Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Alasan Kuat Tidak Menyekolahkan Anak di Sekolah Berasrama

25 Januari 2023   16:23 Diperbarui: 26 Januari 2023   13:50 2277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak sekolah (Sumber: Yanukit via Pexels) 

Sekolah berasrama sebaiknya diperuntukkan bagi anak-anak yang benar-benar mengalami masalah minim pengasuhan dan pengawasan orangtua. Jangan renggut hak anak untuk mendapat kasih sayang orangtua seutuhnya. Sebaik-baiknya asrama, rumah dan keluarga tetap yang terbaik.

Pergantian tahun ajaran baru dalam dunia pendidikan tinggal beberapa bulan lagi. Sekolah-sekolah swasta umumnya sudah membuka pendaftaran bagi siswa baru. Banyak sekolah bahkan sudah membuka pendaftaran sejak bulan Oktober pada semester ganjil lalu.

Orangtua yang akan nenyekolahkan anak-anak mereka yang baru masuk SD, SMP atau SMA mulai mencari-cari sekolah yang cocok untuk anak-anak mereka. 

Diantara para orangtua, tidak sedikit yang menginginkan anak-anak mereka bersekolah di sekolah berasrama. Dengan berbagai pertimbangan yang mereka rasa baik untuk anak, mereka tidak segan-segan membayar biaya sekolah lebih mahal dari sekolah tidak berasrama. 

Dari beberapa kejadian yang pernah saya dengar dan saya baca, banyak diantara orangtua yang tidak terlebih dahulu mempertimbangkan keinginan dan kebutuhan anak berkaitan dengan sekolah berasrama tersebut. Akibatnya, ada saja cerita anak yang kabur dari asrama, atau anak yang menangis dan menolak ketika hendak dibawa kembali ke asrama. 

Sebagai orangtua yang juga memiliki anak usia sekolah, seringkali hati menangis bila melihat di pemberitaan atau di media sosial, ada anak sampai menangis menjerit-jerit, sambil dipegangi beberapa orang dari pihak sekolah, dipaksa untuk masuk ke dalam asrama dan dipisahkan dari orangtuanya. 

Namun herannya, dan sungguh disayangkan, sepertinya banyak orangtua dan pihak sekolah yang melihat hal tersebut bukan sebagai sebuah masalah buat anak. Mereka menganggap seiring waktu berjalan, dengan sendirinya anak akan betah hidup di sekolah berasrama. 

Saya pribadi sebagai orangtua, tidak pernah tertarik menyekolahkan anak saya di sekolah berasrama. Sehebat dan sebagus apapaun sekolah itu, kata orang, atau semewah apapun fasilitas yang tersedia di dalamnya, saya tidak tertarik. 

Ada beberapa pertimbangan yang menjadi alasan kuat buat saya untuk tidak menyekolahkan anak saya di sekolah berasrama.

Sekolah yang saya maksudkan di sini adalah sekolah dari tingkat SD hingga SMA. Sementara lepas dari SMA, nemasuki pendidikan tinggi, bukan masalah lagi bila anak memang harus melanjutkan pendidikan di sekolah berasrama. 

1. Orangtua adalah sosok guru pertama dan utama bagi anak

Idealnya, orangtua adalah guru pertama bagi anak. Selain sebagai yang pertama, orangtua berperan sebagai guru yang terutama bagi anak, khususnya dalam pendidikan guna pembentukan karakter anak. 

Hal kedisiplinan, kemandirian, kebiasaan yang baik, tata krama, hidup kerohanian, merupakan beberapa sikap karakter yang wajib ditumbuhkan pada anak melalui didikan oramgtua di rumah. 

Kebiasaan-kebiasaan baik ini pula yang saya lakukan kepada anak laki-laki semata wayang saya, si ganteng. Walaupun si ganteng anak tunggal, tidak ada cerita hidup manja dan tanpa kedisplinan.

Dalam hal tanggungjawab misalnya, sedari usia 2,5 tahun, anak saya sudah pintar membereskan mainannya sendiri memasukkan kembali ke dalam kontainer khusus tempat menyimpan mainan, seusai bermain.

Dalam hal kemandirian dan kedisiplinan, misalnya lagi, sejak kelas 1 SD, si Ganteng sudah patuh pada aturan waktu mandi sore setiap hari yaitu pukul lima petang.

Karena diajarkan dan dibiasakan sejak usia dini, saya pun tidak perlu teriak-teriak menyuruh si ganteng mandi. Si ganteng sudah paham aturannya. Misalnya, kelar bermain bola dengan teman-temannya, si ganteng langsung mengambil handuk dan mandi. 

Begitu pula dalam hal kerohanian, kegiatan berdoa dan membaca kitab suci pagi dan malam hari, sudah dimulai sejak usia si Ganteng masih batita. Bila saat kecil dulu masih harus saya temani dan saya bimbing, sekarang si ganteng sudah bisa melakukannya sendiri, tanpa disuruh. 

Meskipun di sekolah diajarkan nilai-nilai karakter yang baik, tetapi sebagai orangtua, kita tidak bisa berharap sepenuhnya pada pendidikan karakter di sekolah.

Guru di sekolah menangani banyak anak dalam satu waktu. Itu sebabnya tidak mungkin bagi mereka untuk bisa mengawasi dan nengajari satu-persatu anak didiknya dalam hal pembentukan karakter. 

Jangankan dalam pendidikan karakter, dalam hal pemberian pelajaran dan ilmu pengetahuan, guru tidak akan sanggup bila harus mengawasi anak satu-persatu.

Lagipula, pendidikan karakter anak bukanlah tanggungjawab utama guru. Orangtualah yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pembentukan karakter anak. Itu sebabnya, dalam usia sekolah hingga SMA sebaiknya anak tetap hidup bersama orangtua. 

2. Orangtua menjadi teladan, anak belajar hidup berkeluarga

Melalui keluarga, anak akan belajar bagaimana hidup berkeluarga yang sesungguhnya. Bukan sekadar teori, tetapi langsung melihat sendiri. 

Anak laki-laki, misalnya, akan belajar bagaimana menjadi kepala keluarga melalui teladan ayahnya dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula, anak perempuan, menyerap teladan dari ibunya dan belajar tentang peran penting istri sebagai sosok penolong suami sekaligus "tiang doa" bagi keluarga. 

Melalui keluarga pula, anak akan belajar cara mendidik anak melalui sikap ayah dan ibunya dalam mendidik anak-anaknya. 

Pelajaran berkeluarga tersebut tentu sulit diperolehnya dalam asrama. Sekalipun saat dewasa nanti, anak menginginkan hidup selibat sebagai konsekuensi dari sebuah pengabdian, mereka juga sebaiknya mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hidup berkeluarga.

Dengan begitu, mereka memiliki modal untuk mampu mengajarkan hal tersebut ketika sekali waktu diperlukan saat mereka menjalankan tugas pengabdiannya. 

Untuk itulah, keberadaan anak selama minimal 17 tahun (hingga tamat SMA) tinggal bersama ayah dan ibunya, merupakan suatu kesempatan bagi orangtua untuk memberikan teladan terbaik yang bisa dicontoh anak-anak mereka. 

Setidaknya, orangtua juga termotivasi untuk hidup benar guna memberi teladan terbaik bagi anak. 

Wahai orangtua, teladan kita akan berbicara lebih keras daripada seribu kalimat nasihat yang kita ucapkan!

3. Usia anak belum mampu berpikir rasional

Banyak kita nendengar dan nembaca baik dalam pemberitaan maupun dari cerita-cerita yang beredar, banyak anak mendapat perlakuan tidak baik, bahkan pelecehan seksual, selama berada di asrama.

Perlakuan tidak baik atau pelecehan seksual tersebut bisa datang dari teman-teman sekolahnya, seniornya, dan yang lebih memprihatinkan bisa datang dari oknum guru yang sering kali dipuja atas pengabdiannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Hal tersebut bisa terjadi salah satunya karena relasi kuasa.

Anak sendiri berada dalam usia yang masih labil, belum mampu berpikir rasional, apakah yang menimpa dirinya benar atau tidak. Ada kalanya akibat bujuk rayu dari oknum pendidik, anak akhirnya menuruti keinginan bejat si oknum. 

Di samping itu, anak pun belum mencapai umur yang mampu mempertahankan diri dengan baik. Karena tinggal di asrama, anak juga tidak bisa melarikan diri semaunya, dan acapkali tidak memiliki tempat untuk mengadukan nasibnya.

4. Anak masih butuh kasih sayang orangtua

Walaupun sebagaian besar anak dari usia batita, balita hingga remaja tidak pernah berbicara terbuka bahwa mereka butuh kasih sayang orangtua, sesungguhnya mereka sangat membutuhkannya. 

Dan kasih sayang sepenuhnya hanya bisa didapat dari orangtua dalam pengasuhan langsung di rumah, bukan dari hubungan jarak jauh. 

4. Mendampingi dan melewati masa indah bersama anak

Suatu hal yang terindah bagi orangtua ketika bisa melihat pertumbuhan dan perkembangan anak kita secara langsung setiap saat. 

Misal, perubahan-perubahan apa yang terjadi pada anak ketika mereka mulai akil balig, kemampuan-kemampuan spesifik apa yang mulai tampak ketika memasuki usia remaja, termasuk ketika si anak mulai memiliki rasa tertarik dengan lawan jenis. 

Saya pribadi rasanya bahagia sekali, ketika pulang sekolah, anak saya langsung bercerita tentang kejadian-kejadian selama di luar rumah. Entah tentang teman-teman sekolahnya, tentang guru-gurunya, tentang ulangan, atau perihal Kejadian-kejadian dalam perjalanan pulang ke rumah. Bahagia rasanya ketika anak mempercayakan saya, mamanya, untuk berbagi cerita. 

Bisa dibayangkan anak yang tinggal di asrama, banyak orangtua sudah melewatkan masa-masa indah bersama anak. 

Masanya anak hidup tinggal bersama orangtua tidaklah lama. Bisa jadi hanya sampai usia 17 tahun saat anak akan mulai kuliah. Mungkin saja karena melanjutkan pendidikan, anak terpaksa pindah ke kota lain tempat dimana kampusnya berada.

Kalau anak sudah keluar dari rumah, selamanya akan sulit untuk bisa berkumpul kembali bersama orangtua. Karena setelah kuliah, anak akan bekerja, kemudian menikah, dan mungkin saja tidak akan kembali lagi ke kota asal dimana orangtuanya tinggal. 

Mungkin terdengar terlalu sentimental, tetapi sebagai ibu, saya pribadi tidak ingin melewatkan masa-masa indah melihat tumbuh kembang anak dari dekat secara langsung, terlebih bisa menjadi teman curhatnya setiap hari. 

***

Empat alasan di atas tentu tidak bisa diterapkan bila memang situasinya tidak memungkinkan. Seperti yang dialami seorang teman.

Teman saya ini pada tahun 2020 yang lalu, kehilangan istrinya (teman akrab saya juga) karena Covid. Anak mereka cuma satu dan saat itu baru lulus SD.

Teman saya ini memiliki pekerjaan yang mengharuskannya sering bepergian keluar kota, sementara tidak ada kerabat yang bisa dititipkan untuk menjaga anaknya selama dia bepergian. Akhirnya, oleh karena pertimbangan tersebut, anaknya dimasukkan ke sekolah berasrama. 

Jadi, sekolah berasrama sebaiknya dikhususkan bagi anak-anak yang memang mengalami situasi darurat, minim pengasuhan dan pengawasan orangtua.

Namun, bila orangtua masih mampu mengawasi, bahkan ibu atau ayah bekerja hanya dari rumah, anak sebaiknya tetap diasuh sendiri. 

***

Anak adalah titipan Tuhan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya orangtua bertanggung jawab memberikan kasih sayang sepenuhnya, memberikan perhatian lebih, serta mendampingi anak dari dekat hingga anak memasuki ambang usia dewasa. 

Sebagai catatan penutup, artikel ini adalah opini pribadi sebagai ibu yang memiliki anak usia sekolah. Setiap orangtua berhak menentukan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya (MW). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun