Namun, saya menduga berbagai unsur menjadi pertimbangan ayah. Seperti dua pertiga dinding rumah yang terbuat dari kayu, juga jendela-jendela kayu dengan ukuran lebar serta ventilasi udara yang cukup banyak.
Ketebalan dinding kayu yang relatif tipis dan berpori dibandingkan dengan dinding tembok bata atau beton mampu menjaga suhu ruangan tetap sejuk.
Selain itu, adanya unsur air berupa sumur dan kolam ikan, konon katanya juga bisa menyerap hawa panas. Ditambah lagi pepohonan yang ditanam di sekeliling rumah sebagai strategi "double skin facade", menggunakan vegetasi untuk melindungi rumah dari terpaan sinar matahari langsung.
Rumah zaman now
Rumah-rumah masa kini, terlebih di kawasan perkotaan seperti Jakarta, sangat bertolak belakang kondisinya dengan rumah era kolonial ataupun rumah yang dibangun era tahun 1960-an hingga 1980-an.
Di rumah kekinian, sering kali bahkan hawa di luar rumah justru lebih sejuk daripada di dalam rumah.Â
Memang sangat tidak apple to apple untuk dibandingkan. Beragam faktor menentukan bahwa rumah zaman now banyak yang tidak mampu mengatasi hawa panas tanpa bantuan alat elektronik seperti kipas angin maupun AC.
Luas lahan yang terbatas, harga bahan bangunan yang tidak terjangkau, dan faktor keamanan merupakan beberapa contoh alasan yang mempengaruhi.
Bagaimana bisa menanam pepohonan di sekeliling rumah jika memang tidak ada lagi lahan tersisa. Bagaimana bisa membangun dinding dengan plafon yang tinggi jika dana tidak mencukupi. Atau berbahayanya membuat jendela dengan bukaan terlalu lebar, yang dapat mengundang niat jahat orang.
Belum lagi, bila rumah dibeli dari pengembang, terpaksa terima apa adanya. Tentunya harga berbanding lurus dengan kualitas.Â
Mau tidak mau, dengan segala keterbatasan, pemilik rumah harus pintar-pintar menyiasati hawa panas yang menjadi teman sehari-hari.