke Batavia, selanjutnya Kyai Modjo dan 63 orang pengikutnya diasingkan Belanda sebagai tahanan politik ke Minahasa Sulawesi Utara. Kyai Mojo tiba di Tondano pada tahun 1829 hingga meninggal di sana pada tanggal 20 Desember 1848 dalam usia 84 tahun. Kecuali Kyai Modjo, semua pengikutnya (semuanya pria Jawa) menikahi perempuan Minahasa asli Tondano dan keturunan mereka mendiami kampung yang saat ini dikenal dengan Kampung Jawa Tondano. Selain Rombongan Kyai Modjo, ada juga rombongan atau tokoh tokoh lain yang diasingkan ke Tondano oleh Belanda setelah rombongan Kyai Modjo berada di Tondano, diantaranya dari Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Maluku. Termasuk Pangeran Perbatasari bin Panembahan Muhammad Said bin Pangeran Antasari dari Kesultanan Banjar yang ditangkap Belanda saat berada di Pahu, Kutai untuk meminta bantuan perang pada tahun 1885.
Tanggal 3 Mei 1830 diperingati sebagai hari lahir Kampung Jawa Tondano.
Demikan sekilas tentang sejarah berdirinya kampong Jawa Tondano yang penulis ambil dari Wikipedia.
Namun perjuangan untuk berbaur tentu saja tidak mudah, banyak hal positif yang dilakukan pendatang ini sehingga mereka bisa diterima oleh warga sekitar yang memang dari dulu juga sudah terkenal ramah.
Salah satu kegiatan untuk menjalin kerukunan dengan warga sekitar adalah  Ba'do Katupat. Tradisi ini yang diwariskan Diponegoro, Kiai
Mojo dan pengikut-pengikutnya. Tradisi ini adalah warisan tradisi Jawa
yang ada di Tondano Minahasa. Ba'do Katupat adalah acara seremonial yang setiap tahun diselenggarakan warga di Kampung Jawa Tondano (disingkatJaton), setelah lewat satu minggu Hari Raya Idul Fitri. Tradisi Ba'do Katupat merupakan Budaya Jaton yang memiliki kekhasan tersendiri.
Merayakan Ba'do Katupat bertujuan untuk mempererat tali silaturahim antara sesama warga Jaton, penduduk asli Jaton maupun pendatang dari luar daerah. Selain itu para sesepuh dan generasi muda mencoba menelusuri garis keturunan atau silsilah yang hilang antara warga Jaton dan keturunannya di daerah lain.
Biasanya Ba'do Katupat (Lebaran Ketupat) lebih ramai dari pada Ba'do Idul Fitri karena Ba'do Katupat merupakan ajang pertemuan antara masyarakat asli Jaton dengan warga pendatang. Acara ini dijadikan ajang untuk memamerkan bentuk ketupat dan lauknya, kue-kue, serta pakaian baru. Tradisi Ba'do Katupat Jaton, merupakan ikon dan identitas tersendiri. Setiap keluarga menerima siapa saja yang datang bertamu, hampir sama dengan acara open house seluruh kampung bagi siapa saja yang datang, baik muslim maupun non muslim.