Perpisahan orangtua menjadi sebuah tragedi bagi anak. Tragedi yang akan menimbulkan sakit dan luka mendalam. Kalaupun akhirnya luka itu kering dan sembuh, ingatan akan luka itu tidak akan pernah hilang.Â
Benar! Setiap orang punya hak menentukan jalan hidupnya. Termasuk memiliki hak memilih untuk bercerai dari pasangannya.Â
Namun, saya rasa saya juga perlu mengungkapkan sedikit fakta terkait perceraian. Dimana saya melihat langsung dari dekat bagaimana perceraian tidak membawa dampak positif apapun pada anak.Â
Perceraian orangtua memorakporandakan kehidupan anak
Seorang keponakan saya adalah produk broken home, orangtua yang bercerai. Sebut saja namanya Jesika.Â
Usia Jesika masih 7 tahun ketika kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah.Â
Masih terpateri jelas dalam ingatan saya bagaimana proses tersebut terjadi. Bagaimana tragedi perpisahan kedua orangtua Jesika akhirnya memmorakporandakan kehidupan Jesika kecil yang semula penuh bintang-bintang, amat bahagia.
Usai kedua orangtuanya sepakat berpisah, Jesika langsung dibawa ke rumah kami. Ayahnya menitipkan Jesika untuk tinggal bersama saya dan kakak perempuan saya.Â
Saya tidak tahu bagaimana kesepakatan ayah dan ibu Jesika, hingga Jesika diambil ayahnya. Saya juga tidak tahu apa isi pembicaraan antara ayah Jesika dan kakak saya sehingga Jesika dibawa ke rumah kami.Â
Waktu itu saya dan kakak perempuan belum menikah. Kami berdua tinggal bersama, menyewa sebuah rumah di salah satu sudut Jakarta Selatan.Â
Sebenarnya cukup rumit ketika seorang anak kelas 2 SD dititipkan kepada kami, tanpa jelas siapa yang akan menjaga dan nengasuhnya.Â
Kondisinya saat itu, saya dan kakak sudah bekerja. Dari pagi hingga malam sudah dipastikan kami tidak berada di rumah. Lalu, siapa yang akan menjaga Jesika? Siapa yang akan mengurus makan minum Jesika? Siapa yang akan mengantar jemput Jesika ke sekolah?Â
Saya menduga kakak sayalah yang berinisiatif meminta untuk merawat Jesika. Hanya saja, keputusan gegabah kakak saya tidak mempertimbangkan konsekuensinya bagi Jesika.Â
Namun, menang kondisinya serba sulit. Tidak ada keluarga dekat lain di Jakarta yang bisa dipercaya, selain saya dan kakak saya.Â
Pada bulan-bulan awal Jesika tinggal dengan kami, situasinya begitu rumit. Terlebih ketika itu Jesika masih bersekolah di sekolahnya yang lama di daerah Jakarta Pusat. Setiap pagi ayahnya datang menjemput Jesika dengan motor untuk mengantarnya ke sekolah. Perjalanan cukup jauh harus ditempuh Jesika dari Jakarta Selatan ke Jakarta Pusat, setiap hari. Dengan menggunakan seragam putih merah, Jesika sering mengeluh kakinya kedinginan diterpa angin pagi yang mengigit.Â
Pulang sekolah, ayahnya menjemput Jesika kembali, lalu dibawa ikut bekerja. Kadangkala dibawa ke kantor kakak saya dan dititpkan di sana.Â
Takjarang, Jesika harus membolos sekolah akibat ayahnya tidak datang menjemput karena satu dua alasan. Dalam kondisi demikian, mau tidak mau Jesika ikut kakak saya bekerja. Untungnya, peraturan dii kantor kakak saat itu tidak ketat. Cukup available untuk sesekali membawa anak ke kantor.Â
Beberapa bulan kemudian, Jesika dipindahkan ke sakah satu sekolah di Jakarta Selatan. Lokasi sekolah hanya berjarak satu kali naik angkatan umum dari rumah kami.Â
Kemudian, mau tidak mau, kakak mencari seorang asisten rumah tangga (ART. Tugas utama ART mengantar jemput Jesika ke dan dari sekolah, menjaga dan mengawasi Jesika, serta mengurus makan minum Jesika.Â
Akan tetapi, mencari ART ternyata tidaklah mudah. Aalagi bila mencarinya dari yayasan penyalur. Maksimal ART hanya bertahan tiga bulan, bahkan ada yang tidak sampai satu minggu.Â
Sampai satu kali, Jesika pernah terlantar di sekolah hingga berjam-jam, tanpa ada yang menjemput. ART yang harusnya bertugas menjemput, kabur setelah mengantar Jesika. Seiring dengan kaburnya ART tersebut, beberapa barang di rumah ikut raib.
Untunglah ada satu orangtua murid yang berbaik hati, kasihan melihat Jesika menunggu sendirian di sekolah, lalu membawanya pulang ke rumah kami.Â
Bisa dibayangkan, Jesika mendapatkan minim pengawasan dan pengasuhan orang-orang tercintanya. Pola pengasuhan orangtua dan ART pun jelas berbeda bagai bumi dan langit.
Mendengar cerita para tetangga, sepulang sekolah, oleh ART seringkali Jesika dibiarkan bermain di luar rumah dari siang hingga sore hari. Waktu tidur siang diabaikan, waktu belajar terbengkalai, nilai-nilai rapornya pun menurun. Kondisi Jesika benar-benar seperti anak tanpa orangtua.Â
Dalam satu kesempatan saat saya mengambil rapor Jesika, saya berremu dengan gurunya. Pada kesempatan itu, saya menceritakan keadaan yang dialami Jesika. Atas dasar itu saya memohon pengertian guru dan pihak sekolah jika Jesika banyak kekurangan dalam hal pelajaran.Â
Bersyukur, gurunya saat itu sangat mengerti. Bahkan mata beliau sempat berkaca-kaca ketika saya menceritakan latar belakang Jesika dari keluarga broken home.Â
Pada tahun kedua tinggal bersama kami, Jesika terkena demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit.Â
Butuh waktu lebih dari satu minggu untuk Jesika bisa pulih dan kembali ke rumah. Terlalu banyak waktu bermain tanpa istirahati tidur yang cukup menjadi salah satu penyebab. Ditambab pula pola makan yang pasti berantakan menyebabkan imum tubuh Jesika menurun.Â
Kondisi tidak baik lainnya pernah pula Jesika alami. Jesika baru berani bercerita setelah semuanya jelas. Jadi, ART terakhir yang bekerja di rumah, dian2 sering membawa pacarnya ke rumah. Jesika tahu itu, tetapi tidak berani bercerita pada kami.
Ternyata ada ancaman dari pacar ART sehingga Jesika kecil takut dan tidak berani buka suara. Sampai akhirnya, satu kali kakak aaya pulang ke rumah di siang hari untuk satu keperluan, dan mendapati ART dan sang pacar sedang berduaan di dalam kamar.Â
Kondisi buruk bertubi-tubi yang dialami Jesika tentu tidak akan terjadi jika kedua orangtuanya tidak berpisah.Â
Sebelum tragedi perpisahan terjadi, Jesika tinggal bersama kedua orangtuanya. Posisi tempat tinggal mereka ketika itu berada satu komplek dengan rumah nenek juga tante dan paman-pamannya dari pihak ibu. Jesika kecil benar-benar dipenuhi kasih sayang berlimpah. Sayang, semuanya itu tercabut ketika orangtuanya gagal mempertahankan rumah tangga mereka.Â
Setelah tiga tahun Jesika tinggal bersama kami, akhirnya Jesika diambil kakek neneknya untuk diasuh dan tinggal bersama mereka.Â
Bersama kakek neneknya kehidupan Jesika lebih baik dan teratur. Tidak pernah lagi terdengar sakit hingga harus dirawat di rumah sakit. Prestasi akademisnya pun membaik. Kakek dan neneknya memang mengasihi Jesika, kan tetapi tetaplah kasih sayang orangtua yang dibutuhkan seorang anak.Â
Setelah dibawa kakek neneknya, saya jarang bertemu Jesika. Dalam setahun mungkin hanya bertemu satu atau dua kali kesempatan.Â
Setiap bersua, saya berusaha untuk mengobrol banyak dengannya. Rasa rindu juga penasaran menjadi satu. Menanyakan banyak hal seputar sekolah dan kehidupannya menjadi kebiasaan saya.Â
Suatu ketika, saat saya hendak pulang kampung dalam sebuah liburan Natal, ibu kandung Jesika datang menemui saya. Ibu Jesika datang dengan membawa dan menitipkan sebuah boneka besar untuk diberikan kepada Jesika. Saat itu Jesika sudah bersama kakek dan neneknya.Â
Hati saya begitu hancur ketika menerima titipan boneka tersebut. Dapat saya rasakan kerinduan seorang ibu untuk bertemu anak kandungnya. Jesika pun pasti rindu untuk bertemu ibu kandungnya. Sepanjang perjalanan pulang hingga di pesawat saya terus menangis diam-diam. Kesedihan Jesika dan ibunya, keterpisahan seorang anak dan ibunya seakan saya ikut merasakannya.Â
Karakter Jesika kecil adalah anak yang riang, ramah, dan terbuka. Namun, seiring pertumbuhan Jesika, banyak karakter tersebut terkikis.Â
Jesika kini sudah bekerja dan tinggal bersama ayah dan istri baru ayahnya. Jesika dewasa kini tidak sama dengan Jesika kecil. Jesika tumbuh menjadi wanita dengan karakter yang cenderung diam dan tertutup. Seperti ada benteng yang berusaha dia bangun antara dirinya dan orang lain.Â
Jesika juga tumbuh menjadi pribadi yang terkesan masa bodoh. Tidak pernah terlihat terlalu sedih atau terlalu gembira, emosinya datar saja.Â
Saya menduga, hal ini sengaja Jesika lakukan untuk menjaga hatinya. Dari kecil Jesika sudah mengalami hal-hal pahit. Dipisahkan dari ibu kandung tentu bukan hal mudah bagi seorang anak berusia 7 tahun. Lalu, Jesika juga harus tinggal terpisah dengan ayahnya. Belum lagi pengasuhan dirinya yang berpindah-pindah tangan.Â
Jesika memang tidak pernah mengungkapkan isi hatinya secara gamblang. Jesika juga tidak pernah protes akan perpisahan orangtuanya. Tetapi saya tahu ini berat baginya. Saya tahu, hati Jesika terluka dan hancur karena perpisahan itu.Â
Saya menduga, dengan bersikap datar dan masa bodoh, Jesika berharap hatinya tidak lagi merasa sakit jika hal-hal buruk lain terjadi padanya. Dengan bersikap masa bodoh, hatinya juga tidak lagi akan merasa begitu kecewa ketika sesuatu terjadi di luar harapan dan kehendaknya.Â
Dalam satu kesempatan, sekitar dua tahun lalu, saya mengambil banyak waktu mengobrol dengan Jesika. Dalam obrolan tersebut, terungkap satu mimpi dan doa Jesika untuk ayah dan ibunya. Jesika rindu kedua orangtuanya bisa bersatu kembali.
Kondisinya saat itu memang ayah dan ibunya masing-masing masih sendiri. Terlebih ibu kandung Jesika juga pernah menuturkan kepada Jesika, tersirat keinginan ibunya untuk bisa rujuk kembali dengan ayahnya.Â
Saat menyampaikan mimpinya itu, raut wajah Jesika tampak begitu berbinar sekaligus sedih. Tampak jelas terlihat percikan harapan dari tatapan matanya yang seperti menerawang jauh.
Sayang sekali, harapan dan mimpi Jesika tidak terkabul. Setahun silam, ayahnya menikah dengan wanita lain. Dan Jesika dewasa, seperti biasa menyambutnya dengan datar, minim ekspres. Tidak terlihat sedih, juga tidak terlihat gembira.Â
Saya sangat memahaninya. Mengapa? Karena saya yakin, tidak ada satu anak pun yang mrnginginkan orangtuanya berpisah.Â
Kembali pada judul artikel di atas. Jangan salah kaprah! Itu adalah ungkapan kekesalan saya atas mereka yang tidak mau berjuang mempertahankan pernikahan.Â
Siapa bilang pernikahan itu mudah? Pernikahan menang tidak mudah, kok. Pasangan seromantis atau seideal apapun kelihatannya, pasti pernah berada dalam situasi sulit pada satu masa dalam pernikahan mereka.Â
Mengucap janji pernikahan memang gampang. Tetapi melakoni pernikahan, membutuhkan perjuangan, komitmen dan semangat yang kuat untuk tetap bertahan di dalamnya. Paling tidak, bertahanlah demi anak-anak tidak berdosa yang tidak pernah minta dilahirkan (MW).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H