Indonesia merupakan negara hukum yang sangat menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia untuk menjamin warga negaranya memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karenanya, setiap tindakan negara yang dalam hal ini diwakilkan oleh aparat penegak hukum haruslah dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum, terutama atas kewenangan melakukan tindakan Upaya Paksa dalam Penyidikan (Pro Justitia) yang dapat dilakukan oleh pelaksana tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) kepada masyarakat wajib dilaksanakan sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Perkapolri No 6 Tahun 2019 menyatakan bahwa penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari Upaya Paksa dalam proses penyidikan . Guna kepentingan penyidikan untuk membuat suatu perkara menjadi terang dan jelas, maka perlu dilakukan suatu penggeledahan untuk menemukan barang bukti (C Djisman Samosir, 1985). Adapun M. Yahya Harahap berpendapat bahwa penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan oleh undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan rumah atau tempat kediaman seseorang dan untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang untuk kepentingan penyidikan agar dapat ditemukan barang bukti dan/atau tersangka (M Yahya Harahap, 2003).
Namun pada prakteknya, banyak masyarakat tidak mengetahui sistem hukum acara di Indonesia, terutama mengenai hak-hak masyarakat itu sendiri saat terbentur pada kewenangan “Upaya Paksa” yang dapat dilakukan oleh Polri, dan sering kali, ketidaktahuan masyarakat “disalahgunakan” sebagai celah bagi “oknum” Polri untuk melakukan tindakan upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan dalam hal ini diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 81 Tahun 2008 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Terkait “Upaya Paksa” yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, baru-baru ini Kantor Pengacara Bernard Kaligis membela Hak Pemohon dalam mengajukan Permohonan Praperadilan perihal Sah atau Tidaknya Tindakan Penggeledahan dan Penyitaan yang dilakukan oleh “oknum” Polri di daerah Jakarta Barat.
Pemohon merupakan masyarakat yang telah menjadi korban dari tindakan kesewenang-wenangan “oknum” Polri yang dengan sengaja mengabaikan Izin Ketua Pengadilan Setempat dalam melakukan serangkaian Tindakan Upaya Paksa Penggeledahan dan Penyitaan di kediaman Pemohon.
Terkait pembahasan tindakan Penggeledahan dan Penyitaan oleh Polri, media internasional juga sedang banyak menyorot tindakan penggeledahan dan penyitaan yang baru dialami oleh mantan presiden Amerika Serikat yaitu Donald Trump.
Kediaman pribadi Donald Trump digeledah oleh Biro Investigasi Federal (FBI) pada hari Senin, 8 Agustus 2022 waktu setempat. Dilansir dari berbagai sumber berita, dikatakan bahwa penggeledahan yang dilakukan oleh FBI tersebut telah berbekal surat penggeledahan resmi dari Pengadilan.
Di bawah Amandemen Keempat (Fourth Amendment to the United States Constitution) yang berisi larangan penggeledahan dan penyitaan yang tanpa alasan, penegak hukum, dalam kejadian ini FBI, harus menerima izin tertulis dari pengadilan, atau hakim yang memenuhi syarat, untuk secara sah melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti saat proses penyelidikan. Pengadilan memberikan izin dengan mengeluarkan surat izin yang lebih dikenal sebagai warrant. Tujuan akhir dari ketentuan ini adalah untuk melindungi hak masyarakat atas privasi dan kebebasan dari campur tangan pemerintah yang tidak wajar.
Bahwa dari kasus penggeledahan dan penyitaan yang dialami Donald Trump kita belajar jika FBI pun dalam melakukan upaya paksa geledah dan sita wajib mendapatkan izin tertulis dari Pengadilan. Hal ini juga sama dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) KUHAP menyatakan : “Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.”.
Hal ini menegaskan bahwa sebelum dilakukannya suatu penggeledahan, penyidik harus mendatangi Pengadilan Negeri setempat yang meliputi domisili dari lokasi penggeledahan, untuk menyampaikan surat permohonan izin melakukan penggeledahan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Surat izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri terbit kurang lebih 1-2 (satu sampai dengan dua) hari setelah disampaikannya permohonan.
Setelah ada izin penggeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri, barulah maka penyidik dapat melakukan penggeledahan dengan menunjukan surat perintah penggeledahan dan lampiran surat izin penggeledahan Ketua Pengadilan Negeri setempat.