Mohon tunggu...
Berry Budiman
Berry Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Editor sastra, penulis, pengajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Nazaruddin Ditawari Tiga Permintaan oleh Tuhan

11 Desember 2016   18:48 Diperbarui: 11 Desember 2016   21:43 1994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Cerita ini akan dimulai dengan cara yang paling klise: pada zaman dahulu. Jika kau kurang tertarik dengan pembukaan semacam itu, maka berhenti saja membaca. Kau bisa kembali membuka FB-mu dan berceloteh tentang pilkada atau tentang konspirasi maha kompleks yang terjadi di dunia--yang hanya diketahui oleh pihak intelijen. Aktivitas itu juga menyenangkan kadang-kadang.

Tapi jika kau masih mau membacanya, silakan juga. Biar kuberitahu sejak awal kepadamu, supaya kau tidak kecewa, bahwa cerita ini mengandung pesan moral. 

Mari kita mulai...

Pada zaman dahulu, ketika para Nabi masih hidup dan dunia belum teracuni oleh politik, hubungan antara Tuhan dan manusia masihlah begitu dekat. Manusia bisa berbincang dengan Tuhan, bahkan untuk bertemu bertatapan langsung pun bisa. Jangan bermimpi kalau hal semacam itu bisa dilakukan saat ini. Itu konyol. Terima saja kalau hal semacam itu tinggallah kenangan, Tuhan tidak lagi mudah diajak bercakap-cakap. Mungkin hati manusia sudah kelewat gelap.

Di sebuah desa, hiduplah sepasang suami-istri miskin dan pemalas. Untung-untung mereka makan dua kali sehari dan jarang sekali mereka berganti pakaian—toh pilihan di lemari tidak pula banyak. Kadang mereka memakai pakaian yang sama untuk dua-tiga hari. Sudah kubilang padamu, mereka adalah para pemalas, baik itu Nazarudin maupun Auliah. 

Istri Nazarudin adalah perempuan yang cerewet, pemarah, gembrot dan sudah setahun lalu mengalami menopause. Tidak cukup dengan hidup yang berkekurangan, kini ia juga diberi istri yang menyebalkan. Hal itu membuat Nazarudin semakin marah dengan kehidupannya sendiri. Setiap habis sembahyang Nazarudin selalu berdoa kepada Tuhan supaya kehidupannya membaik. 

“Tuhan, aku tak tahan hidup menderita terus. Kalau Kau memang Tuhan maka bantulah aku. Apa susahnya kau mengabulkan permintaanku, Tuhan? Kalau Kau tidak juga mengabulkan permintaanku, maka aku tidak akan menyembahmu lagi! Usiaku sudah empat puluh dua, alangkah sedihnya kehidupanku jika sampai mati tidak pernah merasakan kebahagiaan,” begitulah bunyi ancaman Nazarudin di setiap doanya. 

Pada bulan kedua setelah serentetan doa-ancaman yang tak putus-putus dari Nazarudin kepada Tuhan, ia bermimpi. Dalam mimpinya ia didatangi Tuhan.

“Hai Nazarudin, Aku selalu terpikir dengan ancamanmu dan hal itu membuatku sulit tidur. Apa sebenarnya yang kau mau!?” tegur Tuhan.

“Tuhan, akhirnya Kau datang juga. Terimakasih, Tuhan. Tapi jangan marah begitu, kan aku manusia ciptaan-Mu dan sudah sewajarnya aku meminta kepada-Mu.”

“Tapi doa-doamu kelewatan.”

“Ya, mau bagaimana lagi, Tuhan. Kalau tidak begitu Kau tidak akan memperhatikanku.”

Sejenak, Tuhan tampak begitu marah dan seperti akan menjatuhkan halilintar ke hidung Nazarudin, tetapi Ia sadar bahwa itu bukanlah perilaku yang pantas dilakukan oleh Tuhan. Maka Tuhan pun hanya bisa mengelus dada demi mendengar jawaban Nazarudin. “Baiklah kalau begitu,” jawab Tuhan sambil memperhatikan wajah Nazarudin yang kusut. Sekilas, ia mulai menyerupai kukang. “Aku akan mengabulkan permintaanmu, tetapi ada syaratnya: kau harus meminta tiga permintaan. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih.”

“Benarkah itu, Tuhan?”

“Benar.”

“Ok, yang pertama: aku mohon padamu Tuhan, cabutlah nyawa istriku.”

“Apa kau serius meminta itu?

“Iya, Tuhan. Itulah permintaanku. Aku yakin hidupku akan jauh lebih bahagia jika istriku tidak ada. Apa senangnya punya istri cerewet dan pemalas seperti itu. Aku tidak tahan lagi padanya.”

“Yakin?”

“Yakin sekali, Tuhan.”

Tentu saja Tuhan tidak seperti calon wakil rakyat yang sering melanggar janjinya sendiri, dan Ia pun mengabulkan permintaan Nazarudin. Istri Nazarudin meninggal pada pagi hari ketika sedang berbelanja sayur bersama ibu-ibu yang lain. Mereka terkejut karena perempuan itu tiba-tiba terjatuh ketika sedang bercakap dengan penjaja sayur. Keterkejutan itu berubah menjadi jeritan histeris dan airmata ketika perempuan itu tidak lagi bergerak dan jantungnya berhenti berdetak. Tanpa perlu dikomando, segenap warga segera membawa perempuan itu pulang ke rumahnya. “Astaga,” respon Nazarudin pelan ketika warga membawa jenazah istrinya. 

Tak lama kemudian, berita tentang meninggalnya istri Nazarudin pun terdengar ke seluruh desa. Mereka menyayangkan nasib buruk perempuan itu yang meninggal mendadak. Selayaknya orang desa yang masih menjaga kesantunan, mereka pun berbondong-bondong melayat ke rumah Nazarudin. Tidak terdengar satu pun komentar buruk dari warga desa tentang istrinya, bahkan mereka tampak begitu sedih dengan bencana tersebut. Mereka menyebut stri Nazarudin sebagai perempuan yang baik budi pekerti, santun dan saleh. 

Pada siang harinya, ketika ramai pelayat mulai memenuhi rumahnya, Nazarudin tak lagi sanggup menahan tangis. Ia tidak menyangka betapa baik istrinya di mata warga. Sampai ada seorang perempuan tua yang menghampiri Nazarudin untuk menyampaikan belasungkawa.

“Sabarlah, Nak. Istrimu adalah perempuan yang baik, dan perempuan yang baik selalu lebih cepat dipanggil Tuhan,” nasihatnya.

Nazarudin tak bisa berkata-kata lagi. Ia berlari ke kamarnya. Ia malu menunjukkan kedukaannya di depan warga. Lebih dari itu, ia malu menunjukkan dirinya yang sudah “membunuh” istrinya sendiri. Di dalam kamarnya Nazarudin menumpahkan semua kesedihan dan penyesalannya. Sembari menangis, ia kembali memanggil Tuhan.

“Tuhan, kumohon dengar aku sekarang...” pintanya dengan isakan tangis. “Aku ingin mengajukan permintaan selanjutnya.”

Tiba-tiba langit-langit kamar Nazarudin terbelah dan seberkas cahaya merebak menyilaukan. 

“Kau sudah punya permintaan kedua?”

“Iya, Tuhan. Aku sudah punya.”

“Katakan.”

“Tolong, Tuhan. Hidupkan kembali istriku.”

“Belum setengah hari kau memintaku mencabut nyawa istrimu. Sekarang kau ingin dia hidup lagi?”

“Iya, Tuhan. Aku sudah melakukan kesalahan fatal. Aku sayang padanya dan ingin ia dihidupkan kembali,” rengek Nazarudin. Ia tampak sangat menyedihkan, persis anak kecil yang kehilangan ibunya.

“Baiklah, aku akan kabulkan permintaan keduamu.”

“Terima kasih, Tuhan.”

Maka siang itu juga, istri Nazarudin pun hidup kembali. Semua orang yang melayat terkejut menyaksikan bagaimana perempuan itu terbangun di tengah pembacaan doa yang mengalir untuknya. Wajahnya terlihat sehat sekali ketika terbangun. Beberapa orang tampak sedikit ketakutan, tetapi lebih banyak yang mendekat dan memeluk perempuan yang telah meninggal sepuluh jam yang lalu itu. 

“Keluar, Din. Istrimu hidup lagi!” teriak warga sembari mengetuk pintu kamar Nazarudin.

Segala puji bagi Tuhan semesta alam, ucap Nazarudin dalam hati.

Setelah istrinya dihidupkan kembali, kehidupan Nazarudin kembali seperti semula dan ia pun tak lagi membenci istrinya. Ia menjadi sangat menyayanginya dan karena perbuatannya itu, istrinya pun tidak lagi cerewet dan pemarah seperti dulu. Mereka menjadi sepasang suami-istri yang bahagia dan saling menyayangi. “Nazarudin diberi kesempatan kedua oleh Tuhan dan ia menggunakannya dengan baik,” komentar salah satu warga ketika melihat Nazarudin sedang menjemput istrinya dari arisan ibu-ibu.

