RS Sumber Waras, Ahok mau beli semua, Kartini mau jual semua, Wayan mencegah, jadilah KPK sebagai Komisi Pelindungan Korupsi.
Ahok mau beli seluruh lahan RS Sumber Waras, ini sesuai ucapannya yang diliput Merdeka.com 7 Juli 2015, kutipan :” Kami mau beli utuh, dia enggak mau dan jual setengahnya dengan perjanjian dia harus kasih jalan masuk kalau setengah dengan menghadap ke jalan raya.” Selengkapnya bisa dibaca di Begini Murka Ahok ke BPK karena Proyek Lahan sumber Waras Era Foke
Dari pernyataan Ahok diatas, jelas Ahok paham tanah HGB yang dibelinya tidak memiliki ekses jalan, dan pihak RS menjanjikan jalan masuk menghadap ke jalan raya, yang berada diatas lahan SHM atas nama Sin Ming Hui yang statusnya masih sengketa. Tanah HGB yang tak punya akes ke jalan raya (Kyai Tapa), jelas letak posisi tanahnya ada dibelakang yang bila pagarnya dibuka akan bersisian dengan jalan Tomang Utara.
Dia yang dimaksud dalam kalimat Ahok, tentunya pihak RS Sumber Waras. Agak aneh juga pihak RS SW tidak mau menjual seluruhnya, padahal pihak RS SW dalam hal ini diwakili oleh ibu Kartini Muljadi sudah lama diketahui ingin menjual seluruh RS tersebut. Potensial buyer baik investor lokal mapun luar negeri sering terdengar dalam proses negosiasi, gagal satu datang lagi investor lain silih berganti, hingga terakhir kita tahu PT CKU menjadi buyer yang membayar uang muka Rp.50M. sebelum Pemprov masuk.
Bila kita mencari di iklan online, kita masih bisa melihat betapa desparatenya pihak RS Sumber Waras menawarkan Rumah Sakitnya ke publik, sementara publik sering kali disuguhkan berita mismanagement pengelolaan RS SW, kondisi keuangan yang terus defisit, hingga menimbulkan berbagai gelombang demontrasi dari karyawan dan petugas kesehatannya. (Konflik Panjang di Rumah Sakit Sumber Waras)
Iklan 21 Mei 2013 RS Sumber Waras seluas 69.888M2 ditawarkan Rp.1.300.000.000.000,- (sumber)
“Keterangan Dengan ini kami sampaikan bahwa Rumah Sakit yang kami jual adalah RS. Sumber Waras, luas tanahnya 69,888 m2 dan luas bangunan 26.230 m2.
Mengenai Rumah Sakit Sumber Waras yang akan kami jual, berikut persyaratan untuk dapat melihat surat-surat kepemilikan Rumah Sakit bila berminat serius:
1. Surat Penutupan/Surat Penawaran (Letter of Interest) yang ditujukan kepada Owner Yayasan Kartini Rumah Sakit Sumber Waras dan mencantumkan harga Rp.1.3T kirim by email”
Iklan 11 Juli 2015 kali ini ditawarkan seharga Rp.1.900.000.000.000,- (sumber)
Sebenarnya bukan pihak Pemprov saja yang ingin membeli seluruh lahan RS SW, dikalangan broker tanah sering terdengar berita para investor lokal maupun asing ingin membeli keseluruhan lahan, dan pihak Kartini Muljadi juga ingin menjual seluruhnya, hanya niat jual beli tersebut terhalang oleh sikap Perhimpunan Sosial Candra Naya yang dipimpin oleh Bapak I Wayan Suparmin, yang tidak ingin jerih payah para pendiri Candra Naya yang membangun RS Sumber Waras dihancurkan oleh pengelola RS Sumber Waras. Apalagi penjualan tersebut tanpa meminta izin dari pihak Candra Naya selaku pendiri RS SW dan terlebih lagi satu surat tanah yang berbentuk Sertifikat Hak Milik (SHM) masih jelas tertera Sin Ming Hui sebagai pemilikinya (nama lama dari Candra Naya).
Akibat dari keuletan Bapak I Wayan Suparmin, investor banyak yang mundur dalam transaksi tersebut, karena meragukan keabsahan kepemilikan ibu Kartini Muljadi atas RS SW dan hanya pihak Pemprov yang akhirnya berani membeli separuh tanah (lahan HGB) dengan cara cash tunai Rp.755M yang dibayar Desember 2014, yang akhirnya menimbulkan heboh nasional.
Sebetulnya bukan keuletan saja tapi juga ketabahan Bapak I Wayan Suparmin dalam menghadapi tekanan pihak Kartini Muljadi yang dikenal sebagai Konglomerat Wanita Indonesia dan tokoh Hukum yang sangat disegani baik dalam maupun luar negeri.
