Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kisah Ibu Muda yang Kena Mental Usai Persalinan

12 Agustus 2023   12:20 Diperbarui: 12 Agustus 2023   14:30 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MASA-masa awal usai persalinan tidaklah mudah bagi seorang ibu muda. Entah ini dirasakan semua ibu atau tidak, tetapi saya merasakan itu 15 tahun silam. 

Kala itu saya baru melahirkan anak pertama. Melahirkan secara normal tanpa kendala berarti sungguh anugerah yang luar biasa. Anak saya pun lahir sehat, dengan berat 3 kg dan panjang 48 cm. 

Mengingat susah payahnya melewati masa kehamilan, lega rasanya setelah persalinan. Empat bulan awal kehamilan merupakan masa paling berat buat saya. Kondisi tubuh drop.

Rasa mual yang terus-menerus sepanjang hari membuat tubuh lemas. Selera makan pun hilang. Kondisi saya saat itu persis seperti orang sedang sakit. 

Kondisi mulai membaik ketika masuk bulan ke lima kehamilan. Mual-mual mulai hilang. Meskipun masih pilih-pilih makanan, tetapi selera makan sudah ada. 

Itu sebabnya bersyukur mampu mengakhiri masa kehamilan lewat persalinan normal. Terlebih suami dengan setia menemani selama proses persalinan tersebut.

Saat itu saya belum menyadari bahwa persalinan barulah permulaan. Permulaan dari sebuah proses yang tidak mudah untuk menjadi sseorang ibu. 

Hari pertama kami membawa bayi kami pulang ke rumah, kami benar-benar hanya bertiga. Saya, suami, dan bayi kami. Sudah risiko hidup merantau jauh dari orang tua.

Pada hari pertama itu, saya seperti orang bingung. Pengetahuan saya tentang merawat bayi benar-benar nol. 

Saya tidak tahu cara memakaikan pampers. Saya tidak tahu tanda-tanda bayi lapar. Saya bahkan tidak tahu kalau air susu saya ternyata belum keluar sedikitpun. 

Sebelumnya, selama menginap di rumah bersalin, saya tidak repot. Semua urusan bayi diambil alih bidan yang merawat. 

Di tempat bersalin pula, bidan mengajari saya cara menyusui bayi. Saya juga sudah mempraktikkannya beberapa kali. 

Dalam pikiran polos saya saat itu, ASI hanya akan keluar kalau bayi mengisap puting payudara ibu. Kalau nggak, ya nggak keluar. 

Dalam pikiran bodoh saya kala itu, ASI tuh kayak angin. Bisa dirasakan, tetapi tidak bisa dilihat. Du.. du.. duu.. dapat ilham dari mana sampai berpikir seperti itu. Ternyata, bukan kasat mata, memang ASI saya yang belum keluar. Hadeuh... 

Ilustrasi (Sumber: Freepik.com/JCOM (via Kompas.com)
Ilustrasi (Sumber: Freepik.com/JCOM (via Kompas.com)

Yang anehnya, tidak ada satupun yang menginformasikan hal itu kepada saya. Bahkan bidan pun tidak. Itu pula ternyata sebabnya, selama menginap di tempat bersalin, bidan lebih banyak memberi susu formula kepada bayi kami.

Selama kehamilan, sebenarnya saya sudah membaca beberapa buku tentang cara merawat bayi. Namun, ternyata pengetahuan yang saya dapatkan masih jauh dari cukup. Selain itu, praktik tidaklah semudah teorinya. 

Pantas saja, sepanjang siang setelah kami pulang dari rumah bersalin, bayi saya terus menangis. Saya bingung kenapa. Saya merasa sudah menyusuinya, tapi kenapa masih menangis. 

"Mungkin lapar. Dibikinkan susu formula saja," itu kata bidan ketika saya menghubunginya. 

Benar saja, ketika diberi susu formula, bayi saya melahapnya dengan rakus. Kelaparan banget sepertinya. 

Sore harinya, seorang bude datang menjenguk kami. Ketika itu bude turut melihat ketika saya berusaha memberi ASI pada bayi kami. 

"Air susu kamu itu nggak keluar," tiba-tiba bude berujar spontan.

"Keluar kok, Bude," Jawab saya ngeyel.

"Keluar apa? Wong susunya nggak ada gitu kok," bude menekankan lagi. 

Saat itulah saya baru ngeh. Sepertinya bude benar. ASI saya memang sepertinya belum keluar. Makanya, anak saya menangis sepanjang siang.

Jadi, selama dua hari, anak saya cuma "belajar" menyusu, tanpa ada air susu yang diminum. Duhh... Pantas saja, sekitar puting payudara kering, tidak ada tanda-tanda lembab oleh karena air susu yang keluar. 

Hingga malam harinya, ASI tetap belum keluar. Mau tidak mau, sementara waktu anak saya jadi anaknya ibu sapi, heuheu... 

Masuk hari ke tiga usai bersalin, barulah ASI mulai keluar. Memang belum banyak, tetapi saya senang sekali. Akhirnya anak saya merasakan juga air susu ibunya. 

Kesulitan membagi waktu di tengah badan yang lelah, dan beban yang menumpuk

Ketika ASI mulai keluar lancar, masalah baru pun muncul. Menyusui bayi tidak bisa sebentar. Sementara, pekerjaan rumah tangga sudah menanti untuk segera ditangani.

Cucian segunung, piring kotor menumpuk, rumah berantakan, belum lagi harus berbelanja dan memasak.

Keberadaan suami memang sangat membantu. Cuma masalahnya, suami harus kembali bekerja. Suami hanya mendapat libur empat hari menemani saya melahirkan. Hari-hari selanjutnya saya hanya berdua dengan anak saya, dari pagi hingga malam hari.

Setiap bangun pagi saya sudah seperti orang linglung. Bingung mau memulai dari mana. Pekerjaan rumah tangga bertumpuk, bayi menangis minta nyusu, sementara saya belum masak dan belum sarapan pula. Bagaimana mau menyusui, kalau perut saya sendiri belum terisi.

Belum lagi saya harus menjemur bayi, masak air untuk mandi, lalu memandikan bayi.

Selain itu, kondisi saya saat bangun pagi seringkali tidak segar. Jam tidur yang kacau balau karena hampir sepanjang malam terjaga, juga karena kurangnya istirahat, membuat saya merasa lemas di pagi hari. Haaahhh... mau teriak rasanya.

Sampai satu pagi, saya menangis di depan suami yang hendak berangkat kerja. Rasanya sudah tidak tertahankan lagi. Kena mental, kata anak jaman now.

Akan tetapi, di balik itu saya masih bersyukur memiliki suami yang begitu pengertian. Sebenarnya saya yakin suami tidak memahami stres yang saya rasakan. Hanya saja, kalimat-kalimat menghibur yang disampaikannya dengan lemah lembut begitu menguatkan saya. 

Saat malam hari, meski mengantuk, suami pun mau bangun menemani saya mennyusui bayi kami. Suami juga tidak sungkan-sungkan mengganti popok bayi. Juga membersihkan pantat bayi setelah pup.

Bahkan suami tidak tega membangunkan saya kalau hanya sekadar ganti popok. Seakan mengerti kelelahan saya, suami sebisa mungkin mengambil alih peran saya pada malam hari. 

Payudara sakit

Pada beberapa minggu awal, proses menyusui sangat tidak enak. Sakitnya luar biasa.

Payudara saya sampai berdarah-darah karemanya. Ternyata, meski belum ada gigi, gusi bayi itu pun sudah seperti gigi menggigit.

Itu sebabnya, setiap kali hendak menyusui, saya harus bersiap diri terlebih dahulu. Tahan nafas, pegangan erat pada sesuatu, entah lengan kursi atau dinding, dan setelah siap baru memberikan puting pada bayi. Duuh, rasanya seperti diiris-iris.

Malaikat penolong datang

Kurang dari satu bulan usai persalinan, malaikat penolong saya datang. Ibu mertua tercinta datang dari Blitar.

Satu bulan lamanya ibu mertua bersama kami. Selama itu pula ibu mertua mengambil alih tugas-tugas rumah tangga. Mencuci, berbelanja, dan memasak, ibu mertua yang mengerjakan. Tugas saya hanya membersihkan rumah dan merawat bayi.

Sekalipun kehadiran ibu mertua hanya satu bulan bersama kami, tetapi bantuannya tidak terhingga. Saya jadi punya waktu cukup untuk beristirahat, bisa kembali menata mental, mengembalikan kewarasan, serta belajar membagi waktu antara bayi dan pekerjaan rumah tangga.

***

Berkaca dari pengalaman di atas, dapat diambil kesimpulan betapa seorang ibu yang baru melahirkan dan ibu yang masih menberi ASI pada bayinya sangat memerlukan support system. 

Membutuhkan pendampingan

Ibu-ibu yang baru melahirkan dan memberikan ASI perlu pendampingan. Terlebih lagi ibu-ibu muda yang baru melahirkan anak pertama. 

Jangan pernah membiarkan mereka menghadapi masalahnya sendiri. Jangan menganggap remeh situasi yang mereka hadapi. Jangan memandang sepele kesehatan mental mereka.

Mereka baru saja melewati masa kehamilan yang sulit. Lalu, melewati proses persalinan yang mungkin juga sulit, normal ataupun operasi. Kemudian, harus dihadapkan pada bayi mungil yang meskipun kecil tapi membutuhkan perhatian nyaris 24 jam.

Tanpa pengalaman, jam tidur yang tiba-tiba berantakan, badan lelah, payudara sakit, serta tuntutan pekerjaan rumah tangga yang tidak ada habisnya, bisa membuat mental jungkir balik. 

Belum lagi kalau harus menghadapi lingkungan atau kerabat yang usil. Karena ada saja orang yang suka mengatur dan sok mengajari tetapi tidak mau turun tangan membantu.

Lalu, ada pula yang suka menghakimi. Kemudian membanding-bandingkan dengan ibu-ibu lainnya yang bisa menghandle semuanya sendiri.

Setiap ibu berbeda. Kondisi kesehatan berbeda, Kondisi fisik dan mental berbeda, termasuk kondisi lingkungan pun berbeda. Itu sebabnya, proses adaptasi mereka pun berbeda-beda.

Oleh karena itu, ayo suami, orang tua, mertua, kakak, adik, atau kerabat yang bisa membantu, dukung dan bantulah ibu-ibu muda ini.

Sebisa mungkin ada anggota keluarga atau seseorang yang khusus mengambil alih pekerjaan rumah tangga. Hanya untuk sementara waktu. Paling tidak, selama beberapa minggu awal, sampai kondisi fisik dan mental si ibu benar-benar kuat.

Perlu juga ada anggota keluarga yang khusus memperhatikan asupan malanan dan gizi ibu menyusui ini. Karena apa? Karena ibu membutuhkan asupan gizi seimbang untuk memulihkan stamina usai persalinan. Tidak hanya itu, ibu harus berbagi makanan dengan bayinya melalui pemberian ASI.

Peran suami juga tidak kaleng-kaleng. Suami wajib hukumnya turun tangan, bekerja sama dengan istri. Jangan lupa berikan perhatian, kasih sayang dan dukungan motivasi terus-menerus. Tanpa itu semua, ibu-ibu muda bisa stres, bahkan bisa berakhir dengan depresi. 

Membutuhkan edukasi

Ibu-ibu muda yang baru melahirkan maupun yang sedang memberikan ASI memerlukan edukasi. Akan lebih baik jika pemberian edukasi dimulai sejak masa kehamilan.

Diantaranya edukasi perihal kehamilan, edukasi perihal persalinan, edukasi menghadapi situasi usai persalinan, perihal seputar ASI, merawat bayi, kiat memulihkan dan menjaga kondisi fisik dan mental usai melahirkan, serta  edukasi lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut.

Edukasi bukan hanya diperuntukkan bagi ibu, tetapi juga kepada para suami. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan kepedulian suami sekaligus ayah bayi terhadap kondisi yang sedang istri hadapi. 

Edukasi bisa bersumber dari mana saja. Dari orang tua yang sudah lebih dulu berpengalaman, dari kerabat, teman, kakek, nenek, terlebih bidan, perawat, dan dokter. Edukasi juga bisa didapatkan melalui bacaan buku-buku atau situs-situs kesehatan. 

Untuk itu, dibutuhkan peran semua pihak termasuk ibu yang bersangkutan untuk menyukseskan hal tersebut.

Terlebih tenaga kesehatan, sangat besar peran yang bisa dimainkan. Ilmu yang menurut anda sederhana dan tidak penting, mungkin saja sangat penting dan berarti bagi ibu-ibu muda ini.

Oleh sebab itu, jangan malas dan jangan pernah bosan mengamalkan dan membagikan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun