Pasal 5 UU PSK menyatakan :
" (1) Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. dirahasiakan identitasnya;
j. mendapat identitas baru;
k. mendapat tempat kediaman sementara;
l. Â mendapat tempat kediaman baru;
m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat nasihat hukum;
n. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
o. mendapat pendampingan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.
(3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana."
Pasal 6 UU PSK menyatakan :
"(1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan LPSK."
Undang-Undang Tindak Pidana Pelecehan Seksual telah terbentuk
Sebagai isu yang senantiasa menjadi perhatian di mata masyarakat selama bertahun-tahun, pada pertengahan tahun 2022 akhirnya disahkan suatu Undang-undang yang dikhususkan untuk tindakan pelecehan seksual yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Pelecehan Seksual ("UU TPKS"). Undang-undang ini merupakan suatu terobosan hukum terutama bagi perempuan dan anak-anak di Indonesia yang berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan, selama periode tahun 2012 hingga tahun 2021 (10 tahun) menunjukkan setidak-tidaknya terdapat 49.762 laporan kasus kekerasan seksual.[1] Pengesahan UU TPKS ini juga sejalan dengan salah satu isu yang menjadi prioritas dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), yaitu penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.[2]