Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sudah Berumah Tangga Masih Bergantung pada Orangtua?

17 Februari 2023   15:43 Diperbarui: 18 Februari 2023   02:17 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Kompastv/Ant) 

Pemberitaan pelawak wanita, Nunung Srimulat ramai menghiasi media sosial. Nunung menuai simpati publik setelah pengakuan harus membiayai 50 anggota keluarganya.

Nunung harus menanggung kebutuhan ekonomi keluarga besarnya, termasuk anak-anak, saudara, dan keponakan.

Kisah Nunung mendadak menjadi perhatian penikmat media sosial. Netizen menyebut kisah Nunung sebagai kasus ekstrem sandwich generation.

Dikutip dari Kompas.com, Sandwich generation adalah suatu istilah untuk orang yang bekerja di usia produktif tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri namun orang lain.

Digunakan istilah sandwich karena golongan tersebut terjebak di antara kebutuhan ekonomi antargenerasi keluarganya seperti anak, orangtua, hingga mertua.

Kondisi demikian pun bisa dengan mudah kita temukan di sekitar kita. Apalagi fenomena sandwich generation ini memang banyak ditemukan di negara-negara berkembang. Dimana rasa solidaritas antarkerabat begitu kental.

Seorang ibu yang saya kenal, sebut saja namanya Tina, juga hampir serupa keadaannya. Ibu Tina harus menanggung kebutuhan ekonomi seorang anaknya yang single parent dan seorang cucunya yang sudah berusia remaja.

Setiap awal bulan, wanita ini harus mentransfer sejumlah uang ke rekening anaknya. Besarannya sekitar dua juta rupiah perbulan. Ibu Tina memang tidak sekadar membantu, tetapi memenuhi semua kebutuhan anak dan cucunya.

Ibu Tina sendiri bukanlah seorang kaya raya. Hidupnya bergantung dari uang pensiun almarhum suaminya. Besaran uang pensiun yang diterima pada kisaran dua jutaan rupiah juga perbulan.r

Ini artinya, hampir seluruh uang pensiunnya diberikan pada anak dan cucunya. Lalu, bagaimana dengan biaya hidupnya sendiri? Beliau meminta pada dua anaknya yang lain untuk mengiriminya uang setiap bulan. Begitu cerita beliau.

Ilustrasi (Sumber: Kompastv/Ant) 
Ilustrasi (Sumber: Kompastv/Ant) 

Jadi, anak-anaknya yang lain secara tidak langsung ikut membiayai saudaranya yang tidak bekerja itu. Ibu Tina dan dua anaknya yang lain ini sama-sama menjadi generasi sandwich. 

Duh, pusing ya kalau melihat situasi demikian. Sandwich generation ini bak lingkaran setan. Berputar-putar mengenai semua pihak yang terkait, tanpa terlihat ada titik akhirnya.

Anak yang sudah berumah tangga tetapi masih bergatung pada orangtuanya, memang bukan cerita baru. Dari sejak kecil, saya sering mencuri dengar cerita seperti ini dari orang dewasa. 

Adanya fenomena ini dalam keluarga besar sebenarnya tidak terjadi begitu saja. Pasti ada beragam faktor pendorongnya. Terlebih bila fenomena tersebut berlangsung bertahun-tahun.

Seperti kisah Ibu Tina. Beliau membiayai anak dan cucunya selama lebih dari 12 tahun. Bahkan hingga kini masih terus berlangsung! 

Terjebak di zona nyaman

Fenomena inilah yang saya lihat pada kejadian Ibu Tina di atas. Si anak sepertinya sudah kadung nyaman dengan kondisinya.

Setiap bulan menerima uang tanpa bekerja, dapat gaji buta tanpa perlu keluar tenaga, membuat anaknya nyaman. 

Akibatnya, tidak berpikir lagi untuk berusaha. Daya juangnya hilang. Tidak ada motivasi lagi untuk memperjuangkan dan memperbaiki hidup.

Lalu, situasi anak bergeser menjadi generasi mager dan rebahan yang tidak produktif. Padahal masih berada dalam usia produktif. 

Puncaknya, anak terjebak dalam zona nyaman tersebut, dan mengalami kesulitan untuk keluar. Mau tidak mau, orangtua pun terjebak dalam zona (tidak) nyaman tersebut. 

Tidak peduli pada orang lain

Melihat kasus Ibu Tina, kemungkinan si anak memiliki minim kepedulian pada orangtua. Si anak tidak merasa bahwa hidupnya membebani orangtua juga saudara-saudara kandungnya.

Orang-orang seperti ini biasanya memiliki prinsip hidup sangat egosentris dan suka mengada-ada. Bagi mereka, dirinya harus menjadi pusat perhatian dan harus diutamakan. 

Orang-orang seperti ini sepertinya tidak peduli hidupnya menyusahkan orang lain atau tidak. Baginya, selama dirinya senang, dia tidak peduli orang lain senang atau tidak.

Kemungkinan orang-orang seperti ini pun memiliki prinsip-prinsip hidup yang menyimpang dari sebenarnya. Mungkin mereka menganggap orangtua wajib bertanggung jawab pada kehidupan anaknya sampai kapanpun.

Tidak peduli dengan masa depan

Sulit untuk merencanakan masa depan ketika kehidupan masih menadahkan tangan pada orang lain. Artinya, jika masih tetap bergantung pada orang lain, kemungkinan ada kecenderungan tidak peduli dengan masa depan. 

Orang-orang seperti ini mungkin berprinsip hidup untuk hari ini saja, tanpa perencanaan sama sekali. Kehidupan besok bagaimana, akan dipikirkan besok saja.

Orangtua membiarkan

Yang saya lihat dari kasus Ibu Tina, Ibu Tina sendiri juga salah. Ibu Tina berperan besar membuat situasinya berlarut-larut.

Ibu Tina seolah membiarkan situasinya terus seperti itu. Rasa sayang dan kasihan pada anak dan cucunya menjadi alasan.

Sikap seperti ini sebenarnya sangat tidak mendidik.

Memang benar, sepertinya tidak ada orangtua yang tidak menyayangi anak-anaknya. Sekalipun anak sudah bertumbuh dewasa, rasa sayang orangtua tidak akan pernah pudar. 

Namun demikian, rasa sayang orangtua yang melebih porsi pada akhirnya akan menghancurkan anak. Rasa aayang yang berlebihan akan membuat anak menjadi manja, tidak bertanggung jawab dan tidak mampu hidup mandiri. 

Oleh karena itu, ada baiknya orangtua seperti Ibu Tina mengambil sikap tegas ketika melihat situasi tidak berubah setelah beberapa waktu. 

Tegas bukan berarti tidak sayang. Tegas dalam arti mendidik untuk kebaikan anak. 

Biar bagaimanapun, anak perlu dibiarkan untuk menjalani proses kehidupan. Bila dsikapi dengan akal sehat, proses kehidupan akan memberikan dampak positif. Proses kehidupan akan membawa seseorang "naik kelas" dalam karakter dan kepribadiannya. 

Semakin berat proses hidup yang dijalani, seseorang akan tumbuh menjadi pribadi yang semakin tangguh.

Pada akhirnya, gejolak dan tantangan apapaun yang dihadapi dalam hidup tidak akan bisa lagi melunturkan semangatnya. Daya juangnya akan tetap membara sekalipun badai dan gelombang kehidupan menerpa.(MW)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun