Saat pesawat perlahan meninggalkan landasan, aku menatap keluar jendela, berharap angin Sumatera mampu menerbangkan pergumulan yang selama ini kupendam. Seorang pramugari mendekat. Ia terlihat ramah dengan senyum yang hangat sejenak mengalihkan pikiranku dari segala kerisauan. Matanya bertemu mataku, dengan nada lembut ia bertanya, "Mas, orang Madura ya?"
Aku tersenyum kecil, sedikit kikuk dan mengangguk. "Eh... iya, Mbak," jawabku pelan.
Baru saat itu aku tersadar masih mengenakan sarung usang dengan sandal hotel di kakiku. Ia tersenyum lebih lebar sebelum melangkah pergi, lalu berlalu meninggalkan kesan yang sulit kuabaikan. Merasa tak nyaman, aku beranjak menuju toilet untuk mengganti pakaian.
Pesawat mengudara, pikiranku mengembara. Tapi anehnya, wajah pramugari tadi terus muncul di benakku. Rambutnya dicepol rapi, senyumnya menawan dan aroma parfumnya, Black Opium menarik indera penciumanku. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka materi paparan dari tabletku tapi pandanganku terus melirik ke arah lorong, berharap ia muncul lagi.
Seolah semesta mendengar pikiranku, ia kembali lewat di depanku, membawa nampan berisi makanan dan minuman. Kali ini, aku memberanikan diri memulai percakapan.
"Mbak, saya boleh minta air mineral dingin?" tanyaku dengan senyum ramah.
"Pasti, Mas. Tunggu sebentar, ya," jawabnya dengan nada lembut sembari mengambil sebotol air mineral dingin dari keranjang troli minuman yang ia dorong.
"Terima kasih. Turun mana, Mbak?" Astaga, pertanyaan macam apa yang barusan keluar dari mulutku?
Dia tersenyum kecil, mencoba menahan tawa, lalu menjawab candaanku, "Hah..? Bisa aja Mas.."
Aku tertawa kecil, mencoba menutupi rasa canggungku, “Eh, Bercanda, Mbak. Maaf ya? Sudah sering ke Sumatera ya, Mbak?” tanyaku berusaha mengalihkan obrolan.
Ia tersenyum lagi, kali ini lebih lepas. "Pekerjaan membawa saya ke mana-mana, Mas. Kalau Mas sendiri, ini perjalanan bisnis atau liburan?"