Kadang,
Saat kita menemui jalan yang buntu
Kita sering terpaku pada jalan yang tertutup itu
Enggan berbalik arah
Lupa bahwa mungkin ada pemandangan indah
Di rute yang baru
Aku Raga Janitra Senandika, lelaki dengan garis wajah tegas, perpaduan darah Solo dari ibu dan Surabaya dari bapak. Aku mewarisi kulit cokelat terang dan rahang kokoh bapak yang menunjukkan karakter tegas. Sejak kelas dua Sekolah Dasar, aku tumbuh di tanah Madura, tanah garam yang keras namun penuh kehangatan, mengikuti ibuku yang menikah dengan bapak sambungku dua puluh enam tahun lalu. Bapak sambungku, laki-laki sederhana asal Semarang seorang Pegawai Negeri yang mengabdikan diri di pulau ini, hingga akhirnya jiwaku menyatu dengan nadi Madura.
Hari ini, Rabu 6 November 2024, aku duduk di kursi business class dalam penerbangan dari Surabaya ke Sumatera. Pada penerbangan kali ini, aku sengaja menginap semalam di hotel dekat Juanda agar tak perlu terburu-buru ke bandara esok paginya. Namun, rencana pagiku berantakan setelah malam yang penuh nostalgia di Istoria kafe bersama Jelita, gadis yang sembilan tahun mengisi hatiku sejak berkuliah di Surabaya, dulu.
Aku bangun terlambat dan langsung bergegas ke bandara, masih mengenakan sarung favorit yang selama ini menjadi teman setia tidurku. Sarung bercorak khas Madura yang dibelikan ibu di Pasar Sore Pamekasan saat awal tiba di Madura, aku merengek memintanya agar bisa terlihat seperti teman-teman baruku. Dengan hati yang masih berdebar karena hampir ketinggalan pesawat, aku duduk di kursiku sementara sarung yang kupakai menjadi penanda kekacauan pagi ini.
Pikiranku melayang ke malam tadi, saat Jelita yang ceria kembali hadir dalam hidupku. Kini ia akan melanjutkan studinya di Surabaya. Parasnya semakin cantik, badannya lebih berisi, berbeda dengan tahun lalu ketika perdebatan panjang yang membuat hubungan kami berakhir dalam keheningan yang pahit. Malam tadi, percakapan kami mengalir seperti arus sungai yang tenang, membawa serta kenangan yang telah lama kusimpan. Tertawanya masih sanggup membuat hatiku berdegup kencang dan sorot matanya membangkitkan perasaan yang hampir kulupakan. Namun, aku tahu, ceritaku dan Jelita tak mungkin berlanjut. Ada tembok yang terlalu tinggi untuk kugapai. Tembok yang terbentuk dari perbedaan yang tak bisa kami satukan.
Saat pesawat perlahan meninggalkan landasan, aku menatap keluar jendela, berharap angin Sumatera mampu menerbangkan pergumulan yang selama ini kupendam. Seorang pramugari mendekat. Ia terlihat ramah dengan senyum yang hangat sejenak mengalihkan pikiranku dari segala kerisauan. Matanya bertemu mataku, dengan nada lembut ia bertanya, "Mas, orang Madura ya?"
Aku tersenyum kecil, sedikit kikuk dan mengangguk. "Eh... iya, Mbak," jawabku pelan.
Baru saat itu aku tersadar masih mengenakan sarung usang dengan sandal hotel di kakiku. Ia tersenyum lebih lebar sebelum melangkah pergi, lalu berlalu meninggalkan kesan yang sulit kuabaikan. Merasa tak nyaman, aku beranjak menuju toilet untuk mengganti pakaian.
Pesawat mengudara, pikiranku mengembara. Tapi anehnya, wajah pramugari tadi terus muncul di benakku. Rambutnya dicepol rapi, senyumnya menawan dan aroma parfumnya, Black Opium menarik indera penciumanku. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka materi paparan dari tabletku tapi pandanganku terus melirik ke arah lorong, berharap ia muncul lagi.
Seolah semesta mendengar pikiranku, ia kembali lewat di depanku, membawa nampan berisi makanan dan minuman. Kali ini, aku memberanikan diri memulai percakapan.
"Mbak, saya boleh minta air mineral dingin?" tanyaku dengan senyum ramah.
"Pasti, Mas. Tunggu sebentar, ya," jawabnya dengan nada lembut sembari mengambil sebotol air mineral dingin dari keranjang troli minuman yang ia dorong.
"Terima kasih. Turun mana, Mbak?" Astaga, pertanyaan macam apa yang barusan keluar dari mulutku?
Dia tersenyum kecil, mencoba menahan tawa, lalu menjawab candaanku, "Hah..? Bisa aja Mas.."
Aku tertawa kecil, mencoba menutupi rasa canggungku, “Eh, Bercanda, Mbak. Maaf ya? Sudah sering ke Sumatera ya, Mbak?” tanyaku berusaha mengalihkan obrolan.
Ia tersenyum lagi, kali ini lebih lepas. "Pekerjaan membawa saya ke mana-mana, Mas. Kalau Mas sendiri, ini perjalanan bisnis atau liburan?"
"Mmm… Lebih ke mencari pengalaman sih, Mbak," jawabku singkat. Aku tak ingin terdengar terlalu serius.
Waktu berlalu begitu cepat, pesawat yang kutumpangi akhirnya mendarat. Aku tiba di Bandara Internasional Minangkabau, Kabupaten Padang tujuanku satu bulan ke depan. Ketika aku berjalan keluar, aku melihat pramugari cantik itu berdiri di pintu mengucapkan selamat tinggal pada para penumpang.
"Terima kasih telah terbang bersama kami. Sampai jumpa pada penerbangan kami berikutnya!", katanya saat aku melangkah keluar.
"Terima kasih, Mbak... Juwita?" jawabku sambil membaca nama yang tertera di tanda pengenalnya. Juwita tersenyum malu.
“Saya Raga, Mbak. Mari Mbak..” Aku melangkah pergi dengan senyum di wajah, setelah memperkenalkan namaku tanpa ditanya.
Di hati, muncul sebuah rasa yang sulit dijelaskan. Ah Juwita… namanya terpantul seperti gema, hampir mirip dengan sebuah nama yang melegenda dalam kisah hidupku. Jelita, nama yang belum sepenuhnya pudar dari hatiku.
Hari-hari berlalu, tapi pikiranku terngiang pada pesan yang disampaikan ibuku saat aku berpamitan, kemarin. 'Kadang, saat kita menemui sebuah jalan yang buntu, kita masih sering terpaku di ujung jalan yang tertutup itu. Enggan berbalik arah, lupa bahwa mungkin ada pemandangan indah di rute yang baru, nak!'.
Aku mencoba fokus pada pekerjaanku, menyibukkan diri dengan pekerjaan yang menuntut perhatianku penuh. Namun, di sela-sela kesibukanku, nasihat ibu itu terasa seperti sebuah desakan halus. Ia ingin aku segera menemukan wanita untuk menjadi pendamping hidupku. Bukan semata karena usiaku yang telah menginjak 33 tahun, tetapi karena ia ingin melihatku melangkah maju, menutup pintu masa lalu, dan menemukan kebahagiaanku.
Di Sumatera, aku tenggelam dalam rutinitas baruku. Langitnya berbeda, udaranya membawa aroma tanah basah. Orang-orang yang menyapa dengan logatnya mulai terasa akrab.
Suatu sore, saat aku duduk di sebuah kafe, aku melihat seseorang yang tak asing memasuki ruangan bersama dua temannya. Itu Juwita.
Aku hampir tak percaya. Bagaimana mungkin dunia ini begitu kecil? Aku ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menyapanya.
"Mbak Juwita?" panggilku pelan.
Ia menoleh, matanya membesar saat mengenaliku, "Mass..?” jawabnya sembari mengingat-ingat namaku.
“Raga, Mbak.” kataku dengan senyum kecil.
Ia tertawa pelan. "Oh iya, Mas Raga. Apa kabar?" tanyanya dengan suara yang terdengar lebih lembut daripada yang kuingat.
Aku mengangguk dan menjawab singkat, "Baik, Mbak. Senang bisa ketemu lagi."
Kami pun duduk bersama, berbincang tentang banyak hal. Dari percakapan itu, aku mengetahui bahwa ternyata ia adalah gadih Minang dan sedang libur beberapa hari. Ia pun bersedia mengajakku menjelajahi kota ini. Aku merasa seperti menemukan sahabat meski kami baru saja bertemu.
Setelah pertemuan itu, Juwita mengajakku melihat keindahan Sumatera dari beberapa tempat yang kami kunjungi. Aku menikmati setiap sudut kota yang kini mulai terasa lebih hidup.
Hari-hari berlalu dengan cepat, hingga akhirnya kami menjadi semakin dekat. Kami berbincang tentang hidup, tentang masa lalu yang perlahan kami lepaskan. Juwita, dengan caranya yang berbeda, membuat setiap momen terasa lebih berarti. Percakapan kami terasa begitu menyenangkan, hanya canda dan tawa yang mengisi ruang di antara kami. Namun, aku merasa ada beban yang tak bisa kujelaskan.
Suatu malam, sambil menikmati Obor Light Dinner di pinggir pantai Padang. Udara malam yang menyentuh kulit kami, tidak begitu terasa dingin karena di sekeliling kami api obor berkedip-kedip. Suara deburan ombak yang lembut dan cahaya bulan memantul di permukaan laut. Kali ini rambutnya yang biasa dicepol ia biarkan tergerai bebas, menari-nari mengikuti hembusan angin laut. Juwita dengan gaun maroon panjang tampak anggun duduk di depanku, matanya menatap bintang-bintang di langit, lalu perlahan melihatku. "Mas Raga, apa yang kamu cari?" tanyanya dengan suara lembut, hampir seperti sebuah bisikan.
Aku terdiam, mempertimbangkan jawabanku. Apa yang sebenarnya aku cari? Pengalaman? Kesenangan? Pelarian? Aku seperti mencari tanpa tahu apa yang sudah hilang.
"Eee.. Aku... aku mencari kedamaian," jawabku akhirnya, sedikit serak, "dan mungkin, aku juga mencari seseorang yang memberi support di hidupku." sambungku lagi.
Juwita tersenyum. Aku menyadari sudah terlalu lama terjebak dalam bayangan masa lalu, menggenggam kenangan yang sudah waktunya untuk kulepaskan. Aku ingin melangkah dan membuka mata pada harapan baru.
Malam itu, setelah percakapan yang penuh makna. Aku tahu, aku harus membuka hati, memberi kesempatan untuk diriku sendiri. Meskipun masih ragu, tapi seperti yang selalu dikatakan ibuku, ‘Mungkin ada pemandangan indah di jalan yang baru.’ Dan bisa jadi, jalan baru itu ada di hadapanku sekarang, menunggu untuk kutempuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H