Mohon tunggu...
Bernard Kaligis and Associates
Bernard Kaligis and Associates Mohon Tunggu... Pengacara - Bernard Kaligis and Associates

It's started with a service

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Miris! Izin Pengadilan Selalu Disepelekan dalam Tindakan Penggeledahan dan Penyitaan

30 Agustus 2022   12:55 Diperbarui: 30 Agustus 2022   12:57 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara hukum yang sangat menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia untuk menjamin warga negaranya memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karenanya, setiap tindakan negara yang dalam hal ini diwakilkan oleh aparat penegak hukum haruslah dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum, terutama atas kewenangan melakukan tindakan Upaya Paksa dalam Penyidikan (Pro Justitia) yang dapat dilakukan oleh pelaksana tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) kepada masyarakat wajib dilaksanakan sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku

Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Perkapolri No 6 Tahun 2019  menyatakan bahwa penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari Upaya Paksa dalam proses penyidikan . Guna kepentingan penyidikan untuk membuat suatu perkara menjadi terang dan jelas, maka perlu dilakukan suatu penggeledahan untuk menemukan barang bukti (C Djisman Samosir, 1985). Adapun M. Yahya Harahap berpendapat bahwa penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan oleh undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan rumah atau tempat kediaman seseorang dan untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang untuk kepentingan penyidikan agar dapat ditemukan barang bukti dan/atau tersangka (M Yahya Harahap, 2003).

Namun pada prakteknya, banyak masyarakat tidak mengetahui sistem hukum acara di Indonesia, terutama mengenai hak-hak masyarakat itu sendiri saat terbentur pada kewenangan “Upaya Paksa” yang dapat dilakukan oleh Polri, dan sering kali, ketidaktahuan masyarakat “disalahgunakan” sebagai celah bagi “oknum” Polri untuk melakukan tindakan upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan dalam hal ini diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 81 Tahun 2008 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). 

Terkait “Upaya Paksa” yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, baru-baru ini Kantor Pengacara Bernard Kaligis membela Hak Pemohon dalam mengajukan Permohonan Praperadilan perihal Sah atau Tidaknya Tindakan Penggeledahan dan Penyitaan yang dilakukan oleh “oknum” Polri di daerah Jakarta Barat.

Pemohon merupakan masyarakat yang telah menjadi korban dari tindakan kesewenang-wenangan “oknum” Polri yang dengan sengaja mengabaikan Izin Ketua Pengadilan Setempat dalam melakukan serangkaian Tindakan Upaya Paksa Penggeledahan dan Penyitaan di kediaman Pemohon.

Terkait pembahasan tindakan Penggeledahan dan Penyitaan oleh Polri, media internasional juga sedang banyak menyorot tindakan penggeledahan dan penyitaan yang baru dialami oleh mantan presiden Amerika Serikat yaitu Donald Trump.

Kediaman pribadi Donald Trump digeledah oleh Biro Investigasi Federal (FBI) pada hari Senin, 8 Agustus 2022 waktu setempat. Dilansir dari berbagai sumber berita, dikatakan bahwa penggeledahan yang dilakukan oleh FBI tersebut telah berbekal surat penggeledahan resmi dari Pengadilan.  

Di bawah Amandemen Keempat (Fourth Amendment to the United States Constitution) yang berisi larangan penggeledahan dan penyitaan yang tanpa alasan, penegak hukum, dalam kejadian ini FBI, harus menerima izin tertulis dari pengadilan, atau hakim yang memenuhi syarat, untuk secara sah melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti saat proses penyelidikan. Pengadilan memberikan izin dengan mengeluarkan surat izin yang lebih dikenal sebagai warrant. Tujuan akhir dari ketentuan ini adalah untuk melindungi hak masyarakat atas privasi dan kebebasan dari campur tangan pemerintah yang tidak wajar.

Bahwa dari kasus penggeledahan dan penyitaan yang dialami Donald Trump kita belajar jika FBI pun dalam melakukan upaya paksa geledah dan sita wajib mendapatkan izin tertulis dari Pengadilan. Hal ini juga sama dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) KUHAP menyatakan : “Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.”.  

Hal ini menegaskan bahwa sebelum dilakukannya suatu penggeledahan, penyidik harus mendatangi Pengadilan Negeri setempat yang meliputi domisili dari lokasi penggeledahan, untuk menyampaikan surat permohonan izin melakukan penggeledahan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Surat izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri terbit kurang lebih 1-2 (satu sampai dengan dua) hari setelah disampaikannya permohonan. 

Setelah ada izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri, barulah maka penyidik dapat melakukan penggeledahan dengan menunjukan surat perintah penggeledahan dan lampiran surat izin penggeledahan Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Hal ini merupakan prosedur awal yang wajib dijalankan oleh Penyidik dan penting untuk diketahui oleh masyarakat. Apabila orang terdekat mengalami suatu peristiwa penggeledahan, wajib memeriksa apakah terdapat surat izin dari ketua Pengadilan Negeri Setempat untuk melakukan penggeledahan atau tidak. Hal ini bertujuan agar tidak ada tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh “oknum” Polri yang mengatasnamakan tindakan penggeledahan, namun sebenarnya penggeledahan dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang tercantum dalam KUHAP.

Bahwa penting untuk diketahui juga, jika dalam keadaan yang “sangat perlu dan mendesak”, yang dirasa oleh penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu, maka penyidik dapat melakukan penggeledahan, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) KUHAP.

Namun berdasarkan pada sistem pidana dalam hukum Common Law, keadaan mendesak atau “Exigent Circumstances” menurut Black Law Dictionary, "Exigent circumstances" in relation to justification for warrantless arrest or search refers generally to those situations in which law enforcement agents will be unable or unlikely to effectuate an arrest, search or seizure for which probable cause exists unless they act swiftly and without seeking prior judicial authorization.” atau yang dapat diartikan “Keadaan mendesak" sehubungan dengan pembenaran atas tindakan penangkapan, penggeledahan, atau penyitaan tanpa izin pengadilan hanya diperbolehkan pada situasi-situasi di mana Aparat Penegak Hukum tidak dapat atau tidak dimungkinkan melakukan penangkapan, penggeledahan atau penyitaan karena harus bertindak secara cepat tanpa terlebih dahulu meminta izin pengadilan.”  

Exigent Circumstances” atau keadaan mendesak terbagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu: a. Barang Bukti yang mudah hilang / dimusnahkan (Destruction of Evidence); b. Orang yang membutuhkan bantuan Polisi dengan segera (Emergency Aid); c. Orang yang diduga melakukan tindak pidana kemudian melarikan diri karena adanya pengejaran (Hot Pursuit).

Dalam waktu 2 (dua) hari setelah memasuki dan/atau menggeledah rumah, penyidik harus membuat Berita Acara Penggeledahan dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau  penghuni rumah yang bersangkutan. Berita Acara Penggeledahan harus memuat uraian tentang pelaksanaan dan hasil dari penggeledahan rumah dan/atau badan serta harus dibacakan terlebih dahulu oleh penyidik kepada yang bersangkutan untuk selanjutnya diberikan tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya dan/atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 126 ayat (1) dan (2) KUHAP. 

Selain melakukan tindakan penggeledahan, penyidik juga dapat melakukan tindakan penyitaan. Tujuan dari penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian, sebab barang bukti sifatnya adalah mutlak untuk dapat menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dikatakan sebagai tindak pidana atau bukan (Andi Sofyan dan Asis.2014)

Selain izin pengadilan, dalam dilakukannya suatu penyitaan diatur juga bagaimana tindakan penyidik sebelum dan sesudah melakukan penyitaan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 128 KUHAP yang menyatakan : “Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita.”

Serta setelah melakukan penyitaan, wajib dibuat suatu berita acara sebagaimana diatur dalam Pasal 129 ayat (1) dan (2) KUHAP yang menyatakan : “(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. (2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.”  

Mengapa Surat Izin Penggeledahan dan Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat itu penting?

Apabila kembali melihat pada pembahasan mengenai Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat di atas, pengaturan mengenai perlunya surat Izin Pengadilan adalah untuk melindungi hak masyarakat atas privasi dan kebebasan dari campur tangan pemerintah yang tidak wajar.  

Bahwa berdasarkan seluruh penjabaran diatas, KUHAP sudah dengan jelas mengatur jika Pengadilan diberikan kewenangan dalam menjaga sistem check and balance terhadap seluruh tindakan Upaya Paksa yang dapat dilakukan oleh Polri, terkhususnya dalam melakukan tindakan Penggeledahan dan Penyitaan.

Namun pada kenyataannya, ketentuan ini justru banyak disepelekan dan disalahgunakan oleh “oknum” Polri, sehingga penting bagi masyarakat untuk mengetahui prosedur yang wajib dipenuhi Polri sebelum melakukan Upaya Paksa Penggeledahan dan Penyitaan yaitu memperoleh Izin dari Ketua Pengadilan Setempat agar hak-hak dan privacy masyarakat tidak dilanggar oleh “oknum” Polri.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun