"Air susu kamu itu nggak keluar," tiba-tiba bude berujar spontan.
"Keluar kok, Bude," Jawab saya ngeyel.
"Keluar apa? Wong susunya nggak ada gitu kok," bude menekankan lagi.Â
Saat itulah saya baru ngeh. Sepertinya bude benar. ASI saya memang sepertinya belum keluar. Makanya, anak saya menangis sepanjang siang.
Jadi, selama dua hari, anak saya cuma "belajar" menyusu, tanpa ada air susu yang diminum. Duhh... Pantas saja, sekitar puting payudara kering, tidak ada tanda-tanda lembab oleh karena air susu yang keluar.Â
Hingga malam harinya, ASI tetap belum keluar. Mau tidak mau, sementara waktu anak saya jadi anaknya ibu sapi, heuheu...Â
Masuk hari ke tiga usai bersalin, barulah ASI mulai keluar. Memang belum banyak, tetapi saya senang sekali. Akhirnya anak saya merasakan juga air susu ibunya.Â
Kesulitan membagi waktu di tengah badan yang lelah, dan beban yang menumpuk
Ketika ASI mulai keluar lancar, masalah baru pun muncul. Menyusui bayi tidak bisa sebentar. Sementara, pekerjaan rumah tangga sudah menanti untuk segera ditangani.
Cucian segunung, piring kotor menumpuk, rumah berantakan, belum lagi harus berbelanja dan memasak.
Keberadaan suami memang sangat membantu. Cuma masalahnya, suami harus kembali bekerja. Suami hanya mendapat libur empat hari menemani saya melahirkan. Hari-hari selanjutnya saya hanya berdua dengan anak saya, dari pagi hingga malam hari.