Setiap bangun pagi saya sudah seperti orang linglung. Bingung mau memulai dari mana. Pekerjaan rumah tangga bertumpuk, bayi menangis minta nyusu, sementara saya belum masak dan belum sarapan pula. Bagaimana mau menyusui, kalau perut saya sendiri belum terisi.
Belum lagi saya harus menjemur bayi, masak air untuk mandi, lalu memandikan bayi.
Selain itu, kondisi saya saat bangun pagi seringkali tidak segar. Jam tidur yang kacau balau karena hampir sepanjang malam terjaga, juga karena kurangnya istirahat, membuat saya merasa lemas di pagi hari. Haaahhh... mau teriak rasanya.
Sampai satu pagi, saya menangis di depan suami yang hendak berangkat kerja. Rasanya sudah tidak tertahankan lagi. Kena mental, kata anak jaman now.
Akan tetapi, di balik itu saya masih bersyukur memiliki suami yang begitu pengertian. Sebenarnya saya yakin suami tidak memahami stres yang saya rasakan. Hanya saja, kalimat-kalimat menghibur yang disampaikannya dengan lemah lembut begitu menguatkan saya.Â
Saat malam hari, meski mengantuk, suami pun mau bangun menemani saya mennyusui bayi kami. Suami juga tidak sungkan-sungkan mengganti popok bayi. Juga membersihkan pantat bayi setelah pup.
Bahkan suami tidak tega membangunkan saya kalau hanya sekadar ganti popok. Seakan mengerti kelelahan saya, suami sebisa mungkin mengambil alih peran saya pada malam hari.Â
Payudara sakit
Pada beberapa minggu awal, proses menyusui sangat tidak enak. Sakitnya luar biasa.
Payudara saya sampai berdarah-darah karemanya. Ternyata, meski belum ada gigi, gusi bayi itu pun sudah seperti gigi menggigit.
Itu sebabnya, setiap kali hendak menyusui, saya harus bersiap diri terlebih dahulu. Tahan nafas, pegangan erat pada sesuatu, entah lengan kursi atau dinding, dan setelah siap baru memberikan puting pada bayi. Duuh, rasanya seperti diiris-iris.