Terima Sepeda Dari Jokowi Tanpa Ucapan Terima Kasih
Oleh : Bert Toar Polii
Peristiwa kecil tapi menarik diamati oleh seorang teman Decky Walalngi melalui  WA saat Jokowi meresmikan Bendungan Kuwil Kawangkoan di Minahasa Utara.
Ketika berpidato seperti biasanya Presiden Jokowi akan menyampaikan pertanyaan mudah untuk dijawab dan diberi hadiah sepeda. Pertama yg ditanyakan nama bendungan, fungsi bendungan, nama saya, nama Gubernur Sulut dan nama Bupati Minahass Utara yang tentu saja dijawab dgn benar.
Nah sayangnya 5 penjawab benar dan diberi hadiah sepeda hanya satu (foto) yang terlihat memberikan ucapan terima kasih kepada Jokowi.
Sumber : https://malukutenggarakab.go.id
Menurut teman, Â ini adalah kesalahan guru dan ada juga komentar karena pendidikan budi pekerti dihilangkan.
Namun menurut tukang bridge ini seharusnya  pendidikan budi pekerti dimulai darirumah. Tukang bridge seperti yang pernah saya post di FB, punya teman kecil bernama Mika yg saat ini berusia 5 tahun. Berkat didikan keluarganya,  ketika saya membantunya atau memberi sesuatu dari mulut munggilnya otomatis akan keluar kata terima kasih Opa. Mungkinkah ada pengaruh karena kosa kata terima kasih dan maaf tidak ada dalam bahasa daerah Minahasa? Barangkali pekakaan Boeng Dotulung yang pakar Bahasa Tondano bisa bantu menjawabnya? Makase.
WA yang tukang bridge ini mendapat tanggapan yang menarik untuk jadi bahan diskusi.
Edu Pakasi menulis :
Sependapat .
Bahwa Budi pekerti antara lain mengucapkan terima kasih kepada pihak yang memberikan sesuatu yang bernilai .
Pihak  GMIM yang boleh dikata membentuk karakter masyarakat Minahasa, sebagai gereja yang dominan pertama kali atas seluruh etnis Minahasa sejak tahun 1830an , saya pikir turut bertanggung jawab juga atas kekurangan budi pekerti, dalam hal berterima kasih .
Indikator yang dapat dikemukakan yaitu , TIDAK ADANYA KOSA KATA TERIMA KASIH, dalam bahasa dan budaya asli Minahasa . Juga tidak ada kosa kata MINTA MAAF ( apologize , Ingg. )
Di kemudian hari ada kosa kata Taruma kase , adalah pengaruh akulturasi budaya dari etnis lainnya di Indonesia bahkan dari budaya asing . Dankje wel , thank you dan lain-lain.
Mungkin fokus pengajaran para zending pertama kali di Langowan dan Tondano , lebih menekankan pada Kekudusan dan berbuat benar  dan kebenaran otomatis sebagai berbuat baik , sehingga membentuk karakter superior. Tidak boleh salah dan berkewajiban berbuat baik memberi ...memberi.... memberi. ( Kis 20 : 35B ).
Maka tidak terinternalisasi budaya berterima kasih dan meminta maaf.
Semua umat kan WAJIB memberi dan berbuat baik dan benar.
Maka mgkin saling menerima itu karena wajib saling memberi. Tidak usah mengucapkan terima kasih. Para zending mgkin lupa menitik-beratkan pengajaran kepada bersyukur dan berterima kasih waktu itu .
Padahal justru intinya kekristenan adalah bersyukur berterimakasih kepada Tuhan atas karunia-Nya yang telah lebih dulu Dia curahkan, melalui turunnya Tuhan Jesus ke dunia.
Dan setiap umat wajib berbuat BENAR , kalau tidak berakibat dosa , yang akan dihakimi Tuhan . Bukan manusia , maka tidak wajib minta maaf antar manusia.
Akibatnya pada umumnya warga Minahasa / Sulut masih berbudaya seperti terkesan saat interaksi dengan Presiden Jokowi itu . MUNGKIN begitu?
Willy H Rawung mengirimkan tulisannya :
WILLY H RAWUNG
CAHAYA SIANG, NO. 685 TAHUN IV 1990
TERIMA KASIH Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
IBU dan Ayah saya berbahasa Minahasa, dialek Tountemboan. Saya bersyukur dapat memahami bahasa ini dengan baik, kendati sulit mengucapkannya dengan lancar - akibat sekian puluh tahun tinggal di rantau orang. Kendati demikian, kegandrungan saya akan bahasa dan kesenian Minahasa tidak berkurang.
Sekitar dua tahun lalu, saya berbincang sengit dengan beberapa "pakar" dan pecinta seni budaya Minahasa di Jakarta yang setia mengayuh langkah dalam Yayasan Kebudayaan Minahasa (YKM). Pasalnya adalah, saya capek mencari kata bermakna 'terima kasih' dalam khasanah bahasa Minahasa. Karena gagal menemui, maka timbul keprihatinan. Mengapa ? Bahasa adalah ekspresi jiwa dan karakter manusia penuturnya. Kata 'raja', 'kraton', 'pangeran', dikenal luas dalam khasanah bahasa Jawa, karena intitusi itu memang eksis dalam masyarakatnya. Dan bila ada kata 'matur nuwun' yang bahkan mulai digunakan pula oleh mereka yang bukan berbahasa Jawa, sebagai padanan kata 'terima kasih', maka itu pertanda karakter dan kultur menghaturkan ucapan terima kasih lekat dengan masyaraka dan karakter Jawa.
Menarik garis sejajar dari contoh ini, makin penat terasa upaya mencari khasanah kata dalam bahasa Minahasa yang bermakna 'terima kasih' itu. Boleh dikata mencari padanan katanyapun, saya menemui kegagalan. Kalau pun ada, ya bahasa Melayu Manado, 'makase banya'. Dan ini jelas bukan bahasa Minahasa.
Bert Supit, salah satu budayawan dan referensi utama masalah-masalah budaya Minahasa di Jakarta menganggap kata 'makapulu sama'  mempunyai makna yang pas sama dengan 'terima kasih'. Namun pendapat  ini tidak diterima utuh oleh para 'pakar' lainnya pada saat itu. Ini berarti kata bermakna 'terima kasih' seperti dugaan dan kerisauan saya, mungkin memang tidak pernah ada dalam bahasa Minahasa dialek manapun. Sebab bila ada, tidak mungkin keberadaan kata sederhana itu lalu diperdebatkan sengit. Perbedaan mencerminkan adanya keraguan eksistensi dari kata tersebut. Atau kalau memang pernah ada, mungkin sudah samar, tidak penting, tidak umum digunakan, lalu punah dan terlupakan.
Seandainya kata ini pernah ada dan kokoh dalam hidup keseharian, mustahil lalu punah begitu saja, dilupakan, dan terganti dengan  bahasa masyarakat Riau : 'terima kasih banyak' yang diadopsi menjadi 'makase banya'.
Khasanah kata menyatu dengan sistem nilai, termasuk karakter manusia pemakainya. Dari sini, sebuah judgement akan terasa menyakitkan dan merindingkan bulu roma : sistem nilai menghaturkan ucapan terima kasih dalan kultur Minahasa, apa ada ? Terus terang saya berharap, bahkan berdoa, mudah-mudahan kata itu - dalam beragam dialek bahasa Minahasa - memang pernah ada, agar tuduhan bahwa Minahasa tidak memilkiki kultur menghaturkan ucapan terima kasih adalah tidak benar.
Namun kalau toh benar kultur menghaturkan ucapan terima kasih memang tidak ditemui dalam kultur Minahasa, saya ingin mengusulkan kepada Pdt. Kelly Rondo - yang sedang giat melakukan "Tabea Campaign" di kalangan Jemaat GMIM - juga mengawali "Terima Kasih Campaign" kepada seluruh masyarakat Minahasa.#
Bong Dotulong
Kata "trimakas" sudah terbiasa digunakan sebagai
bahasa Daerah di Minahasa. Sehingga bahasa aslinya hampir hilang.
Jarang sekali terdengar lagi yang
aslinya, yaitu: "Makapulu' l'os" (b Toundano)
Sekali-sekali hanya diucapkan oleh me-
reka yg sudah berumur dan fasih
berbahasa-tua; suka disebut bah-
asa tana'.
Menyambut permintaan sdr Bert Toar Polii:
Mungkinkah ada pengaruh karena kosa kata terima kasih dan maaf tdk ada dalam bahasa daerah Minahasa? Barangkali pekakaan Boeng Dotulung bisa bantu menjawabnya? Makase.
Dalam "Kamus "MALAYU MANADO-INDONESIA-TOUNDANO dan KOSAKATA BAHASA TOUNDANO"
Cetakan kedua: 2010
ISBN : 978 - 602 - 97656 - 1
Belum begitu lengkap dikarenakan permintaan waktu itu oleh saudara Bert Toar Polii saya berada di Australia sehingga banyak catatan2 mengenai kamus bahasa Toundano dll berada di "Yayasan Minahasa" yg kemudian bertamba nama "Yayasan Morno" di negeri belanda.
Sehingga untuk memenuhi permintaan sdr Bert Toar Polii saya harus ke negara tsb. Dari pekerjaan saya baru kemudian setengah tahun mendapat cuti untuk ke belanda.
Berhubung di negara ini (belanda)untuk mencetak tidak semurah di Indonesia.
Sepupu saya Sdr G.J. (Hans) Dotulong almarhum dapat menolong untuk mengurusnya di Percetakan Granmedia, dengan perantara S.R.Rumate yg bekerja di P.T. Gramedia Printing Group. Lalu dihubungi yg akan melakukan design artwork & lay out dan tambahan2 lainnya. Setelah seluruh ongkos telah lengkap baru diserahkan oleh mendiang G.J. (Hans) Dotulong kepada sponsor yang langsung menyetujuinya dan memintakan no rekening.
Di Jakarta langsung dikirim berita untuk memulai pekerjaan tsb. Ternyata tidak semudah itu, untuk langsung mencetaknya; pekerjaan persiapan untuk itu cukup banyak.
Setelah semua sudah siap uang di kirim; sayapun kembali ke Australia (Sydney).
Setelah saya menerima cetakan Kamus yg sudah selesai saya lihat masih banyak kata2 yg belum termuat. Tapi oleh karena usaha sdr Bert Toar Polii untuk memajukan bahasa Toundano bersama kawan2nya kamus itu "dapat dipertanggung jawab oleh penyusun" (Bong J.D.A.G. Dotulong).
Kembali pada tulisan sdr Bert Toar Polii yang berbunyi:
"....kata terima kasih dan maaf tdk ada dalam bahasa daerah Minahasa?
Bersama ini saya muatkan:
Kata "terima kasih" dalam b Toundano "Makapulu' L'os"
dalam b Tontmboan "Makapulu' sama".
Kata "ma'af" dapat diartikan dengan "1. ampun, 2. pardon (jangan gusar), 3. excuus dan 4. sorry".
Dlm b Toundano: 1) a'ampungan; 2) t'a maupi' da!;
3) makiampung dan 4) sori (.... jo Wlm)
sudah terbiasa digunakan sebagai b Daerah
sehingga b aslinya hampir hilang.
Jarang sekali terdengar lagi yang
aslinya, yaitu: "Makapulu' l'os"
sekali-sekali hanya diucapkan oleh me-
reka yg sudah berumur dan fasih
berbahasa-tua; suka disebut bah-
asa tana'.-
Semoga ini akan menjadi bahan renungan sekaligus diskusi yang menarik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H