Seandainya, Bapak I Wayan Suparmin lemah saat diancam atau disomasi pihak Kartini Muljadi, atau ikutan rakus dengan menerima uang dibawah tangan yang nilainya bermilyar-milyar, mungkin sudah lama rumah sakit tersebut menjadi milik investor Singapure atau Jepang. Atau sepenuhnya dibeli Pemprov DKI, sehingga BPK tidak punya alasan menuduh Pemprov membeli tanah kemahalan, karena bila kedua keping tanah tersebut disatukan, maka tampak mukanya sepenuhnya berhadapan dengan jalan Kyai Tapa yang memang harganya jauh lebih tinggi dari tanah dibelakang di jalan Tomang Utama. Dan publik sama sekali tidak akan tahu adanya penyimpangan yang dilakukan Pemprov dalam menghamburkan APBD DKI Triyunan Rupiah.
Karena berbagai cara yang dilakukan pihak Kartini Mulyadi sejak tahun 2004 telah gagal untuk mendapatkan sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Sin Ming Hui, maka terakhir pada 10 April 2015 Kartini Muljadi dengan ditemani bapak Azis Syamsudin petinggi Golkar, melaporkan Bapak I Wayan Suparmin ke polisi dengan tuduhan menggelapkan sertifikat yang notabena atas nama perkumpulan sosial Candra Naya yang dipimpinnya. Lihat di link ini Sengketa Warisan Candra Naya (2)
Kutipan dari link diatas :
“ Sementara ia mempertahankan sertifikat tanah itu, karena atas nama PSCN. “Kemudian Kartini Muljadi mendatangi Bareskrim Polri ditemani anggota Komisi III DPR RI Aziz Syamsudin. Itu seperti di-backuppejabat. Proses berjalannya kasus sendiri terhitung cepat. Kartini sendiri berusaha menyuap saya dengan menitipkan amplop kepada staf saya,” jelasnya.”
Karena pendamping Kartini Muljadi adalah pejabat besar dari partai besar, maka ini membuat pihak kepolisian maupun kejaksaan menaruh perhatian serius, yang artinya dalam tempo singkat I Wayan Suparmin sudah dipaksa harus tinggal di rumah tanahan. Dan sidang pengadilan digelar secara marathon dan penuh kejanggalan.
Pada tanggal 30 September 2015 Ketua hakim majelis PN Jakarta Barat bapak Mohd. Saleh Rasoen SH, MH dengan hakim anggota bapak Avrits SH, MH dan bapak Hari Tri Hadiyanto SH, MH, memvonis I Wayan Suparmin 1 tahun 6 bulan penjara.
Tampak sekali pihak Kartini Muljadi sedang mengejar putusan pengadilan agar secepatnya menjadi inkracht yaitu sebelum batas waktu janji akses jalan ke Pemprov berakhir pada tanggal 17 Desember 2016 (dua tahun dari tgl pelepasan HGB ke Pemprov tgl 17 Des 2014). Karena menurut berita, Kartini Muljadi telah menjajikan akses jalan keluar bagi tanah yang dibeli oleh Pemprov melalui tanah Hak Milik yang sertifikatnya masih ditangan I Wanyan Suparmin. Waktu dua tahun ini adalah waktu yang dimiliki oleh Kartini Muljadi untuk merebut sertifikat SHM tersebut, karena bila liwat masa 2 tahun tersebut masih belum juga berhasil direbut, atau masih dalam sengketa, artinya Kartini Muljadi gagal memenuhi perjanjiannya menyerahkan akses jalan ketanah yang baru dibeli pihak Pemprov DKI.
BPK atau KPK, sebenarnya bila ingin menuntaskan kasus pembelian RS Sumber Waras ini juga patut meneliti keabsahan Kartini Muljadi dalam penjualan lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras, dari mana hak nya diperoleh, apakah sudah sesuai dengan ketentuan hukum? Apakah betul seperti yang Ahok katakan di Media bahwa Kartini Muljadi mendapatkan haknya dari membeli RS Sakit tersebut? Dan terlebih lagi, bolehkan Pemprov membeli asset yang tidak memiliki akses jalan keluar, dan hanya memperoleh janji dari pihak penjual karena lokasi jalan akses keluar itu statusnya masih dalam sengketa pada saat Pemprov membeli tanah HGB itu?
Disamping itu patut juga diperiksa aparat hukum seperti Polisi, Jaksa dan Hakim baik dari PN, PT maupun Kasasi yang diperkirakan telah atau sedang bekerja keras memenuhi keinginan Kartini Muljadi yang sudah mengantongi uang sebesar Rp.755M dari Ahok agar tanah SHM milik PSCN segera berpindah ketangannya dengan putusan inkracht sebelum jatuh tempo perjanjiannya dengan Pemprov tentang pemakaian akses jalan diatas lahan SHM pada tanggal 17 Desember 2016.
Bila Kasus merebut SHM dari tangan ketua Candra Naya berjalan begitu cepat, mengapa justru kasus penjualan HGB yang sudah di KPK dan disoroti seluruh masyarakat Indonesia jalannya sangat lambat, dan masyarakat senantiasa diberikan persepsi oleh pemimpin KPK bahwa Pembelian RS Sumber Waras tidak terindikasi pelanggaran hukum. Bukankah ini hanya siasat KPK untuk mengulur waktu agar tanggal jatuh tempo penyerahan tanah 17 Desember 2016 diliwati sambil mengharap Kartini Muljadi saat itu sudah bisa mendapatkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bahwa tanah SHM yang direbutnya dari tangan Ketua Perhimpunan Sosial Candra Naya Bapak I Wayan Suparmin dimenangkannya.
Bila di jaman Orla, karya sosial Candra Naya demikian diangungkan masyarakat, alm Bapak Adam Malik pernah menjadi anggota fotograhy Candra naya, bahkan bagian seni dramanya pernah manggung di Istana dengan drama Mawar Hitam yang juga diperani oleh bapak Harry Tjan Silalahi dihadapan Bapak Presiden Soekarno dan keluarganya. Dijaman Orba, pada tahun 1968 status Rumah Sakitnya dijadikan Rumah Sakit Umun Pusat Wilayah Jakarta Barat, namun dijaman Reformasi, justru disaat Presidennya Bapak Jokowi yang sangat diandalkan mayoritas rakyat Indonesia dalam menegakkan Hukum, ternyata keadilan terasa begitu jauh khususnya yang dirasakan oleh Perkumpulan Sosial Candra Naya.
Kondisi Candra Naya persis seperti yang digambarkan oleh Bapak Lieus Sungkarisma, yang kutipannya sebagai berikut :
“Para pengurus perkumpulan Sing Ming Hui (Candra Naya) diduga ketakutan, sehingga tidak berani melawan saat aset mereka diperjualbelikan oleh Ketua Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKWS) Kartini Muljadi.
Sebab penjualan aset Sing Ming Hui melibatkan pengusaha kelas kakap yang terkait dengan Istana dan juga Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Dugaan itu disampaikan tokoh Tionghoa di Jakarta, Lius Sungkharisma saat ditanya Aktual.com mengapa pihak Sing Ming Hui (Candra Naya) seperti tak berdaya dengan penjualan aset mereka ke Pemprov DKI ataupun ke CKU sebelumnya.” Selengkapnya lihat di Kartini-Jan Darmadi-Ahok, Penyebab Bungkamnya Candranaya di Kasus Sumber Waras
Apakah betul sinyalamen yang sering kita temui di media, bahwa sekarang ini dibawah Presiden Jokowi, pengusaha lebih berkuasa dari penguasa?. Bila kita melihat kasus yang menimpa PSCN, sangat jelas pengusaha Konglomerat Wanita Kartini Muljadi dengan kekuasaan dan uangnya mampu mengatur aksi penindasannya terhadap I Wayan Suparmin, ketua PSCN dengan memanfaatkan instrument hukum di Negara ini, bahkan KPK pun tampaknya sudah berubah menjadi Komisi Perlindungan Koruptor.
Semoga bapak Presiden Jokowi dan segenap masyarakat yang masih mendambakan tegaknya keadilan di NKRI tercinta ini mau secara serius bersikap menentang segala ketidak adilan, membatasi kesewenang-wenangan dari konglomerat dalam merampas hak-hak rakyatnya. Dan tidak membiarkan Perhimpunan Sosial Candra Naya yang pada saat Republik ini berdiri sudah memainkan peranan yang sangat besar dalam membantu masyarakat yang kesusahan dan tertindas.
Bapak Ketua Perhimpunan Sosial Candra Naya, I Wayan Suparmin, adalah bukti nyata sebagai manusia langka yang mewarisi sikap para pendirinya, yaitu tidak bersedia melakukan persekongkolan dengan Kartini Muljadi dalam menguras asset kekayaan Candra Naya di RS Sumber Waras, Wayan lebih rela menanggung siksa derita di penjara dari pada menerima uang haram puluhan millyar yang ditawarkan pihak Kartini Muljadi. Bila saja Wayan menerima, maka hari ini bukan Rp.755M uang Pemprov hilang, melainkan Rp.1,9T (harga seluruh lahan seperti yang ditawarkan dalam iklan rumahdijual.com tanggal 11 Juli 2015) uang Pemprov DKI berpindah ke kantong Kartini Muljadi tanpa bisa BPK mempermasalahkannya!. Bukankah Ahok selalu mengatakan "ingin membeli semuanya"?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H