Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Panas? Bandingkan Rumah Zaman Dulu dengan Rumah Zaman Now

20 Januari 2023   12:37 Diperbarui: 22 Januari 2023   21:16 2559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah zaman kolonial Belanda (www.riskiringan.com)

Risiko tinggal di negeri yang persis berada di garis khatulistiwa, adalah panas matahari yang berlimpah, bahkan sering kali terasa berlebih.

Ketika matahari berganti tugas dengan bulan, di rumah-rumah dengan struktur bangunan yang kurang bekerja sama dengan iklim tropis, rasa panas itu akan tetap terasa.

Rumah zaman dulu

Dalam sebuah kesempatan liburan di kampung halaman suami di Blitar, saya mengunjungi "Istana Gebang". 

Istana Gebang merupakan situs bersejarah, yang dulunya adalah rumah masa remaja Presiden Pertama RI, Bung Karno. Tepatnya berada di Jl. Sultan Agung No. 59, Kecamatan Sana Wetan, Kota Blitar. 

Istana Gebang di Blitar, Rumah Bung Karno saat masa remaja.(KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA) 
Istana Gebang di Blitar, Rumah Bung Karno saat masa remaja.(KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA) 

Bagian dalam Istana Gebang Blitar, Rumah Bung Karno masa remaja.(KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA 
Bagian dalam Istana Gebang Blitar, Rumah Bung Karno masa remaja.(KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA 

Saat itu udara di Kota Blitar cukup panas. Bertepatan pula dengan puncak musim panas pada pertengahan tahun. 

Namun, ketika memasuki Istana Gebang, seketika hawa terasa sejuk. Hawa panas di luar rumah seperti tidak ikut nasuk ke dalam rumah. 

Penasaran dengan hal tersebut, pandangan mata saya pun menjelajah ke seantero rumah. Yang sangat jelas terlihat, jarak langit-langit rumah dari lantai cukup jauh.

Tidak hanya itu, jendela-jendela di Istana Gebang yang terbuat dari papan khas rumah klasik era kolonial, ukurannya besar-besar, dan saat itu sedang dibuka lebar. Belum lagi lubang-lubang ventilasi udara hampir di setiap ruangan.

Bukan itu saja, ukuran setiap ruangan yang lebih sering digunakan, seperti ruang tamu, ruang keluarga dan kamar tidur, ukurannya cukup besar dan terasa lega. Ada pula area terbuka antara rumah bagian depan dengan rumah bagian belakang, khas rumah zaman kolonial.

Sebagai awam yang ridak paham ilmu arsitektur, saya mencoba menduga, beberapa faktor tersebut menjadi alasan utama mengapa hawa panas di luar rumah tidak terasa begitu pengunjung memasuki Istana Gebang. 

Langit-langit rumah yang tinggi, beberapa jendela berukuran besar dan ventilasi yang cukup untuk sirkulasi udara, ukuran setiap ruangan dibuat cukup besar, dan adanya area terbuka di bagian tengah rumah, merupakan beberapa cara untuk menghalau hawa panas dari sinar matahari.

Rumah masa kecil

Di rumah masa kecil saya, tidak ada kipas angin apalagi AC. Namun, anehnya kami yang tinggal di dalamnya saat itu baik-baik saja. Bahkan kami tidak merasa membutuhkan kedua alat penghalau hawa panas tersebut.

Terlebih di malam hari, saya bahkan harus memakai sweater agar tidak kedinginan, ketika harus belajar hingga larut malam.

Rumah yang dibangun ayah saya sendiri dibantu rekan-rekan guru dari sekolah tempat beliau mengajar, berdinding tembok dan papan.

Sepertiga bagian dari lantai terbuat dari tembok, dua pertiga bagian hingga ke langit-langit rumah terbuat dari papan. Plafonnya juga cukup tinggi meski tidak setinggi plafon di Istana Gebang.

Ayah yang memang lulusan STM (Sekolah Teknik Menengah) Jurusan Teknik Bangunan di masa mudanya, sepertinya cukup percaya diri membangun rumah yang membuat anggota keluarganya nyaman, bebas dari rasa panas. 

Selain pintu-pintu terbuat dari kayu, jendela-jendela di ruang keluarga dan di setiap kamar tidur juga terbuat dari kayu, dengan ukuran yang cukup lebar.

Setiap jendela memiliki empat bilah papan, terdiri dari dua bilah, masing-masing satu bagian atas dan satu bagian bawah, baik sebelah kiri maupun sebelah kanan. 

Ketika membuka jendela tinggal merentangkannya ke kiri dan ke kanan. Sehari-harinya kami cukup membuka dua bilah bagian atas saja.

Ketika sedang ada acara dan menghadirkan banyak tamu, maka kami akan membuka semua bilah papan jendela lebar-lebar sehingga tamu yang berada di dalam rumah tidak merasa pengap.

Untuk mengantisipasi agar pada malam hari, ketika semua jendela ditutup dan penghuni rumah tidak kepanasan, di setiap jendela dibuat lubang ventilasi berupa papan berbaris miring menghadap ke bawah, dengan menyisakan lubang antarpapan kira-kira 2 cm.

Rumah kami ini tetap memiliki jendela kaca, tetapi hanya khusus di ruang tamu, dengan jumlah yang juga cukup untuk membuat siapapun yang duduk di sana tidak akan kegerahan.

Antisipasi lainnya terhadap hawa panas, rumah kami ini tidak banyak sekat, sekalipun cukup besar dan memungkinkan bila disekat. Pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga hanyalah sebuah rak pajangan.

Rak ini juga buatan ayah bersama teman-temannya, dengan tingginya hanya berjarak kira-kira satu meter dari langit-langit rumah.

Tidak lama setelah rumah berdiri, ayah menanam berbagai pohon buah-buahan di sekeliling rumah. Beberapa pohon jambu air, jambu batu, nangka, durian, jeruk purut, kedondong, sampai pohon randu pun ada. 

Memang tanahnya sendiri cukup luas, sekitar 4.500 meter persegi, sehingga ayah bebas menanam apa saja untuk menutup lahan terbuka menjadi hijau. Taklupa, ayah juga menggali sebuah sumur di samping dapur. Sumur ini tidak pernah kering, di musim kemarau yang panjang sekalipun.

Ketika saya berusia 8 atau 9 tahun, ayah membuat sebuah kolam ikan di samping rumah. Kolam ikan ini ayah sebut sebagai miniatur Danau Toba, lengkap dengan "Pulau Samosir" di tengah kolam. Berkali-kali kami bisa memanen ikan mujair dari kolam ikan buatan ayah ini.

Saya memang tidak sempat bertanya kepada ayah apa kiat-kiatnya membangun rumah yang nyaman bebas dari hawa panas sekalipun tinggal di daerah tropis.

Namun, saya menduga berbagai unsur menjadi pertimbangan ayah. Seperti dua pertiga dinding rumah yang terbuat dari kayu, juga jendela-jendela kayu dengan ukuran lebar serta ventilasi udara yang cukup banyak.

Ketebalan dinding kayu yang relatif tipis dan berpori dibandingkan dengan dinding tembok bata atau beton mampu menjaga suhu ruangan tetap sejuk.

Selain itu, adanya unsur air berupa sumur dan kolam ikan, konon katanya juga bisa menyerap hawa panas. Ditambah lagi pepohonan yang ditanam di sekeliling rumah sebagai strategi "double skin facade", menggunakan vegetasi untuk melindungi rumah dari terpaan sinar matahari langsung.

Rumah zaman now

Rumah-rumah masa kini, terlebih di kawasan perkotaan seperti Jakarta, sangat bertolak belakang kondisinya dengan rumah era kolonial ataupun rumah yang dibangun era tahun 1960-an hingga 1980-an.

Di rumah kekinian, sering kali bahkan hawa di luar rumah justru lebih sejuk daripada di dalam rumah. 

Memang sangat tidak apple to apple untuk dibandingkan. Beragam faktor menentukan bahwa rumah zaman now banyak yang tidak mampu mengatasi hawa panas tanpa bantuan alat elektronik seperti kipas angin maupun AC.

Luas lahan yang terbatas, harga bahan bangunan yang tidak terjangkau, dan faktor keamanan merupakan beberapa contoh alasan yang mempengaruhi.

Bagaimana bisa menanam pepohonan di sekeliling rumah jika memang tidak ada lagi lahan tersisa. Bagaimana bisa membangun dinding dengan plafon yang tinggi jika dana tidak mencukupi. Atau berbahayanya membuat jendela dengan bukaan terlalu lebar, yang dapat mengundang niat jahat orang.

Belum lagi, bila rumah dibeli dari pengembang, terpaksa terima apa adanya. Tentunya harga berbanding lurus dengan kualitas. 

Mau tidak mau, dengan segala keterbatasan, pemilik rumah harus pintar-pintar menyiasati hawa panas yang menjadi teman sehari-hari.

Misalnya, menanam tanaman sekalipun hanya di pot, memasang kerai sebagai peneduh pada jendela atau pintu, membuat ventilasi udara di satu bagian plafon bila memungkinkan, atau membuat kolam ikan kecil di area bagian tengah rumah.

Andaikata pun terpaksa menggunakan kipas angin dan AC, dengan beberapa strategi, paling tidak pemakaian energi listrik bisa ditekan.(MW).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun