"Mmm… Lebih ke mencari pengalaman sih, Mbak," jawabku singkat. Aku tak ingin terdengar terlalu serius.
Waktu berlalu begitu cepat, pesawat yang kutumpangi akhirnya mendarat. Aku tiba di Bandara Internasional Minangkabau, Kabupaten Padang tujuanku satu bulan ke depan. Ketika aku berjalan keluar, aku melihat pramugari cantik itu berdiri di pintu mengucapkan selamat tinggal pada para penumpang.
"Terima kasih telah terbang bersama kami. Sampai jumpa pada penerbangan kami berikutnya!", katanya saat aku melangkah keluar.
"Terima kasih, Mbak... Juwita?" jawabku sambil membaca nama yang tertera di tanda pengenalnya. Juwita tersenyum malu.
“Saya Raga, Mbak. Mari Mbak..” Aku melangkah pergi dengan senyum di wajah, setelah memperkenalkan namaku tanpa ditanya.
Di hati, muncul sebuah rasa yang sulit dijelaskan. Ah Juwita… namanya terpantul seperti gema, hampir mirip dengan sebuah nama yang melegenda dalam kisah hidupku. Jelita, nama yang belum sepenuhnya pudar dari hatiku.
Hari-hari berlalu, tapi pikiranku terngiang pada pesan yang disampaikan ibuku saat aku berpamitan, kemarin. 'Kadang, saat kita menemui sebuah jalan yang buntu, kita masih sering terpaku di ujung jalan yang tertutup itu. Enggan berbalik arah, lupa bahwa mungkin ada pemandangan indah di rute yang baru, nak!'.
Aku mencoba fokus pada pekerjaanku, menyibukkan diri dengan pekerjaan yang menuntut perhatianku penuh. Namun, di sela-sela kesibukanku, nasihat ibu itu terasa seperti sebuah desakan halus. Ia ingin aku segera menemukan wanita untuk menjadi pendamping hidupku. Bukan semata karena usiaku yang telah menginjak 33 tahun, tetapi karena ia ingin melihatku melangkah maju, menutup pintu masa lalu, dan menemukan kebahagiaanku.
Di Sumatera, aku tenggelam dalam rutinitas baruku. Langitnya berbeda, udaranya membawa aroma tanah basah. Orang-orang yang menyapa dengan logatnya mulai terasa akrab.
Suatu sore, saat aku duduk di sebuah kafe, aku melihat seseorang yang tak asing memasuki ruangan bersama dua temannya. Itu Juwita.
Aku hampir tak percaya. Bagaimana mungkin dunia ini begitu kecil? Aku ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menyapanya.