Hidup Nazarudin sudah lebih bahagia saat ini, tetapi ia tidak lupa dengan permintaan terakhirnya yang tersisa. Dalam hati ia berpikir, ini permintaan terakhir, jangan sampai aku salah meminta. Satu minggu penuh Nazarudin memikirkan permintaan apa yang mesti ia panjatkan kepada Tuhan. Sayang juga kalau ia tidak menggunakannya. Lalu ia pun bertanya kepada teman-temannya yang meronda malam.

“Minta uang, Din. Dengan uang yang banyak, kau akan bahagia karena semua keinginanmu bisa kau beli,” saran Abdul.

“Tidak, tidak, minta kesehatan. Itu yang lebih penting. Kau lihat bagaimana menderitanya Wan Abud yang sakit bertahun-tahun itu? Kekayaannya tidak bisa ia nikmati, Din,” saran Ridwan.

“Bodoh kalin, percuma saja kalau kau kaya atau pun sehat kalau besok kau mati,” kali ini Umar yang memberi masukan.

“Mati bagaimana, kan sudah sehat!” tangkis Ridwan.

“Memangnya orang sehat tidak bisa mati. Kau terpeleset di jembatan bisa mati, tertimpa bangunan roboh juga mati, atau bagaimana kalau dibunuh pencuri yang masuk ke rumahmu ... bisa mati.”

Ketiga temannya itu semakin semangat untuk memenangkan argumennya sendiri. Nazarudin tidak bicara apa-apa dan hanya mendengarkan perdebatan mereka. Menjelang pukul sebelas Nazarudin pamit pulang karena memang saat itu bukan gilirannya meronda.

Malamnya Nazarudin tidak bisa tidur. Ia memikirkan kembali permintaan apa yang mesti ia ajukan kepada Tuhan: uang, kesehatan, atau hidup abadi. Jika ia pilih uang, maka akan menyedihkan juga jika nanti ia diterpa penyakit parah. Jika pun sehat tetapi masih miskin seperti sekarang juga apa enaknya. Hidup abadi juga buat apa kalau tetap miskin dan kena penyakit. Akhirnya, keputusan terakhir Nazarudin adalah tidak meminta apa-apa. Lebih dari itu, ia mulai berprasangka kalau Tuhan sudah mengerjainya selama ini. Semua permintaanku memberi kesenangan di satu sisi tetapi juga memberi penderitaan di sisi lain, gumamnya. Ini pasti akal-akalan Tuhan saja, Ia kesal padaku karena doa-doaku yang kelewatan dan sekarang ia mengerjaiku. 

Setahun berlalu dan Nazarudin tidak juga memanggil Tuhan. Kebahagiaannya yang sempat ia rasakan perlahan-lahan pudar setelah ia mulai terpikir dengan permintaan ketiganya. Ia kesal, kenapa Tuhan tega menjebaknya? Pikiran itu terus menguasai kepalanya dan membuat tidur malamnya tidak pernah nyenyak.

Pada tahun ketiga, Tuhan turun dan menemui Nazarudin.

“Din, kenapa kau tidak pernah memanggil-Ku lagi?” Rupanya Tuhan penasaran juga dengan diamnya Nazarudin. Saat itu wajah Nazarudin kembali mirip kukang.

“Sudahlah Tuhan, Kau tidak bisa mengerjaiku lagi. Aku tidak butuh permintaan apa-apa.”

“Kalau begitu aku tak perlu menawarimu lagi?”

Ditantang begitu, Nazarudin ciut juga. Dalam hati ia juga ingin meminta sesuatu, tetapi semua pilihan tampaknya tidak ada yang benar.

“Ehm, begini, Tuhan. Aku tidak tahu harus meminta apa, karena Kau Maha Bijaksana, bagaimana kalau Kau saja yang memilihkan permintaan untukku. Apa pun itu, pasti aku terima, Tuhan.”

“Benarkah?”

“Iya, aku sudah tidak sanggup lagi memikirkan permintaan apa-apa.”

“Baiklah kalau begitu. Dengarkan, untuk permintaanmu yang terakhir, Aku akan memberikanmu hati yang penuh rasa syukur,” jawab Tuhan.

Nazarudin terheran-heran mendengarnya. Awalnya ia akan mengira kalau Tuhan akan memberinya kekayaan, kesehatan, atau hidup abadi seperti yang ia renungkan selama ini. 

Karena ia adalah orang yang polos, maka ia pun bertanya. “Kenapa Kau memberiku hati yang bersyukur, Tuhan?”

Dengan tenang Tuhan menjawab, “Karena, dengan hati yang penuh dengan rasa syukur, semua makanan akan terasa enak. Dengan hati yang bersyukur, semua tempat terasa surga. Dan dengan hati yang bersyukur, kau akan merasakan kekayaan di dalam dirimu.”(*)

--Terinspirasi dari cerita yang disampaikan Gede Prama dalam salah satu ceramahnya “Menjadi Kaya di Dalam”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun