Dalam beberapa minggu terakhir, pihak sekolah dimana anak saya menuntut ilmu, sedang gencar menegakkan tata tertib bagi siswa-siswinya.
Anak saya sendiri, si ganteng, menempuh pendidikan di sebuah SMP swasta di Jakarta dan saat ini sudah duduk di kelas 9.
Salah satu dari antara tata tertib yang sedang gencar ditegakkan pihak sekolah adalah penggunaan kaus kaki.Â
Sepanjang dua tahun sebelumnya, selama anak saya duduk di bangku kelas 7 dan 8, kaus kaki tidak pernah dipermasalahkan. Pihak sekolah hanya menekankan yang penting kaus kaki berwarna putih untuk hari Senin hingga Kamis, dan hitam untuk melengkapi seragam Pramuka pada Hari Jumat.
Sekolah sendiri menyediakan kaus kaki putih bertuliskan nama sekolah, yang bisa dibeli dengan harga Rp20.000,00 perpasang. Tetapi, pemakaian kaus kaki ini pun tidak wajib dikenakan sepanjang dua tahun ajaran sebelumnya. Oleh karena itulah, si ganteng pun hanya memiliki satu pasang kaus kaki dari sekolah.Â
Entah apa gerangan yang terjadi, memasuki tahun ajaran baru 2023/2024 seiring dengan bergantinya kepala sekolah, kaus kaki jadi masalah.Â
Tata tertib terbaru dari sekolah mewajibkan siswa-siswi memakai kaos kaki bertuliskan nama sekolah, sepanjang Senin hingga Kamis. Di luar itu, termasuk kaus kaki putih polos, dilarang.Â
Dua minggu lalu, akibat banyaknya siswa yang belum mematuhi tata tertib tersebut, pihak sekolah melakukan razia kaus kaki. Siswa yang kedapatan melanggar, wajib melepas kaus kaki beserta sepatunya, dan "kaki ayam" pada sepanjang sisa hari tersebut.Â
Anak saya sendiri pada hari itu juga tidak memakai kaus kaki yang ditetapkan, tetapi kebetulan membawa uang sebesar Rp20.000,00. Bertepatan pada hari tersebut si ganteng berulang tahun, sehingga untuk menyenangkannya, saya membolehkan ia jajan sesukanya dengan uang Rp20.000,00 tersebut. Biasanya si ganteng nyaris tidak pernah jajan karena selalu membawa bekal dari rumah.Â
Sayangnya, akibat razia kaus kaki, si ganteng urung bersenang-senang. Alih-alih jajan, uang Rp20.000,00 tersebut dengan sangat terpaksa dibelikannya kaus kaki dari sekolah, demi luput dari hukuman nyeker.Â
Saya yang mengetahui setelah si ganteng tiba di rumah, sedih dan kesal. Sedih karena si ganteng tidak jadi menikmati ulang tahunnya dengan jajan sesukanya, sekaligus kesal karena sekolah menerapkan aturan dan disiplin yang menurut saya sebagai orang tua, tidak penting-penting amat.
Sampai sekarang pun saya masih tidak bisa memahami apa hubungannya kaus kaki bertuliskan nama sekolah dengan kegiatan belajar mengajar. Apakah ada pengaruhnya bagi kecerdasan siswa dan kemampuan siswa dalam menyimak pelajaran? Bukankah kaus kaki putih polos pun sebenarnya sudah sangat baik?Â
Kalaupun memang ini peraturan sekolah, mengapa baru diterapkan sekarang setelah anak saya di kelas 9 dan sebentar lagi segera lulus. Atau karena baru berganti kepala sekolah, sehingga ganti pemimpin ganti aturan juga?
Menurut hemat saya sebagai orang tua, penerapan peraturan ini akan lebih efisien bila diterapkan hanya pada siswa kelas 7 dan 8. Penerapan wajib kaos kaki resmi dari sekolah pada kelas 9 hanya suatu pemborosan, karena kaus kaki tersebut dipakai beberapa bulan saja.Â
Saya pun kepikiran pada hal lain, enggak bahaya ta siswa nyeker? Gunanya sepatu toh bukan hanya melengkapi seragam, tetapi lebih utama untuk melindungi kaki dari menginjak benda berbahaya seperti pecahan beling, atau paku. Sebaiknya pimpinan sekolah dan guru berpikir matang sebelum menghukum siswa. Jangan sampai membahayakan siswa.Â
Tata tertib lain yang sedang ditegakkan pihak sekolah anak saya, masih enggak jauh-jauh dari kaus, yaitu masalah penggunaan kaus dalam.Â
Jadi, aturannya, sebelum kemeja seragam, siswa wajib hanya menggunakan singlet, yaitu kaus dalam tanpa leher dan tanpa lengan. Di luar itu, termasuk kaus dalam model t'shirt dilarang.Â
Sementara, kaus dalam anak saya, sebagian besar model t'shirt slim fit. Penggunaannya bukan tanpa alasan. Kaus dalam model ini sangat ampuh melindungi tubuh dari terpaan angin pagi yang dingin saat berangkat sekolah.
Sampai hari ini, untuk tata tertib singket ini belum ada razianya. Itu cerita anak saya. Kalau nanti ada razia, apa iya siswa yang kedapatan melanggar diberi sanksi buka baju seharian?
Heran juga, sebegitu pentingkah keseragaman yang sangat seragam, hingga jenis kaus dalam pun harus seragam. Tidak mereknya sekalian diseragamkan? Atau pakaian dalam lainnya juga harus seragam?Â
Peraturan dan razia tata tertib di sekolah anak saya ini seolah related dengan beberapa kejadian di beberapa sekolah akhir-akhir ini yang viral pemberitaannya.Â
Bermodalkan tata tertib sekolah dan berdalih mendisiplinkan siswa yang berambut gondrong, guru di beberapa sekolah menghukum dengan mencukur rambut dan membotak kepala siswa secara serampangan.Â
Demi mendulang pembenaran sekaligus upaya pembelaan diri, aksi tidak terpuji para guru ini pun seringkali dikaitkan dengan " niat baik". Padahal, niat baik tanpa tujuan baik disertai cara yang baik, hasil akhirnya pasti zonk.Â
Bukan hanya itu, gaya pemberian hukuman seperti ini sering pula dikait-kaitkan dengan masa lalu. Banyak narasi berkata bahwa guru jaman dulu pun melakukan hal yang sama untuk mendisplinkan murid-muridnya.Â
Miris sekali memang dunia pendidikan kita. Pada saat banyak orang tua mulai meninggalkan pola pikir dan cara-cara lama dalam mendidik dan membesarkan anak di rumah, banyak guru dan para pendidik kita malah tetap mempertahankan pola pikir dan cara-cara jaman baheula dalam mendidik siswa di sekolah.Â
Tindakan sewenang-wenang guru membotak rambut siswa seakan memberi sinyal bahwa sekolah telah gagal dalam menumbuhkan budaya kesadaran siswa untuk taat pada peraturan. Seolah sekolah dan guru sudah kehabisan cara dalam mendidik dan mendisplinkan siswa-siswinya.Â
Hal ini menunjukkan pula bahwa banyak guru yang tidak bisa membedakan mana ranah pribadi, mana ranah umum. Rambut adalah bagian tubuh dan menjadi milik pribadi setiap oramg. Rambut bahkan disebut mahkota.
Bukankah umumnya kita tidak suka orang lain memegang atau memainkan ranbut kita seenaknya tanpa seizin kita?Â
Maka dari itu, sudah seharusnya tidak boleh sembarang orang menyentuh mahkota tersebut tanpa seizin pemilik rambut, guru sekalipun!Â
Sekolah harus punya tata tertib, itu benar. Namun, buatlah tata tertib yang benar-benar ada urgensinya bagi perkembangan kecerdasan dan budi pekerti anak.Â
Bukan hanya itu, tindakan penegakkan disiplin pun tidak bisa semena-mena. Mentang-mentang guru, merasa berkuasa lalu menghukum murid semaunya.Â
Hukuman yang diberikan harus pula bersifat edukatif, humanis, serta mengedepankan nilai-nilai cinta kasih layaknya orang tua kepada anak-anaknya..
Di samping itu, penerapannya tidak boleh kaku seperti di sekolah militer. Pelanggaran pula harus terlebih dulu dicari tahu penyebabnya, tidak bisa "pukul rata" pada semua siswa.Â
Contoh saja: saya mengenal seorang ibu single parent dengan satu anak laki-laki usia remaja.Â
Sejak kecil, anaknya ini hampir tidak pernah dibawa ke tukang cukur profesional. Si ibu yang tidak memiliki keahlian potong rambut, sebisa mungkin nencukur dan memotong sendiri rambut anaknya. Hasilnya memang tidak maksimal, bahkan sering kali tetap terlihat gondrong.Â
Mengapa bisa begini? Alasannya cuma satu, masalah ekonomi. Tanpa pekerjaan tetap, penghasilan si ibu sangat terbatas dan tidak menentu, jauh dibawah UMR Jakarta. Sementara, biaya potong ranbut laki-laki di Jakarta sekarang minimal Rp23.000,00. Setara dengan harga 2 liter beras.
Oleh karenanya, si ibu tentu saja lebih memilih menggunakan uang tersebut untuk membeli beras yang bisa dimakan bersama anaknya, ketimbang membayar jasa potong rambut profesional.Â
Pernahkah para guru berpikir sampai ke sana? Jangankan berpikir, bahkan mungkin banyak diantaranya yang tidak (mau) tahu kondisi kehidupan/ekonomi para muridnya.Â
Sama halnya dengan masalah kaus kaki maupun kaus dalam. Semua perlengkapan tersebut harus dibeli dengan uang.
Ketika ada anak yang tidak bisa menenuhi tata tertib sekolah perihal perintilan seperti itu, mungkin saja orangtuanya sedang tidak memiliki cukup uang untuk membelinya. Mungkin saja, kan?Â
Untuk sekolah-sekolah swasta, urusan seragam juga seringkali dijadikan lahan bisnis. Berbagi keuntungan antara sekolah bersama pemasok seragam, orangtua siswa dibuat kejang-kejang melihat daftar harganya.Â
Jangan sampai pengetatan tata tertib pada siswa memiliki maksud terselubung. Demi memperlancar bisnis seragam di sekolah dan mendulang lebih banyak cuan, misalnya.
Sosok guru atau pendidik seharusnya identik dengan pribadi yang inovatif dan penuh kreatifitas, baik dalam hal mengajar ilmu pengetahuan maupun dalam hal mendidik dan mendisplinkan siswa.
Cara-cara lama yang bersifat otoriter, berbau kekerasan dan penindasan, memanfaatkan relasi kuasa, serta sudah tidak relevan lagi dengan dinamika zaman, sebaiknya ditinggalkan.
Guru juga wajib, mau tidak mau, mengusahakan dan memantaskan dirinya menjadi sosok yang patut digugu dan ditiru. Bagaimanapun, guru menjadi sosok panutan siswa ketika siswa berada di luar rumah. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya guru menjaga dan berhati-hati dalam sikap, perkataan dan tindakan agar pantas dijadikan panutan.Â
Sudah saatnya guru dan sekolah bergerak meningkatkan kreatifitas, inovasi, dan mulai menerapkan pola pikir out of the box dalam mendidik siswa.
Siswa harus patuh pada peraturan sekolah, itu benar adanya. Namun, tumbuhkanlah budaya kesadaran patuh pada aturan dengan cara-cara elegan dan mendidik.Â
Sekolah juga merupakan tempat penyemaian bibit-bibiit unggul bangsa. Oleh karena itu, berikan bibit-bibiit unggul ini pola penyemaian yang tepat dan perlakuan yang tepat pula.
Pola pikir dan cara-cara kuno yang sudah tidak cocok diterapkan, biarkan menjadi cerita usang dan tidak perlu dipraktikkan ulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H