Mohon tunggu...
Berny Satria
Berny Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis bangsa

Bangsa yang Besar adalah yang berani berkorban bagi generasi berikutnya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

MENJADI BANGSA PEMBERI MAKAN, BUKAN PEMINTA MAKAN

25 Februari 2014   20:30 Diperbarui: 6 Januari 2016   22:36 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahan Pangan pokok adalah komoditas yang menjadi penggerak primer dari suatu bangsa. Tatkala cukup, ia dapat membuat bangsa menjadi kuat. Namun tatkala kurang, maka ia dapat membuat bangsa menjadi lemah, mirip seperti sebuah tubuh yang kekurangan makan. Tak bisa berdiri pada kaki sendiri, dan hanya mampu menghela nafas tanpa ada usaha yang berarti.

Bahan pangan ditanam pada negara-negara yang memiliki lahan sebagai medianya. Dan setiap negara mengusahakan untuk memperluas (ekstensifikasi) lahan pertanian yang ada, seiring dengan pertumbuhan penduduk dengan pola konsumsi yang semakin beragam dan bertambah pula. Jika tidak diekstensifikasi lahan pertaniannya, maka usaha yang ada hanya bertumpu pada penggalian teknologi pertanian, atau peningkatan produktifitas lahan yang ada.

Jika dilihat dengan kacamata pengelolaan pertanian, penggalian teknologi pertanian dan peningkatan prodikfitasnya terlihat efektif dan efisien. Namun bagi sebuah negara yang memiliki lahan luas dan penduduk yang banyak seperti Indonesia, cara ini akan mendatangkan masalah baru dalam menggerakan rakyatnya untuk aktif terjun ke pengelolaan pertanian demi mencapai ketahanan Pangan.

Pentingnya ekstensifikasi lahan ini telah disadari oleh negara-negara lain yang memiliki lahan, maupun yang tidak memiliki lahan untuk perluasan. Mereka sadar bahwa pertanian adalah industri inti sebagai penggerak tubuh bangsa.

Arab Saudi yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari gurun pasir, telah meluaskan usaha pertanian dengan mengembangkannya di negara-negara lain seperti di Sudan, Pakistan, Ethiopia, Kazahstan, Philipina, Thailand, dan Tanzania. Ini dilakukan adalah untuk memperkuat Ketahanan Pangan negaranya. Apalagi usaha mendapatkan bahan-bahan pertanian dari luar jazirah Arab sudah dirintis semenjak ribuan tahun lalu oleh bangsa Arab dan bangsa Mesir.

China terus gencar melakukan perluasan bisnis pertanian ke Thailand, Vietnam, Kamboja dimana banyak padi ditanam untuk mengamankan Ketahanan Pangan berasnya di kawasan China daratan. Mereka menyadari bahwa penggalian teknologi dan peningkatan produktifitas pertanian tidak dapat menjawab kebutuhan bangsa yang polpulasinya terus meledak. Apalagi lahan di China tidak semuanya dapat ditanami disebabkan suhu dan musim yang ekstrim disana. Mereka tetap mengekstensifkan lahan, tetapi di negara lain.

Indonesia memiliki lebih dari 188 juta Hektar wilayah daratan yang hampir keseluruhannya dapat ditanami. Wilayah yang terkenal kesuburannya, tempat dimana memungkinkan hampir seluruh komoditas pertanian ditanam disini. Tempat dimana lempar biji menjadi buah. Tanah yang banyak bangsa semenjak dahulu mengatakan sebagai "Tanah Syurga".

Namun usaha perluasan lahan pertaniannya justru mengalami pengurangan, penggadaian, bahkan penjualan pada bangsa lain yang ingin meluaskan lahan pertaniannya.

Karawang, sebagai lumbung padi Nasional, bergeser fungsinya secara perlahan menjadi daerah industri nasional. Karena sawah-sawah yang dahulu hijau hingga menguning menghiasi bumi Karawang, kini mulai dipenuhi oleh bangunan-bangunan pabrik yang berorientasi pada eksploitasi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Tahun 1980-an, ketika melintas jalan Bekasi-Karawang, anda tidak akan melihat satu bangunan permanen pun disana. Tetapi mata hanya melihat padi memenuhi wahana bumi Karawang.

Namun kini, ketika melintas di Tol Cikampek-Karawang, pandangan kita akan tertutup oleh megahnya pabrik dan bangunan permanen disana. Padi banyak terlihat, tetapi hanya dalam bentuk billboard iklan perumahan atau pamflet Caleg DPRD.

Menurut data BPS, ada pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri, disebabkan kebijakan pemerintah yang mendorong industrialisasi pada sektor riil. Ini dapat dilihat dari menurunnya Keluarga Keluarga (KK) yang berusaha pertanian di bangsa ini.

Tahun 2003 Indonesia memiliki KK pertanian sebanyak 31,17 Juta. Sedangkan tahun 2013 KK Pertanian tinggal 26,13. Artinya ada penurunan sebanyak 5,04 Juta KK Pertanian selama 10 Tahun. Hal ini semakin membuat miris bagi yang mengetahui bahwa lahan di indonesia juga telah dijual-digadaikan kepada bangsa lain.

China telah membeli (dengan dalih pengusahaan bersama) seluas 1 Juta Hektar di Subang, senilai US$ 2 miliar atau 20,3 Triliun rupiah untuk ditanami Padi dan Kedelai. Bukan hal yang tidak mungkin jika Arab saudi pun melirik Indonesia sebagai lahan yang menjanjikan untuk ditanamkan komoditas yang diinginkannya, termasuk penanaman karakter Arabisme.

Secara reportase, pemerintah memiliki alasan bahwa semakin maju sebuah negara, maka industri nya akan bergeser dari pengelolaan pertanian menjadi industri sektor riil dan jasa. Tidak salah juga, namun bukan berarti sektor pengolahan lahan pertanian ditinggalkan. Justru disini terjadi kesalahan fatal jika melemahkan usaha sektor pertanian. Sebab pengelolaan lahan pertanian akan menentukan arus produksi bahan pangan lokal.

Jika suplai pangan lokal tidak dipacu, maka negara ini hanya akan menjadi negara pengimport pangan pokok. Akibatnya neraca perdagangan untuk sektor pertanian secara nasional akan terus merosot. Ketahanan pangan tercukupi, namun tidak memiliki kemandirian. Wajar saja jika besarnya import beras, gandum, kedelai, singkong, bahkan garam tidak menjadi bahasan serius untuk ditanggulangi, karena kecukupan penyediaan pangan menjadi motif utama tanpa terbebani persoalan dari mana bahan pangan pokok itu berasal.

Ada hal yang sedikit menggelitik jika melihat kemandirian pangan negeri nan subur ini, yaitu tatkala melihat neraca perdagangan sektor pertanian nasional yang membandingkan trasnsaksi import dengan ekspor. Bahwa Indonesia selain pengimport Beras, Gandum, Singkong, dan Kedelai, tetapi juga sebagai pengekspor bahan yang sama pada waktu yang bersamaan pula.

Menurut data Kementrian Pertanian RI tahun 2012 Indonesia:

import BERAS.       1.223.895.701 Kg

Tetapi Ekspor beras juga 949.310 Kg

Import GANDUM. 6.426.345.601 Kg

Ekspor gandum juga. 52.942.078 Kg

Import SINGKONG   774.594.540 Kg

Ekspor singkong juga 14.702.307 Kg

Import KEDELAI. 1.703.915.985 Kg

Ekspor kedelai juga.   31.340.365 Kg

Angka di atas membuktikan bahwa pada tahun kerja yang sama Indonesia telah mengimport 4 bahan pokok diatas, sekaligus mengekspor 4 bahan itu juga.

Menurut UU no 18 tahun 2012 tentang Pangan Bab IV Pasal 32 Ayat 2, berbunyi:

"Ekspor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi Pangan Pokok dan Cadangan Pangan Nasional”

Melihat besarnya import akan 4 bahan pokok tadi, terlihat bahwa sesungguhnya Indonesia belum dapat mencukupi konsumsi pangan pokok dan cadangan Nasional, namun anehnya melakukan ekspor juga. Dengan kata lain, tindakan ekspor yang dilakukan adalah melanggar undang-undang. Jika undang-undang yang mengatur segenap bangsa ini telah dilanggar justru oleh pelaksana pemerintahan, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang "Tidak Punya Aturan".

Apalagi jika dilihat harga per kg import dengan ekspor, jauh lebih besar harga per kg ekspor:

Harga

Beras (per kg): import Rp 5.355,91

 

ekspor                              Rp 11.460,51

Gandum. import Rp 3.649,36

ekspor                    Rp 5.654,14

Singkong. import Rp. 4.333,67

ekspor                     Rp. 4.509,47

Kedelai. import    Rp. 5.979,90

ekspor                     Rp 10.080,17

Dari tingginya harga per kg untuk ekspor namun tetap laku dijual, terlihat bahwa usaha ekspor yang dilakukan seolah sebuah keterpaksaan untuk mengisi kolom pemasukan dari lini ekspor pada neraca perdagangan. Bisa jadi bahan pangan yang diekspor adalah bahan pangan yang diimpor 1 bulan sebelumnya, sehingga biaya-biaya yang diserap meningkatkan harga jual ekspor. UU pangan no 18  tadi bisa dijadikan alasan untuk mengimpor demi mencukupi kebutuhan pangan pokok nasional dahulu, setelah itu bahan pokok yang berlebih hasil impor tadi di ekspor kembali. Begitu mudahnya undang-undang yang ada dilakoni layaknya lilin peraga yang dapat dibentuk apa saja..

Jika harga ekspor demikian tinggi, berarti dapat diukur seberapa kuat bahan pangan kita untuk bersaing di pasar internasional.

Harga ekspor setinggi ini dipengaruhi oleh ketidak perdulian untuk menjadikan KK petani sebagai pemilik usaha tani. Angkatan kerja KK Petani yang ada hanyalah berperan sebagai buruh, yang berakibat lumpuhnya keunggulan komparatif produk bahan pangan untuk diekspor.

Akibatnya harga jual ekspor sangat tidak rasional untuk dapat bersaing dengan produk pangan negara lain di kancah internasional. Sehingga hasil pendapatan yang mengisi lini ekspor bukanlah hasil yang dapat membangun bangsa untuk dapat memenangkan persaingan, tetapi hanya sebagai pemandu sorak neraca perdagangan nasional demi menggugurkan kewajiban untuk ekspor bahan pokok.

Jika ini terus berlangsung dan tidak ada usaha untuk menumbuhkan pengusahaan lahan di negeri sendiri untuk pertanian, maka masyarakat petani kita hanyalah menjadi masyarakat petani buruh, bukan majikan pertanian.

Yang namanya buruh, motifasi hidupnya hanya bekerja dan bekerja tanpa ada kepedulian akan ancaman pada bangsanya. Yang namanya buruh, maka ia tidak memiliki hak untuk mengelola sesuai keinginannya. Tetapi ia hanya bisa dipecut, dipancung, dan dianiaya oleh para majikan, tanpa dapat mewarisi kekayaan yang dikelolanya kepada generasi berikutnya.

Cita-cita soekarno akan terkendala untuk menjadikan bangsa ini menjadi mercusuar dunia, menjadi Pemimpin dunia. Begitupula bung Hatta, Muh Yamin, dan para pendiri bangsa yang ingin melihat bangsa ini menjadi bangsa bermartabat.

Karena ciri menjadi pemimpin dunia tatkala bangsa ini bisa menjadi majikan, bukan buruh. Bangsa ini harus menjadi pemilik bukan pengontrak. Menjadi Sate jauh dari panggangan api ketika slogan dan wacana memukau untuk memimpin dunia terus digaungkan, semangat restorasi dimeriahkan, tetapi tidak tercebur langsung dalam usaha pertanian yang menggairahkan petani lokal untuk menjadi juragan di negeri sendiri.

Jika anda masih perduli akan kebangkitan bangsa ini, jika anda masih gelisah melihat bangsa yang terjajah ini, jika anda masih tergerak menjadi bangsa Hakim Dunia, mari bergabung bersama untuk kembali mengusahakan pengelolaan lahan pertanian bersandarkan pada lahan milik bangsa sendiri, bukan bangsa lain. Mari kita jadikan pertanian sebagai sektor raja di bumi Nusantara nan kaya ini. Mari kita menanam dimulai dari pekarangan rumah kita sendiri. Surgaku adalah rumahku, kita buktikan itu dengan penanaman tanaman yang mudah dipanen, sehingga kita dapat memenuhi kebutuhan dapur dari rumah sendiri.

Semangat ini akan membangun wawasan kita untuk dapat menanam tanam-tanaman produktif di lahan lebih luas lagi di bumi Nusantara ini. Kita akan bisa menjadi penggarap sekaligus penuai hasilnya, tanpa didikte oleh pihak asing dalam manajemen dan penguasaannya

“Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner (Ir. Soekarno)”.

"Kita harus bisa menjadi bangsa yang memiliki ketahanan logistik. Namun lebih penting lagi menjadi bangsa yang mandiri dalam memberi makan anak pertiwi dari bumi sendiri, tanpa bantuan manapun." (Berny Satria)

Depok, 25 Februari 2014

Penulis:

Berny Satria

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun