Pada siang harinya, ketika ramai pelayat mulai memenuhi rumahnya, Nazarudin tak lagi sanggup menahan tangis. Ia tidak menyangka betapa baik istrinya di mata warga. Sampai ada seorang perempuan tua yang menghampiri Nazarudin untuk menyampaikan belasungkawa.
“Sabarlah, Nak. Istrimu adalah perempuan yang baik, dan perempuan yang baik selalu lebih cepat dipanggil Tuhan,” nasihatnya.
Nazarudin tak bisa berkata-kata lagi. Ia berlari ke kamarnya. Ia malu menunjukkan kedukaannya di depan warga. Lebih dari itu, ia malu menunjukkan dirinya yang sudah “membunuh” istrinya sendiri. Di dalam kamarnya Nazarudin menumpahkan semua kesedihan dan penyesalannya. Sembari menangis, ia kembali memanggil Tuhan.
“Tuhan, kumohon dengar aku sekarang...” pintanya dengan isakan tangis. “Aku ingin mengajukan permintaan selanjutnya.”
Tiba-tiba langit-langit kamar Nazarudin terbelah dan seberkas cahaya merebak menyilaukan.
“Kau sudah punya permintaan kedua?”
“Iya, Tuhan. Aku sudah punya.”
“Katakan.”
“Tolong, Tuhan. Hidupkan kembali istriku.”
“Belum setengah hari kau memintaku mencabut nyawa istrimu. Sekarang kau ingin dia hidup lagi?”
“Iya, Tuhan. Aku sudah melakukan kesalahan fatal. Aku sayang padanya dan ingin ia dihidupkan kembali,” rengek Nazarudin. Ia tampak sangat menyedihkan, persis anak kecil yang kehilangan ibunya.