Mohon tunggu...
Berny Satria
Berny Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis bangsa

Bangsa yang Besar adalah yang berani berkorban bagi generasi berikutnya

Selanjutnya

Tutup

Politik

AMANDEMEN PREMATURE untuk PILPRES

24 Agustus 2014   07:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:43 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14088211692061980158

Rezim-rezim pemerintah sebelum tahun 1999 dianggap sebagai pagar penghalang diamandemennya UUD 1945 untuk merespon berkembangnya zaman dan tuntutan azasi masyarakat Indonesia akan sebuah pemerintahan yang senantiasa mengakomodir hak-hak rakyat termasuk hak untuk memilih Presiden dan Wakilnya di negeri ini.

Penghalangan itu kini ditasfirkan sebagai usaha untuk mempertahankan kekuasaan status quo yang dimiliki rezim-rezim sebelumnya. Karena UUD 1945 adalah penjabaran dari dasar negara yaitu Pancasila, maka Pancasila pun terkena serapah kambing hitam penyebab terjadinya ketimpangan politik-sosial-ekonomi.

Namun setelah era reformasi, masyarakat bangsa Indonesia merasa terbebas dari kungkungan itu dan berusaha mencari solusi dengan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali. Dimulai dari tahun 1999, 2000, 2001, dan terakhir tahun 2002.

Dalam 4 tahun, sedikitnya telah diamandemen sebanyak 10 Bab dengan 69 pasal di dalamnya. Dan yang paling menarik untuk dibahas adalah amandemen UUD 1945 tentang Pemilihan Presiden yaitu pasal 6.

Rumusan Pasal sebelumnya

Pasal 6

(1)    Presiden ialah orang Indonesia asli.

(2)    Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.

Pasal 6 ayat 1 disahkan karena para pendiri bangsa melihat kebutuhan saat itu, dan jauh ke depan tentang pentingnya seorang kepala pemerintahan yang harus asli orang Indonesia. Kekhususan ini bukan disebabkan kecilnya wawasan atau terjebak chauvinisme etnis, tetapi justru mereka sadar bahwa bangsa ini setelah merdeka memerlukan sebuah pagar keaslian orang Indonesia untuk jabatan Presiden sebagai pucuk pelaksana pemerintahan negara. Karena jika tidak dipagari, maka segala sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini akan mudah dijual dan dipersembahkan dengan mudahnya kepada bangsa lain.

Menurut penulis, istilah "Orang Indonesia Asli" bukan saja mengacu kepada asal-muasal genetika dari daerah Nusantara, tetapi yang paling penting adalah orang yang memiliki hajat untuk membangun dan mementingkan keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Indonesia sudah memiliki system yang menurut Presiden Soekarno dkk sebagai konsepsi dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila.

Maka jika ada orang yang secara genetika berasal dari luar Indonesia, tetapi memiliki konsep nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, membangun dan membesarkan bangsa Indonesia, mencurahkan kemampuannya untuk membangun bangsa Indonesia sesuai dengan Pancasila, maka ia adalah orang Indonesia Asli.

Namun tatkala ada orang yang genetika nya berasal dari Nusantara asli, nenek moyangnya dari Indonesia pedalaman, tetapi ia menjual kekayaan dan potensi SDM-SDA kepada bangsa asing, membuat sistem hidup yang memposisikan rakyat sebagai budak, maka orang seperti itu nilainya bukan orang Indonesia Asli. Fisiknya mungkin terlihat seperti keturunan Homo Soloensis, tetapi jiwanya adalah jiwa yang bekerja atas nama bangsa asing, termasuk atas nama kepentingan pribadinya. Rambutnya mungkin keriting kecil-kecil dengan kulit sawo matang, tetapi kiprahnya menguntungkan para penjajah asing.

Pada ayat ke 2, tertulis "Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak".

Ayat 2 dari pasal 6 UUD 1945 ini merupakan penjabaran dari sila yang ke 4 dari Pancasila: "Kerakyatan yang DIPIMPIN oleh hikmat kebijaksanaan dalam PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN. Bukan Kerakyatan yang MEMIMPIN.

Ayat ini bisa berfungsi layaknya pisau bermata dua. Jika diterapkan dengan jiwa sila ke 4 Pancasila akan menjadi aturan baku ideal bagi bangsa Indonesia. Namun jika disalah gunakan akan mendatangkan malapetaka semesta bagi bangsa pelakunya.

Para pendiri bangsa yang berpeluh mencetuskan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia, telah melihat bahwa kebutuhan bangsa yang beraneka ragam sukunya ini harus dipimpin oleh sebuah mekanisme pemilihan pemimpin negara yang mengedepankan musyawarah dan mufakat. Sebab beragamnya suku dan adat istiadat akan cenderung mengedepankan apa yang terkandung dari masing-masing suku dan budaya. Jalan satu-satunya untuk meredam dan mengakomodir banyak suku itu adalah dengan musyawarah dan mufakat, termasuk untuk memilih kepala negara yang akan memimpin mereka.

Dengan musyawarah dan mufakat, maka orang-orang yang melakukannya telah dibekali oleh semangat untuk membangun bangsa. Jika tidak, maka musyawarah yang berujung mufakat itu tidak akan terjadi . Apapun keputusan yang dicapainya, akan didukung oleh seluruh peserta musyawarah yang bermufakat.

Kemudian bangsa Indonesia yang memasuki era reformasi, meng-amandemen pasal 6 ayat 2 dengan pasal 6A ayat 1 yang berbunyi:

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Jika dianalisa, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung adalah cara pemilihan yang dilaksanakan oleh negara yang berlandaskan "Konstitusi Tertinggi" dengan demokrasi yang sering disebut demokrasi ala barat sebagai mekanisme untuk pencapaian tujuannya.

Di dalam demokrasi ala barat, berpedoman kepada istilah "Vox Populi Vox Dei", Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Artinya apa yang diputuskan oleh rakyat adalah suara kebenaran. Sedangkan didalam mekanisme pencapaian keputusan yang diklaim sebagai kebenaran itu, menggunakan metode Voting. Padahal kebenaran tidak bisa di voting, karena kebenaran tidak mungkin mendua, tidak mungkin ada dua pilihan.

Jika hasil voting adalah kebenaran, maka kubu/suara/kekuatan yang kalah voting harus dihancurkan, harus dilumatkan. Karena jika sebuah negara membiarkan dan melegalkan sebuah ketidak benaran ada, berarti negara itu tidak benar, hasll pilihannya pun tidak benar.

Tetapi negara-negara yang berlandaskan demokrasi ala barat ini tidak konsisten dalam melaksanakan sistemnya, termasuk negara yang mengadopsinya. Terbukti pihak yang kalah menjadi kubu oposisi yang berlawanan dengan pemenang voting, dengan alasan mengkontrol pemerintah pemenang voting. Padahal kubu yang kalah karena voting, akan mencari celah agar dapat menjatuhkan pemerintah pemenang voting, apapun caranya. Salah satunya adalah terjadinya tahapan pemakzulan kepala negara dari jabatannya sebagai Presiden. Dan inilah yang terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid yang dilengserkan karena dianggap tidak mampu mengurus negara oleh lawan-lawan politiknya.

Begitupula mekanisme politik bangsa ini yang sudah mulai mengadopsi demokrasi ala barat, apakah berani menihilkan kekuatan kubu CaPres dan CaWapres yang kalah voting?

Sesungguhnya ada slogan yang sudah lengkap dalam konsep Pancasila dengan "Bhineka Tunggal Ika" nya. Istilah ini diambil dari kitab Sutasoma tulisan Mpu Tantular, yang selengkapnya berbunyi: "BHINEKA TUNGGAL IKA, TANHANA DHARMA MANGRWA".

"Berbeda-beda namun tetap satu, Kebenaran tidak bisa Mendua/Rancu".

Jadi sebenarnya slogan yang ada pada pita burung garuda sudah menafikan demokarsi ala barat dengan voting sebagai instrumennya.

Artinya, dijaman Mpu Tantular yang hidup berabad-abad lalu sudah menyadari bahwa voting adalah musuh bangsa Nusantara. Pasti, para leluhur kita mengungkapkan hal itu karena telah melihat efek destruktif yang dihasilkan oleh instrumen voting.

Dengan demikian, amandemen UUD 45 pasal 6A ini jelas-jelas bertentangan dengan sila kepemimpinan dalam Pancasila. Jelas bertentangan dengan prinsip yang lebih tinggi dalam negara yaitu Pancasila.

Jika ada aturan yang berlaku, namun kaidahnya bertentangan dengan aturan/prinsip yang lebih tinggi, maka aturan itu disebut PREMATURE.

Layaknya bayi yang lahir premature, maka ia akan mengalami kendala dalam kehidupan keseharian. Apakah tidak bisa "mendengar", tidak bisa "melihat" tidak punya indra perasa termasuk sensitivitas terhadap jerit azasi bangsanya, atau "organ-organ" tubuh bangsa menjadi cacat sehingga tidak berfungsi dengan normal.

Dan jika amandemen UUD 45 pasal 6 ini dianggap yang lebih benar dari Pancasila, mengapa para penguasa bangsa tidak mengamandemen Pancasila? Apakah takut terkesan tidak menghargai trah para pahlawan yang mencetuskan Pancasila?

Jawabannya adalah karena aplikasi nilai-nilai Pancasila sudah tercampur dengan nilai-nilai prinsip negara lain, prinsip bangsa lain.

Bukan pancasila yang dipasarkan dengan hawa otoriter dan tangan besi, tetapi nilai-nilai yang intepretasi dan aktualisasinya sesuai dengan nilai kebenaran sejati.

Pancasila adalah dasar negara, pondasi negara. Amandemen ayat dimaksud menjadikan bangsa ini memiliki pondasi Indonesia, tetapi bangunannya bangunan bangsa lain. Pondasinya beton, tetapi bangunannya gedek beratap rumbia. Pasti penghuni didalamnya sangat rentan dengan gangguan cuaca ataupun binatang buas serta penyakit.

Solusinya adalah:

Kembali kepada penerapan seluruh nilai-nilai Pancasila yang dijiwai oleh sila pertama, yakni "KeTuhanan Yang Maha Esa".

Maka sila Kemanusiaan harus berjiwa keTuhanan YME.

Sila Persatuan harus meniru sifat Tuhan YME.

Sila Kepemimpinan harus mencontoh bagaimana Tuhan memimpin alam semesta.

Dan sila keadilan harus sebagaimana adilnya Tuhan mengasihi dan menyayangi seluruh makhluknya.

Sila KeTuhanan Yang Maha Esa harus menjiwai pada setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Manusia adalah alat yang Tuhan pakai untuk mengenalkan Karakter Nya, tidak lebih. Maka manusia bukan Tuhan, rakyatpun bukan Tuhan.

Pasti aturan-aturan sebagai cara mencapai tujuan negara akan sesuai dengan konsep dan tujuan dasar dibentuknya negara. Dan pasti aturan yang diamandemen tidak akan premature, karena mengikuti pola Tuhan yang harmonis dan seimbang dalam merawat makhluk-makhluknya.

Apakah itu mungkin terjadi? Sangat mungkin saudara, karena Tuhan tidak mengantuk dan tidak tidur. Ia tetap menggulirkan "Cakra Manggilingan" yang pasti akan berputar. Ada malam ada siang. Ada gelap ada terang. Tergantung apakah kita menganggap hari ini kondisi siang dimana keadilan sudah merata, atau kondisi malam yang sebentar lagi akan menjadi siang.

Mari bersatu membangun bangsa dengan dijiwai oleh karakter Tuhan Yang Maha Esa.

23 Agustus 2014

Minangkabau Airport

Penulis:

Berny Satria

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun