Mahasiswa rantau yang tinggal di kos, asrama, atau apartemen menghadapi banyak tantangan dalam menjalani hidup mandiri yang jauh dari keluarga. Di tengah keinginan gaya hidup modern dan kemudahan dalam belanja online, mengelola keuangan dengan bijak merupakan salah satu tantangan utama. Dengan status sebagai 'pengatur keuangan' pribadi, mahasiswa rantau harus mampu mengatur pemasukan dan pengeluaran dengan cermat dan teliti. Namun, di tengah godaan gaya hidup modern, fenomena konsumtif menjadi masalah yang sering kali sulit dihindari. Pola konsumtif ini terjadi pada seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali mahasiswa, perbedaan pola konsumsi antara mahasiswa perkotaan dan mahasiswa perantauan dapat terlihat dengan jelas, mahasiswa perantauan terpantau akan lebih konsumtif dibandingkan mahasiswa perkotaan (mahasiswa yang tidak sedang merantau). Hal ini dikarenakan banyak faktor antara lain faktor persediaan pangan, gaya hidup, psikologis hingga faktor sosial. Saat merantau, mahasiswa perantauan cenderung lebih sering menghabiskan waktunya diluar kos dan beraktivitas diluar kos, baik sekadar nongkrong bersama teman yang juga sedang merantau maupun sekedar keluar sendiri untuk mengusir kebosanan. Hal tersebut secara langsung membuat mereka berperilaku lebih konsumtif. Karena dampaknya yang signifikan terhadap keuangan dan kesejahteraan psikologis, fenomena perilaku konsumtif di kalangan mahasiswa harus diperhatikan.
Faktor-faktor yang Memicu Mahasiswa Rantau Rentan terhadap Perilaku Konsumtif
1. Adanya Godaan Promo dan Potongan Harga dari Platform Belanja Online
Platform belanja online seperti e-commerce dan aplikasi pengiriman makanan sering kali membombardir pengguna dengan promo menarik, diskon besar-besaran, dan potongan harga yang menggoda. Sebagai mahasiswa rantau yang sebagian besar mengandalkan internet dalam aktivitas sehari-hari, notifikasi promo ini menjadi daya tarik yang sulit dihindari. Tanpa disadari, barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan pun dibeli hanya karena ada label "Diskon 50% s.d 99%" atau "Gratis Ongkir" . Melalui godaan ini, mahasiswa rantau sulit untuk memprioritaskan mana yang merupakan kebutuhan atau hanya sekadar keinginan. Kebiasaan ini membuat pengeluaran yang semula dapat terkontrol hingga akhirnya menjadi boros dan tidak terkontrol.
2. Tekanan Sosial dan Fenomena FOMO
Tekanan sosial yang dipicu oleh rasa takut ketinggalan tren atau Fear of Missing Out (FOMO) turut menjadi pemicu perilaku konsumtif. Mahasiswa rantau cenderung terpengaruh oleh gaya hidup teman sekos atau teman kampus yang memiliki barang-barang terbaru, seperti gadget, pakaian kekinian, kebiasaan mengunjungi kafe populer, atau bahkan sekadar makanan yang sedang viral di kantin hingga muncul perasaan ingin ikut-ikutan. Mahasiswa rantau yang tidak ingin terlihat 'ketinggalan zaman' cenderung mengikuti gaya hidup tersebut, meskipun harus mengorbankan keuangan bulanan yang semulanya sudah diatur dengan baik. Tekanan sosial ini kerap diperkuat oleh dorongan media sosial yang memperlihatkan kehidupan serba 'wah' dari orang-orang seusia mereka.
3. Kemudahan Metode Pembayaran dan Sistem 'Paylater'
Metode pembayaran digital dan fitur "paylater" atau beli sekarang bayar nanti menjadi salah satu penyebab meningkatnya perilaku konsumtif. Fitur pembayaran digital atau e-money memudahkan mereka untuk tetap cashless, dengan fitur tersebut mereka merasa bahwa pengeluaran tunainya menjadi lebih hemat. Namun, dengan fitur tersebut, mahasiswa malah menjadi semakin boros karena tiba-tiba telah muncul notifikasi 'pembayaran anda telah berhasil' dengan tidak merasa bahwa hal tersebut termasuk pengeluaran yang mungkin bisa saja tidak terlalu dibutuhkan. Fitur paylater memberikan fleksibilitas dalam pembelian, tetapi juga dapat menjadi pedang bermata dua. Mahasiswa rantau yang merasa uang bulanannya sudah menipis bisa dengan mudah memanfaatkan fitur ini untuk membeli barang tanpa membayar secara langsung. Namun fitur ini memungkinkan mahasiswa untuk menunda pembayaran yang membuat mereka kerap lupa bahwa tagihan tersebut akan menumpuk di bulan berikutnya. Akibatnya, mereka terjebak dalam siklus utang yang sulit diputus.
4. Keinginan untuk Memanjakan Diri Setelah Lelah Berkuliah
Perasaan lelah setelah menjalani aktivitas perkuliahan seharian sering kali membuat mahasiswa rantau merasa "butuh penghargaan". Bentuk penghargaan ini biasa disebut sebagai “self reward” oleh kalangan muda yang biasanya berupa memesan makanan enak lewat aplikasi pengiriman, membeli minuman atau makanan yang sedang viral, atau sekadar membeli barang-barang yang diinginkan. Meskipun hal ini wajar, kebiasaan memanjakan diri ini bisa berakibat fatal jika dilakukan terlalu sering. Pengelolaan uang bulanan yang buruk dapat menyebabkan kehabisan dana sebelum akhir bulan. Uang bulanan yang seharusnya cukup hingga akhir bulan bisa-bisa habis begitu saja di minggu kedua atau kurang dari satu bulan.
Dampak Perilaku Konsumtif
1. Keuangan yang Tidak Stabil
Dampak yang paling terasa dari gaya hidup konsumtif adalah tidak stabilnya kondisi keuangan. Di awal bulan, mahasiswa rantau mungkin merasa memiliki banyak uang. Namun, jika pengeluarannya tidak terkontrol, di tengah atau akhir bulan mereka mulai mengalami krisis keuangan. Hal ini memaksa mereka untuk meminta kiriman tambahan dari orang tua, menggunakan aplikasi paylater, atau bahkan berhutang kepada teman mereka. Ketidakstabilan keuangan ini dapat memengaruhi kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
2. Menurunnya Kesejahteraan Psikologis
Ketidakstabilan keuangan akibat kebiasaan konsumtif bisa berdampak pada kesehatan mental mahasiswa rantau. Stres karena uang yang menipis atau tagihan paylater yang membengkak bisa memengaruhi fokus dan konsentrasi dalam belajar mahasiswa rantau. Alih-alih tenang, mereka malah dipenuhi kecemasan setiap kali notifikasi tagihan muncul. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berdampak buruk pada performa akademik.
3. Terjebak dalam Lingkaran Utang
Sistem pembayaran "paylater" seringkali menjebak mahasiswa rantau dalam lingkaran utang ketika mereka menggunakannya secara berulang tanpa perencanaan yang matang. Mereka merasa bisa bernapas lega saat menggunakan fitur ini, padahal mereka hanya menunda masalah keuangan. Setiap bulan, tagihan yang harus dibayar bertambah, sehingga mahasiswa harus mencari sumber dana tambahan. Ketika utang tidak dapat dibayar, mereka cenderung kembali menggunakan layanan paylater untuk kebutuhan lainnya. Pola ini terus berulang dan semakin sulit dihentikan.
4. Prioritas Kebutuhan Menjadi Berantakan
Mahasiswa rantau sering kali mengalami kebingungan dalam menentukan prioritas kebutuhan. Perilaku konsumtif menyebabkan prioritas kebutuhan menjadi kacau. Uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan primer, seperti biaya makan, keperluan kuliah, dan kebutuhan pokok lainnya malah dihabiskan untuk kebutuhan sekunder atau tersier, seperti barang elektronik, fashion, hiburan, atau makanan viral kekinian. Jika kebiasaan ini terus terjadi, mahasiswa rantau akan kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Akibatnya, mereka harus berhemat di akhir bulan dan terpaksa mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan pokok.
Solusi untuk Menghindari Perilaku Konsumtif
1. Membuat Rencana Anggaran Bulanan
Pembuatan rencana anggaran bulanan merupakan langkah awal yang penting untuk mengontrol pengeluaran. Sebagai mahasiswa rantau, penting untuk membuat rencana anggaran bulanan. Tentukan alokasi uang untuk kebutuhan utama seperti biaya kos, makan, transportasi, dan keperluan kuliah. Sisihkan pula dana darurat sebagai cadangan untuk situasi yang tidak terduga. Dengan adanya anggaran, mahasiswa dapat mengontrol pengeluaran mereka secara lebih terstruktur dan membuat mahasiswa bisa lebih disiplin dalam mengatur keuangan.
2. Menghindari Belanja Impulsif
Belanja impulsif dapat dihindari dengan menghapus ataupun sekadar meminimalisir aplikasi belanja online dari Handphone. Sebelum membeli sesuatu pastikan untuk tanya pada diri sendiri apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan saat ini, Jika jawabannya tidak, sebaiknya tunda saja pembeliannya. Pendekatan ini membantu mahasiswa menunda keputusan pembelian yang tidak mendesak. Selain itu, hindari membuka aplikasi belanja online saat sedang bosan, karena kebosanan sering kali mendorong perilaku belanja yang impulsif.
3. Membatasi Penggunaan Paylater dan Kartu Kredit
Meskipun fitur paylater memberikan kemudahan, mahasiswa perlu membatasi penggunaannya. Fitur ini mungkin terlihat membantu, tetapi sebenarnya bisa menjadi jebakan untuk mereka. Gunakan fitur ini hanya dalam situasi darurat dengan catatan bahwa mereka memiliki kapasitas untuk membayar tagihan tersebut di bulan berikutnya dan usahakan untuk membayar tagihan tepat waktu agar tidak terkena bunga atau denda. Jangan jadikan paylater sebagai sumber utama pembiayaan bulanan. Dengan cara ini, mahasiswa dapat menghindari penumpukan utang yang berisiko mengganggu stabilitas keuangan mereka.
4. Memprioritaskan Pengalaman daripada Barang
Memilih pengalaman daripada barang adalah salah satu cara untuk mengurangi perilaku konsumtif. Daripada menghabiskan uang untuk membeli barang, mahasiswa rantau bisa memilih menghabiskan waktu dengan kegiatan produktif. Misalnya, mengikuti kegiatan kampus, bergabung dengan komunitas, atau melakukan aktivitas fisik seperti olahraga. Daripada membeli baju baru setiap bulan, mahasiswa bisa menggunakan uang tersebut untuk mengikuti seminar yang meningkatkan keterampilan mereka. Pengalaman ini tidak hanya lebih hemat, tetapi juga lebih bermakna dan bermanfaat untuk pengembangan diri yang tentunya memberikan manfaat jangka panjang yang lebih besar dibandingkan membeli barang yang hanya memberikan kepuasan sesaat.
5. Mempraktikkan Gaya Hidup Minimalis
Gaya hidup minimalis mengajarkan kita untuk hanya memiliki barang-barang yang benar-benar dibutuhkan. Menerapkan gaya hidup minimalis dapat membantu mahasiswa untuk lebih selektif dalam membeli barang. Mahasiswa rantau dapat mengadopsi gaya hidup ini dengan mengurangi pembelian barang-barang yang kurang penting dan tidak terlalu dibutuhkan. Dengan begitu, mereka dapat lebih menghargai kualitas daripada kuantitas dalam hidup mereka.
Kesimpulan
Perilaku konsumtif di kalangan mahasiswa rantau yang berjuang sedang berjuang untuk pendidikan bukan hanya menjadi masalah sepele. Tekanan sosial, godaan diskon online, serta kemudahan akses metode pembayaran membuat mahasiswa rentan terhadap kebiasaan ini. Dampaknya meliputi ketidakstabilan keuangan, kesejahteraan psikologis yang terganggu, serta prioritas kebutuhan yang tidak teratur. Namun, masalah ini bisa diatasi dengan membuat anggaran keuangan, menghindari belanja impulsif, dan menerapkan gaya hidup minimalis. Sebagai mahasiswa rantau, pengelolaan keuangan yang bijak tidak hanya membantu menghindari krisis keuangan di akhir bulan, tetapi juga mengasah keterampilan hidup yang tentu sangat bermanfaat dan menjadi bekal di masa depan. Oleh karena itu, mulailah berlatih dari sekarang untuk membedakan mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang hanya sekadar keinginan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H